EMPAT
* Happy Reading *
Gelap. Satu kata yang Gilar sadari kala ia membuka mata. Jantung cowok itu berdebar. Ia bahkan bisa mendengar deru napasnya dengan jelas. Rasa sesak terasa mengimpit dada saat Gilar menyadari jika ia sendirian di sana.
"Di mana ini?" gumam Gilar pelan. Tangannya bertaut mencoba mencari kekuatan. Ia merasa seperti berada di dimensi lain. Tak ada suara, cahaya, bahkan kehidupan. Yang ada hanyalah kegelapan. Ia merasa begitu tersesat. Tiada seorang pun yang menemani atau menuntunnya pada cahaya.
Gilar berjongkok, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Rasa takut yang teramat sangat kembali menghampiri. Jantungnya berdebar dengan kencang. Ia bahkan kesulitan bernapas sekarang. Apakah ia akan mati?
"Gilar ...." Suara seorang wanita sayup-sayup terdengar di telinga Gilar. Cowok itu mendongak, mengedarkan pandangan mencoba mencari asal suara tersebut. Namun, tak ada siapa pun di sana. Gilar tersenyum kecut. Sepertinya ia memang sedang berhalusinasi.
"Gilar, bangun! Ini tante, Sayang."
Seakan tertarik sesuatu, kesadaran Gilar kembali. Cowok itu perlahan membuka mata. Keringat bercucuran dari pelipisnya. "Ta-tante?" Gilar mencoba untuk duduk—meski tubuhnya masih terasa lemas. Ia menggeleng kala Tante Rima menawarkan diri untuk membantu.
"Ya, ampun. Gilar ...." Tante Rima menatap Gilar sendu. Tangan kanan wanita itu terulur ingin menyentuh kepalanya, tetapi ia urungkan. "Kamu kenapa? Kamu mimpi lagi?" tanya Tante Rima dengan nada khawatir.
Napas Gilar tersengal. Bayangan sang ayah yang menjerit kembali berkelebat dalam ingatan Gilar. Tubuh cowok itu bergetar sementara wajahnya menggelap karena rasa takut yang kembali menghampiri. Ia meremas selimut Captain America yang sengaja ia bawa dari Surabaya—kota kelahirannya—hingga buku-buku tangan cowok itu memutih.
"Gilar ... tenang, Nak. Ada tante di sini, Sayang," ucap Tante Rima lembut. "Ini, minum dulu. Biar kamu lebih tenang."
Gilar mengangguk. Ia menerima gelas berisi air putih itu, lalu meminumnya perlahan. Cowok itu menghela napas. Ia merasa lebih tenang sekarang.
"Kamu yakin belum mau cerita sama tante? Kamu enggak percaya sama tante?"
Gilar terdiam. Hampir satu bulan ia tinggal di Jakarta bersama tantenya. Sejak dulu, Tante Rima memang selalu baik dan perhatian padanya. Mungkin karena ia adalah kemenakan satu-satunya yang dimiliki wanita itu. Gilar bisa merasakan perasaan tulus yang diberikan oleh wanita ini.
Gilar menghela napas. Ia mengambil tisu yang ada di atas nakas. "Aku percaya, tapi aku belum siap untuk menceritakan semuanya, Tan." Gilar menunduk, mencoba menyembunyikan rasa kecewa yang tiba-tiba hadir.
"Hei ... enggak apa kalau kamu belum mau cerita. Tante bakal tunggu kapan pun kamu siap."
Tante Rima selalu bersikap lembut. Satu hal—dari banyak sifat—yang ia sukai dari tantenya. "Makasih banyak, Tan. Aku berutang budi sama Tante." Gilar mendongak menatap tantenya dalam. Senyum setipis kertas tercetak di bibirnya yang semula sempat gemetar.
"Kamu ngomong apa, sih? Kamu itu keponakan tante! Jadi, enggak ada yang namanya utang budi." Tante Rima tersenyum hangat, tetapi sayangnya senyum itu tak bisa bertahan lama. Wanita itu berdeham pelan. "Oh, iya. Minggu depan mama kamu mau ke sini."
Mata Gilar membulat kaget. Nama yang ia rindukan selama sebulan ini kembali hadir. Nama yang sebenarnya selalu membawa luka di hati Gilar. "Ma-mama? Ng-ngapain mama ke Jakarta?" tanya Gilar dengan suara bergetar. Pandangan matanya menggelap.
