SATU
* HAPPY READING *
Peluh menetes seiring dengan waktu yang semakin menipis. Mata bulat Sani memicing penuh waspada. Bola basket di tangan kanan terus ia dribble hingga mendekati ring. Cewek itu bahkan tidak sadar jika dua lawannya sudah menanti di depan. Kaki jenjangnya terus berlari. Suara teriakan semangat dari pinggir lapangan semakin nyaring.
"Go PESURA, go!!" Beberapa teman satu kelasnya berteriak sambil membawa balon tepuk, membuat Sani tersenyum lebar. "PESURA, go, go, go! Ayey ayey ...."
Gerakan cewek dengan nomor punggung 19 itu terhenti, dua lawan menghadangnya dari kiri dan kanan.Ah, Sial! Sama sekali tak ada celah. Ia terjebak.
"San, over sini!"
Sani menoleh. Dua temannya melambai di saat yang bersamaan, membuat alis cewek itu berkerut dalam. Dia melirik ke papan skor. 48-50. Waktunya tidak banyak, sedangkan skor PESURA tertinggal dua poin. Dia mesti melakukan shoot sekarang juga. Kalau tidak, kekalahan yang pasti ia dapat.
Dengan napas terengah-engah, Sani melakukan shoot dari jarak 6,75 meter dari ring. Suasana seketika menjadi hening, membuat jantung Sani semakin berdebar. Mata hitamnya mengikuti arah bola melaju. "Please ... masuk, dong," gumamnya pelan.
Salah satu lawan mencoba untuk menghadang arah laju bola. Sani semakin gereget dibuatnya. Hatinya harap-harap cemas. Ia kembali melirik ke papan skor. Dua detik lagi. Baru saja ia ingin melangkah, suara peluit dari wasit terdengar.
Gila!
Sang wasit meniupkan peluit tepat di sampingnya! Baru saja ia ingin menyembur pria tua itu, teman-teman satu tim langsung menghampirinya.
"Gila, San! Kamu keren banget, sumpah!" cerocos Lala langsung memeluk Sani. "Three point, geng!" seru Lala kembali setelah melepas pelukannya.
Sani yang dipeluk hanya bisa terdiam. Otaknya belum terhubung sama sekali karena suara peluit yang membuat telinganya berdengung.
"Kamu ko, kaya enggak seneng gitu, sih?" tanya Lala sewot. "Kita menang, loh!"
"Hah? Kita menang?" pekik Sani tak percaya. "Seriusan ini, teh?"
"Ya Tuhan ... napa nih anak jadi lola gini, dah? Tuh, liat papan skor!" Lala memutar dagu Sani agar temannya itu bisa melihat dengan jelas skor terakhir yang tertera. 51-50.
"Pelita Surya menang?" Sani menoleh dengan wajah yang semringah. "Ya Allah, Gusti ... PESURA menang! Aaahhh ...." Sani menjerit kegirangan. Ia langsung memeluk Lala girang.
"Maaf, aku enggak sadar kalau kita menang," ucap Sani setelah melepas pelukannya. Senyum canggung tercetak jelas di bibir Sani. Kulit sawo matangnya bahkan tak bisa menutupi gurat merah yang muncul di wajah cewek asal Bandung itu.
"Ya udah, yuk. Temen yang lain pada nunggu, tuh!" Lala merangkul pundak Sani, lalu berjalan berdampingan ke pinggir lapangan.
Beberapa teman sekelas Sani langsung menyapa mereka. Semuanya begitu excited karena PESURA berhasil memenangkan pertandingan basket tahun ini. Pertandingan yang bisa dikatakan adalah pertandingan terakhir Sani dan teman-teman yang lain karena mereka memang sudah kelas XII.
Cewek itu mengambil handuk kecil berwarna merah di dalam tas. Riuh kemenangan masih jelas terasa. Tentu saja, SMA Pelita Surya melawan SMA Nuansa Bangsa. Lawan yang bisa dikatakan rival abadi. Tahun ini, mereka bisa mengalahkan Nuansa Bangsa. Ah, rasanya ada beban yang terangkat dari pundak. Setidaknya ia bisa memberikan kenangan terakhir pada sekolah yang sudah menemaninya selama tiga tahun ini.
"Selamat ya, kalian semua hebat."
