Enam

* Happy Reading *

Langkah kaki cemas menyiratkan perasaan cewek dengan warna bola mata hitam pekat yang tengah menunggu pasangan tampilnya datang. Bibir kecil berwarna merah muda dengan sedikit polesan liptint itu pun tak berhenti melafalkan kata demi kata dalam bait yang harus ia ucapkan nanti. Jantungnya sedari tadi belum bisa diajak berdamai barang sedetik saja karena gugup.

Sani belum pernah tampil di depan banyak guru dan teman-teman satu sekolahnya—dalam keadaan ia yang menatap mereka. Rasanya berbeda ketika bertanding basket karena Sani hanya perlu melihat bola oranye, teman satu tim, lawan dan tentu saja ring tinggi tempat memasukkan bola.

Ia mengamati panggung tempat para peserta musikalisasi puisi berlangsung. Di sana ada Rifa dan Tomi, teman satu ekstrakulikuler basketnya yang sedang menampilkan penampilan terbaik mereka. Nyali Sani menciut mendengar penuturan juri yang mengatakan bahwa itu adalah penampilan terbaik sepanjang berlangsungnya lomba.

Tubuh Sani terasa lemas. Kalau ia tidak mengingat pesan Bu Tina yang memercayainya untuk mengikuti lomba ini—lomba di acara festival sekolah—mungkin cewek itu sudah kabur atau menguburkan diri di dasar terdalam dari tanah liat.

Sani menghentikan langkahnya, lalu menyandarkan punggung di tembok depan kelas sebelas. "Dwi mana, sih?"

Sambil menghentakkan kakinya tak sabaran, Sani mengedarkan pandang mencari teman-teman yang lain. Ia harap mereka bisa menghiburnya sebelum ia mempermalukan diri sendiri di atas panggung karena gugup. Namun, mata cewek itu malah menangkap satu refleksi yang familiar dengan bungkusan berbeda.

Gilar. Cowok itu memakai kaos putih dan celana batik cokelat, serta syal batik warna senada yang menutup pucuk kepalanya rapih. Ia duduk di bangku panjang sebelah panggung paling ujung, tempat menunggu giliran tampil.

Senyum kagum pun mengembang lebar di wajah Sani saat melihat pemandangan yang belum pernah tergambar dalam bayangannya. "Gilar meuni kasep pisan," ucapnya tanpa sadar. Kaki Sani bergerak menghampiri cowok itu dengan semangat. Ia jadi lupa akan kegugupannya menghadapi lomba.

Sani duduk di samping Gilar tanpa permisi. Orang yang menjadi objek tatapan Sani pun tidak mengalihkan pandangannya dari kertas yang ia pegang sambil bertumpu lemas di kursi. Geram tak kunjung mendapat respons, akhirnya Sani berseru, "Gilar!"

Seketika si empunya nama langsung duduk tegak dan mendelik kaget ke arahnya. "Astaga, Sani! Emang beneran lo kayak Jalangkung, ya!" ucapnya sambil mengelus dada dan sedikit bergeser menjauh dari Sani.

Tawa Sani pun pecah karena deskripsi Gilar. "Euleuh, abdi teh sanes Jalangkung, tapi Mak Kunti Penjaga Bola Basket!" Gelaknya pun tak terhenti karena guyonan asal yang keluar dari bibir kecilnya.

Setelah beberapa saat puas tertawa, ia menatap Gilar lagi yang sedang menatapnya dengan senyum kecil. Seketika terasa seperti ada gemercik api di pipinya. Atmosfer di sana pun berubah dalam waktu sekejab. Sani meneguk salivanya berat. Sambil mengeluarkan cengiran khasnya, ia berucap, "Kamu ikutan lomba juga?"

Gilar mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Hmm. Gara-gara Bu Tina."

"Loh, sama dong! Aku juga karena di suruh Bu Tina, nyebelin banget." Sani melirik gitar yang terletak di sebelah Gilar. "Kamu sama siapa tampilnya? Nanti kamu main gitar? Emang kamu bisa?" cerocos Sani.

Gilar melirik Sani sebentar, lalu mendenguskan napas berat. "Sama Kez. Kalo gue gak bisa main gitar, ngapain ini gitar gue gandeng."

"Ya, siapa tau aja gitarnya cuma pemanis," ucap Sani yang hanya dibalas Gilar dengan putaran bola mata malas.