"Tante enggak tahu." Helaan napas terdengar. Tante Rima tersenyum kembali. "Kamu enggak perlu takut. Tante ada di sini buat kamu."
Gilar terdiam. Kilasan masa lalu kala ia tinggal bersama ibunya kembali terlintas. Cowok itu menghela napas berat sebelum akhirnya mengangguk samar.
****
Mata Gilar memperhatikan Pak Tino, guru bahasa Indonesia yang sedang menjelaskan tentang puisi. Pelajaran yang menurutnya agak membosankan karena ia memang tak suka dengan pelajaran bahasa. Dua orang cewek di depannya justru sedang cekikan tak jelas. Beberapa cowok di sampingnya bahkan saling melemparkan kertas kala Pak Tino sedang menulis di papan tulis.
Gilar menggeleng tak percaya saat iris hitam itu melirik sudut ruangan. Salah satu temannya sejak tadi terus menunduk dengan tangan yang memegang handphone. Ia yakin, orang itu sedang bermain game online—battleground—yang sedang hits.
Gilar menoleh ke arah jendela. Ada beban di pundak yang tak bisa ia jelaskan kala bayangan mamanya melintas di pikiran. Andai saja papah dan adiknya masih ada, mungkin hidup cowok itu tak akan sesulit ini.
Gilar menoleh kala suara riuh teman-temannya terdengar. Bel tanda pergantian pelajaran telah berbunyi rupanya. Pak Tino segera mengakhiri pelajaran kemudian keluar kelas. Beberapa cewek beranjak dari kursi dan segera menghampiri teman satu gengnya, sedangkan para cowok langsung membuka seragamnya. Memperlihatkan kaus yang sebelumya sudah mereka kenakan.
"Woy, Gilar!!"
Cowok itu menoleh ke samping saat namanya disebut dengan begitu lantang. Akbar—salah satu cowok nakal di kelas XII IPA 5—menghampirinya.
"Lo gak ikut olahraga?"
Gilar menggeleng. Ia kembali mengalihkan pandangan ke jendela.
"Eh, gue ngomong sama lo!" Akbar menggebrak meja hingga membuat Gilar kembali menoleh. Tubuh mereka hanya berjarak 100 meter, dan itu adalah posisi yang sangat riskan bagi Gilar. "Gue ini anak kepsek Pelita Surya. Gue yang berkuasa di sini! Jadi, lo enggak usah sombong sama gue!"
Gilar menyeringai. "Terus? Gue harus sujud karena lo anak kepsek, gitu?"
Mata Akbar membesar. Rahang cowok itu mengeras. Wajahnya terlihat diselimuti amarah. Baru saja Akbar ingin melangkah mendekat, suara peluit Pak Gofar—guru olahraga—menginterupsi.
"Ayo, anak-anak cepat ke lapangan! Saya hitung sampai sepuluh semua harus sudah ada di lapangan!" Pak Gofar menoleh ke arah Gilar. "Gilar, kamu istirahat saja kalau memang kurang enak badan."
Gilar mengangguk paham. Ia melirik ke arah Akbar sekilas. Cowok itu menggeram sebelum akhirnya pergi meninggalkannya sendirian di kelas. Gilar menghela napas lega. Keringat dingin menetes dari pelipis. Lututnya bahkan sudah lemas sekarang. Untung saja Pak Gofar datang tepat waktu karena jika tidak, ia tak tahu apa yang akan terjadi.
Setelah kelas sepi, Gilar memutuskan untuk duduk di samping lapangan. Hampir 45 menit ia duduk memperhatikan teman sekelasnya bermain basket. Meski mata cowok itu tertuju ke arah lapangan, tetapi pikirannya sejak tadi terus saja melayang memikirkan tentang mamanya. Sesekali pikiran Gilar teralihkan karena teman-teman cewek sekelasnya menjerit dengan gaya sok imut.
"Gilar!"
Ya, ampun! Ini cewek bikin gue jantungan aja, batin Gilar berseru.
Gilar refleks menggeser duduknya ke samping saat ia menyadari jarak tubuh mereka begitu dekat. Cowok itu kembali melihat ke arah lapangan.
"Aku mau ke toilet, tapi tadi liat kamu sendirian di sini. Kamu, teh, enggak ikut olahraga?" tanya Sani sambil menoleh ke arahnya.
"Gue gak suka olahraga." Gilar menjawab dengan cepat. Sebenarnya ia malas jika harus berurusan lebih jauh dengan cewek ini.