Sani menoleh. Pak Hendri selaku pelatih basket di sekolah ini tersenyum manis. "Coach." Sani mengangguk, ia memutar tubuhnya menghadap Pak Hendri.
"Kalian hebat, dan shoot-mu yang terakhir itu sungguh mengagumkan, Sani." Pak Hendri menyentuh pundak Sani, ada tatapan bangga sekaligus bahagia yang terpancar dari mata pria itu. "Satu jam lagi akan dibagikan pialanya. Kalian beristirahatlah dulu."
"Baik, Coach," ucap kelimanya bersamaan.
"La, aku ke toilet dulu, ya." Sani mengambil sabun muka di dalam tas, lalu berjalan melangkah ke arah toilet.
"San, Sani!!"
Sani menoleh. Senyum lebar tercetak jelas di bibirnya. Cewek itu menggeleng saat melihat Melan—sahabatnya—berlari ke arahnya dengan tergesa.
"Santai atuh, Neng."
"Maaf, San. Tadi aku sama Kiran enggak bisa ngasih semangat buat kalian berdua. Kita lagi remid fisika," ucap Melan dengan wajah yang sedikit bersalah.
"Enggak apa, Mel. Aku tahu kalian lagi remedial fisika." Sani tersenyum tipis, ia kembali melangkah ke arah toilet.
"Eh, kamu mau ke toilet? Aku ikut dong."
"Hayu, atuh ...." Sani merangkul pundak Melan lalu berjalan beriringan ke arah toilet. Mereka membicarakan kencan Melan kemarin malam. Sani terus mendengarkan cerita sahabatnya itu sambil mengeluarkan isi sabun muka—salah satu merek terkenal—yang berwarna hitam. "Kalau gitu, kenapa Rado ninggalin kamu? Kamu, kan—"
Ucapan Sani terputus ketika Melan menabrak seorang cowok yang berjalan ke arahnya. Tidak ada adegan romantis seperti di sinetron, seperti si cowok yang menangkap tubuh si cewek atau saling bertatapan dalam karena terpesona. Yang ada, Sani malah tertawa terbahak-bahak karena bedak tabur yang dibawa Melan tumpah terkena baju si cowok.
"Eh, maaf, maaf," ucap Melan panik, sedangkan Sani masih saja tertawa.
"Waduh ...." Sani menggaruk kepalanya canggung. Rasa bersalah langsung menghinggapi hatinya saat ia menyadari cowok di depannya hanya terdiam, menatapnya dengan tajam dan dingin. Cewek itu berdeham pelan. "Aku minta maaf, aku tak—" Ucapan Sani terhenti. Cowok yang memakai hoodie hitam penuh misterius itu langsung melangkah melewati Sani dan Melan tanpa berkata sepatah kata pun.
"Eh, eh. Sebentar, atuh!" Sani langsung melangkah berusaha mencegat langkah cowok tersebut. "Aku minta maaf, ya? Aku enggak bermaksud ngetawain kamu, ko." Sani mengulurkan tangan sambil menatap cowok itu dengan wajah memelas. Ia meneguk air liurnya karena ekspresi cowok ini begitu dingin dan datar.
"Gue buru-buru. Minggir!"
Sani hanya bisa cengo, menatap cowok tersebut tak percaya. Badannya bahkan sampai berputar mengikuti arah cowok itu berlalu.
"Idih! Apaan sih, tuh cowok? Dia siapa, sih?" sungut Melan kesal. Ia menoleh ke arah Sani yang masih terdiam. "Dia anak baru? Sombong banget dia, kesel aku!"
Sani mengangkat bahu. Ia juga baru kali ini melihat cowok itu, tetapi bukan itu yang menjadi perhatiannya. Yang membuat ia bertanya-tanya adalah mata hitam yang terlihat begitu lelah, seperti ia belum tidur selama satu minggu.
******
"San, Sani!" Lala berteriak sambil berlari masuk ke dalam kelas. "Ada berita emezing! Kamu harus bin kudu denger!" Lala menarik napas. "Bentar, aku haus." Lala menyambar botol air minum Sani yang sengaja di simpan di atas meja.
"Apaan deh, La? Enggak liat, aku teh, lagi baca buku?" Sani menatap Lala kesal. Sahabatnya yang satu ini memang rada-rada. Rada cerewet, tidak bisa diam, suka bergosip yang pasti.