Sani membuang pandangan ke arah panggung tempatnya berdiri nanti. Rasa gugup itu hinggap lagi, menempel erat di tubuhnya. Ia menggigit bibir bawah sambil memejamkan mata, berharap rasa itu meluap sedikit agar ia bisa menyelesaikan penampilannya dengan lancar—tetapi sepertinya tidak berhasil—hingga satu suara berat menenangkannya.

"Semua orang pernah gugup. Bahkan mereka yang udah sering tampil di depan banyak orang." Suara itu menghilang sebentar, lalu muncul kembali. "Tapi, jangan sampai kegugupan itu menghalangi lo untuk bisa nunjukin yang terbaik. Gue yakin, lo dipilih karena lo bisa, lo mampu. Jadi, tunjukin itu dan cukup gugupnya."

Kata-kata itu seakan menghipnotis dirinya. Berotasi sempurna pada pikiran dan menghalau segala kecemasan yang ada. Sani membuka mata, lalu menatap asal suara yang membuat hatinya tenang. Ia tersenyum lebar.

Gilar yang merasa terus-terusan ditatap Sani, mulai salah tingkah. Sebenarnya, ia juga gugup, mungkin lebih dari Sani, tetapi melihat cewek di sampingnya yang selalu muncul tiba-tiba membuat semangatnya bangkit kembali.

"Makasih, Neptunus! Ternyata planet dingin pun bisa menebarkan kehangatan juga, ya," ucap Sani masih dengan senyumannya.

Gilar tertawa kecil, menyadari nama belakangnya dipakai untuk mendeskripsikan dirinya secara tidak langsung. "Ya, bisa dong. Bahkan matahari bisa jadi dingin kalo dia lagi sedih. Kayak lo."

Sani melebarkan matanya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja Gilar ucapkan. Kenapa cowok misterius ini begitu peka? Sani bahkan tak pernah menceritakan ataupun memperlihatkan kesedihannya di depan orang banyak, tetapi Gilar selalu bisa melihat itu semua meski secara tidak langsung.

"Tumben diem? Biasanya lo cerewet banget."

Sani berdeham. Jantungnya seketika berdesir saat Gilar kembali menoleh ke arahnya. Cewek itu baru menyadari, jika Gilar memiliki mata cokelat yang begitu indah. Rasanya, ia ingin selalu bisa menatap mata itu setiap hari.

Gilar kembali menoleh ke arah kertas yang sejak tadi ia pegang. Cowok itu semakin gugup karena Sani terus saja menatap ke arahnya. Ingin sekali Gilar beranjak dari sana, tetapi waktu tampilnya sebentar lagi.

"Gilar!"

Gilar dan Sani menoleh bersamaan. Kezia datang diikuti Dwi dari belakang. "Ayo, latihan lagi," ucap Kezia sambil membawa sepucuk kertas. Gilar hanya mengangguk lalu berdiri mengikuti langkah Kezia yang menjauh dari Sani dan Dwi.

"Kita juga latihan lagi, yuk!"

Sani menoleh ke arah Dwi, lalu mengangguk pelan. Matanya terus saja mengikuti langkah Gilar yang menjauh. Cewek itu menghela napas berat. Hati Sani merasa dicubit saat ia melihat Gilar bersama cewek lain. Apa yang salah dengan dirinya?

******

"San, besok kita mau tampilin apa?" Hening, tak ada jawaban. Dwi menghela napas. "Lo, nyariin siapa, sih?"

"Apa?"

"Astaga! Gemes gue sama lo!" Dwi mencubit pipi Sani hingga kulitnya sedikit memerah.

"Aduh, nyeri, ih!" Sani mengelus pipinya yang terasa memanas. Mata hitam itu kembali ia edarkan, mencari sosok cowok misterius yang sudah menyita perhatiannya. Padahal Gilar juga masuk final, tetapi kenapa cowok itu sama sekali tak terlihat?

"Sani!"

Sani mengerjapkan matanya. "Aduh, kaget aku! Kenapa Dwi?"

Dwi mendengkus kasar. Kesabarannya kali ini benar-benar sedang diuji. "Besok, kan, final. Kita mau tampilin apa?"

"Loh, Bu Rena mana? Kan, dia yang bimbing kita." Sani menatap Dwi dengan bingung. Sejak tadi note lagu dari keyboard yang dimainkan Dwi terus terdengar.

"Izin pulang duluan, soalnya anaknya sakit." Dwi terus saja menekan tuts keyboard. Cewek itu sama sekali tak menoleh ke arah Sani yang sejak tadi duduk di sampingnya.

Kezia tiba-tiba masuk, diiringi Gilar di belakangnya. Sani diam-diam terus memperhatikan gerak-gerik Gilar. Ia tersenyum tipis saat melihat cowok itu lagi-lagi memakai tudung untuk menutupi kepalanya. "Ah, gimana kalau kita bawain puisi 'Aku Ingin' karya Sapardi Djoko Damono?"

Jari lentik Dwi seketika terhenti, ia menoleh ke arah Sani dengan alis yang mengerut. "Yang kaya gimana?"

Sani menepuk dahinya pelan. "Itu, loh, yang begini bunyinya, 'Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.' Tahu, kan?" Sani melirik Gilar sekilas, tetapi cowok itu tak menoleh sama sekali.

Sani mendengkus pelan. Mengapa juga ia berharap Gilar peduli akan ucapannya barusan? Cewek itu menggeleng pelan, lalu menoleh ke arah Dwi. "Kamu iringi pake keyboard. Bisa, kan?"

Dwi mengangguk. "Aku cari dulu nada yang pas."

Sani mengangguk setuju. Ia kembali menoleh ke arah Gilar, tetapi kekecewaan malah menghinggapi wajah cewek itu. "Kez, Gilar mana?"

"Oh, tadi dia keluar. Enggak tahu mau ke mana."

Sani membulatkan bibirnya sambil mengangguk. Ia terdiam, lalu berseru, "Eum, aku ke toilet dulu, ya. Kebelet!" Sani langsung berdiri lalu bergegas melangkah keluar. Suasana sekolah saat itu begitu hening. Suara kicauan burung yang mulai kembali ke sarang masing-masing terdengar mengalun indah. Cahaya mentari pun perlahan mulai meredup.

Sani melebarkan matanya. Ia menoleh ke kanan dan kiri mencoba mencari Gilar. Ia penasaran, kenapa Gilar selalu saja menghilang dan memisahkan diri dari yang lain? Cowok itu membuat Sani semakin penasaran. "Dia ke mana, ya? Apa mungkin ke taman belakang?"

Sani mengangguk. Dengan segera ia berlari menuju taman belakang. Namun, langkahnya seketika terhenti kala ia melihat sosok Gilar yang sedang menatap sendu langit sore.

Sani sungguh tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada Gilar. Cowok itu begitu misterius. Ia ingin sekali meraih Gilar, membantunya keluar dari masalah apa pun yang sedang ia hadapi saat ini. Namun, entah mengapa, cowok itu rasanya sulit sekali untuk dijangkau.

*********

Sani mengembuskan napas kasar, lalu melirik jam di tangan kanan. Pukul 8 malam dan Pak Seno masih belum juga menjemputnya. Beberapa orang panitia sudah kembali ke sekolah untuk mempersiapkan acara puncak di esok hari. Baru saja Sani ingin menghubungi supirnya, suara Akbar terlebih dulu menginterupsi.

"San, aku anterin pulang, yuk?"

Sani memutar bola mata malas. Akbar tak juga jera. Tadi sore ia sudah memarahi dan menyuruh cowok itu agar tak mendekatinya lagi. Namun, Akbar sama sekali tak mau mendengarkan ucapan Sani.

Sani melirik ke samping. Tak jauh dari tempat cewek itu berada, Gilar sedang memarkir motornya dan bersiap untuk pulang. "Aku udah janji sama Gilar mau pulang bareng. Iya, kan?" teriak Sani sambil tersenyum ke arah Gilar. Orang yang disebut namanya hanya bisa mengerutkan alis bingung.

Sedangkan Akbar yang mendengar hal itu hanya bisa terdiam. "Dia itu cowok aneh! Kenapa, sih, kamu mau sama dia?"

"Aku rasa itu bukan urusan kamu!" Sani melangkah mendekati Gilar tanpa memedulikan teriakan Akbar yang terus memanggil namanya. "Oh, harus kamu tahu," Sani memutar tubuhnya tepat saat ia sudah berada di samping Gilar, "aku enggak suka sama cowok yang tukang pemaksa. Jadi lebih baik kamu pulang!"