"Apaan, sih?" tanya Kiran penasaran. Ia dan Melan ikut duduk bergabung. Melan di samping Sani dan Kiran duduk di depan Sani.
"Kalian semua harus tahu, geng. Ada anak baru di kelas sebelah!!" seru Lala girang. "Dia ganteng, cuy. Udah gitu, namanya, dong! Namanya!!"
"Namanya kenapa?" tanya Melan penasaran. Ketiga sahabatnya menatap Lala penasaran. Pasalnya gosip yang selalu dibawa Lala memang tak pernah salah dan meleset.
"Namanya keren, ah elah! Namanya tuh Gilar, Gilar Neptunus!"
Satu detik ... dua detik. Ketiganya terdiam mencoba mencerna ucapan Lala, hingga akhirnya suara tawa Sani terdengar begitu nyaring sampai-sampai bisa mengalahkan suara guru matematika yang killer itu.
"Ih, ko malah ketawa, sih?" gerutu Lala kesal. Ia mendekap kedua tangannya di depan dada sambil mendelik ke arah Sani.
"Aduh, maaf .... Kamu sih, ngelucu. Gilar Neptunus? Beneran itu, teh, nama dia?" Sani terkekeh-kekeh. "Nama apaan coba itu?"
"Jahat kamu, San!" Melan menyenggol tubuh Sani karena sahabatnya itu masih saja terus tertawa.
"Maaf, maaf. Udah ah, aku mau ke perpus dulu. Mau balikin buku. Ada yang mau ikut?"
Ketiga sahabatnya langsung menggeleng serempak. Mereka malas berurusan dengan perpustakaan. Kalau bukan karena tugas bahasa, Sani juga ogah meminjam buku dari perpustakaan sekolah. "Ya udah, atuh. Aku ke perpus dulu." Sani berdiri lalu melangkah keluar kelas.
Cewek itu menggeleng tak percaya saat pikirannya kembali teringat nama cowok itu. Gilar Neptunus? Nama apa itu? Sungguh aneh. Ada ya, nama orang pakai nama planet begitu. Oke, kalau Venus atau Mars masih mending biar kayak di film itu. Lah, ini Neptunus? Tawa kecil kembali terdengar dari bibir Sani. Ia berdeham karena salah satu penjaga perpustakaan meliriknya dengan sinis.
Sani tersenyum tipis lalu segera melangkah dengan cepat ke arah salah satu rak buku setelah ia selesai memberitahukan bahwa ia ingin mengembalikan buku bahasa. Salah satu wanita penjaga itu memang agak menyebalkan. Jika ia yang menjaga perpustakaan, selalu saja siswa yang harus menyimpan kembali buku itu di tempatnya. Menyebalkan, bukan?
Setelah Sani menyimpan kembali buku bahasa, ia berjalan menuju keluar pintu. Matanya melirik beberapa siswa yang sedang duduk sambil sibuk membaca. Mereka khusyuk sekali. Sani tersenyum tipis. Baru saja ia ingin kembali melangkah, matanya melihat sosok yang kemarin ditabrak Melan. Entah mengapa, kedua kakinya malah dengan berani menghampiri cowok itu.
"Hei, kamu yang kemarin itu, kan?" tanya Sani setelah ia duduk di hadapan cowok itu. Sani tersenyum, mencoba bersikap ramah. Ia memang masih merasa bersalah karena kejadian kemarin. "Kamu anak baru, ya? Aku baru liat kamu soalnya." Sani berdeham pelan karena cowok ini hanya meliriknya sekilas lalu kembali membaca buku yang penuh dengan rumus fisika. Uh, Sani mual melihat buku-buku fisika itu!
"Aku minta maaf ya, soal yang kemarin itu. Aku beneran enggak sengaja ngetawain kamu ...," bisik Sani pelan karena beberapa siswa menyuruhnya untuk diam.
"Lo jadi cewek cerewet banget, ya?" Cowok itu menutup bukunya, ia berdiri lalu melangkah keluar perpustakaan.
Sani hanya bisa menganga tak percaya. Ia menggeleng pelan. "Ya Allah ... eta budak mani sombong pisan. Ih, nyebelin!!"Sani menyentakkan kakinya kesal, ia berdiri lalu melangkah keluar perpustakaan dengan mulut yang terus menggerutu.
* THANK YOU *
Chapter ini ditulis oleh @rifapoy19 dan di copy ke akun Maulidaagst dan risarisae.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top