Gilar terdiam kala ia bisa melihat dengan jelas kemarahan di mata Akbar. Cowok itu mendengkus kasar, sebelum kembali memakai helmnya. Gilar hanya bisa menghela napas. Sebenarnya ia ingin sekali menjauhi dua orang ini, tetapi entah mengapa ia selalu saja berurusan dengan mereka.

"Gue enggak pernah janji mau nganter lo pulang," ucap Gilar sesaat setelah Akbar melajukan motor gedenya.

"Emang, aku cuma ngarang aja biar bisa lepas dari Akbar." Sani tersenyum tipis, lalu merogoh handphone di saku roknya yang tiba-tiba berbunyi.

Sani sama sekali tak menyadari, senyuman yang baru saja ia tampilkan berhasil menimbulkan semburat merah di pipi Gilar. Wajahnya seketika memanas kala Sani kembali menatap ke arahnya.

"Anterin aku pulang, ya? Supirku masih lama jemputnya. Sieun, euy, nunggu sendirian di sini."

"Enggak!"

"Ih, meuni kitu. Ini udah malem, kamu tega ninggalin aku sendirian?" Sani menatap Gilar dengan puppy eyes, berharap cowok itu mau berubah pikiran.

Gilar tak suka jika ada seseorang yang memohon kepadanya, terlebih ini seorang perempuan. "Ya, udah. Buruan! Tapi ada syaratnya."

Senyum cerah langsung tercipta di bibir Sani. Rasa bahagia yang ia rasakan, sama sekali tak bisa diungkapkan dengan beribu diksi. Untuk pertama kalinya, ia akan pulang bersama Gilar. Sani berdeham, menggigit bibirnya gemas. "Oke. Apa syaratnya?"

"Lo duduknya harus jauh dari gue. Trus, kalau mau pegangan, pegang tas gue aja."

"Hah?"

"Take it or leave it." Gilar mulai memasang helm full face-nya. Ia mengangkat kaca bening helm itu lalu menoleh ke arah Sani yang masih membeku. "Mau enggak?"

"Eh, iya. Mau!" Sani langsung bergegas naik ke motor Gilar dan mengikuti semua syarat yang Gilar katakan. Aneh, memang. Sebelumnya, tak pernah ada satu pun cowok yang meminta hal seperti itu pada Sani. Semua yang mengajaknya jalan, pasti selalu saja menginginkan hal yang berbeda.

Sepanjang perjalanan, hanya suara deru kendaraan yang terus terdengar. Angin berembus menelusuk kulit Sani membuat cewek itu bergidik pelan. Jalanan kota Jakarta cukup lengang malam ini, hal yang tidak biasa memang. "Kenapa enggak macet aja, sih?" gerutu Sani pelan. Kebahagiaan yang tadi sempat ia rasakan, berubah menjadi kekesalan.

"Udah sampai, San."

Sani mengembuskan napas kasar. Waktu berlalu sangat cepat kala orang merasakan bahagia-menyebalkan memang. Dengan perasaan dongkol, ia turun dari motor Gilar lalu menatap cowok itu datar. "Makasih, ya," ucap Sani lemas. Baru saja ia memutar tubuhnya, suara cowok itu terdengar kembali.

"Penampilan lo tadi keren."

Perlahan Sani memutar badannya menghadap Gilar. Iris hitam dan iris cokelat itu kembali bertemu, menghasilkan frekuensi aneh yang mengalir hingga ke jantungnya. Organ tubuh itu memompa darah begitu cepat, hingga membuat wajah Sani seketika memanas.

"Gue balik," ucap Gilar setelah ia berhasil mengendalikan detak jantung yang mulai tak karuan.

Sani hanya bisa menatap kepergian Gilar dalam diam, hingga motor besar itu tak terlihat lagi. Cewek itu menutup wajahnya yang kembali memerah. "Ya, Allah. Kasep pisan eta budak."

* Thank You *

Part ini sebagian di tulis risarisae tapi karena dia sakit, jadi aku yang meneruskan.

Part ini dicopy ke akun Maulidaagst dan risarisae.

Kemungkinan Risa akan hiatus dulu satu bulan ke depan, jadi kalian akan bertemu aku dan maul, harap bersabar, ya. Hahaha 😂😅

Buat risarisae cepet sembuh, ya. Kita bakal setia menunggu. Hehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top