"Loh, kenapa? Biasanya anak seumuran kita paling suka olahraga."
"Tapi gue enggak."
Tawa kecil dari cewek itu terdengar begitu renyah di telinga Gilar. Entah mengapa, ada perasaan hangat yang tiba-tiba hinggap di relung hatinya.
"Kamu, mah, aneh." Sani menoleh ke arah lapangan. Tiba-tiba wajahnya berubah sendu. "Aku suka banget main basket. Cita-cita aku pengen jadi atlet basket, tapi papah malah ngelarang aku buat main lagi." Sani tersenyum kecut. Matanya menatap lapangan dengan pandangan kosong.
"Kalau gue pengen jadi dokter," ucap Gilar tiba-tiba.
Sani menoleh kaget ke arahnya. "Wah, keren, atuh. Jadi dokter apa?"
"Jantung." Gilar tersenyum miris. "Dulu bokap punya riwayat penyakit jantung."
Sani mengangguk mengerti. "Tapi sekarang beliau udah sembuh?"
"Bokap gue udah meninggal."
Sani menutup mulutnya dengan mata yang membelalak kaget. Rasa bersalah langsung terlihat di wajah manis cewek itu. Eh, tunggu! Manis? Gilar menggeleng pelan, ia pasti sudah gila.
"Maaf, maaf. Aku enggak tahu kalau ayah kamu udah meninggal. Aku enggak ber-"
"Enggak apa, enggak usah dibahas," ucap Gilar datar. Itu hanyalah masa lalu yang tak perlu ia bahas lebih jauh dengan orang lain.
Sani berdeham pelan. Jemarinya saling bertaut karena rasa canggung yang tiba-tiba hadir. "Oh, iya. Aku pengen nanya sesuatu."
Gilar menoleh.
"Kemarin pas aku ... aku—"
"Apa?" tanya Gilar mulai tak sabar.
"Eta ... aduh, kumaha ieu, teh, nyarios na coba? Ngerakeun urang!" gerutu Sani dengan bahasa yang sama sekali tak Gilar mengerti.
"Lo mau ngomong apa?"
"Itu ... kemarin kamu, teh, ngeliat aku yang pas nangis di lapangan?"
Gilar terdiam-mencoba mengingat. Senyum tipis seketika tercipta dari bibirnya. "Yang lo teriak tentang nilai itu?"
"Jadi kamu, teh, ngeliat aku lagi nangis kemarin? Ya, Allah ... malu pisan." Sani menutup wajahnya dengan kedua tangan. Wajah manis itu sekilas memerah. Gilar yang melihatnya hanya bisa tersenyum tipis.
"Ya, udah, atuh. Se-sebentar lagi istirahat, aku balik ke kelas dulu!" Sani langsung berdiri. "Jangan kasih tahu siapa pun soal kemarin!" seru Sani dengan wajah yang semakin memerah. Cewek itu berlari kembali ke dalam kelasnya.
Gilar mendengus. "Dasar cewek aneh! Bukannya tadi dia bilang mau ke toilet?"
Gilar menggeleng pelan. Tak butuh waktu lama hingga bel istirahat berbunyi. Hampir semua teman sekelasnya langsung berlarian ke arah kantin. Sedangkan Gilar, tentu saja ia memilih kantin yang selalu ia datangi. Belum juga cowok itu sampai, suara tawa salah satu teman Sani sudah terdengar. Dengan wajah datar, Gilar masuk ke kantin—yang cukup sepi—lalu berjalan melewati meja Sani.
Seketika mereka berempat langsung terdiam. Untuk beberapa saat mata Gilar dan Sani sempat bertemu. Mata bulat cewek itu mengingatkan Gilar pada mamahnya. Ia tersenyum tipis, tetapi Sani langsung mengalihkan pandangan dengan wajah yang sedikit memerah.
Gilar mengernyutkan alis dalam. Ia bingung apa yang salah, tetapi cowok itu tak ingin memikirkannya lebih jauh. Gilar mengangkat bahu, lalu duduk di salah satu meja yang berada di sudut ruangan.
Baru saja Gilar ingin menikmati makanan dengan tenang, suara Akbar terdengar begitu nyaring. Gilar melirik meja Sani dengan mulut yang mulai mengunyah makanan. Cowok itu datang bersama tiga kacungnya yang selalu setia menemani.
"Sani ...." Akbar langsung duduk tepat di samping Sani. "San, nanti sore ke mall, yuk?"
"Ih, males banget!" Lala menimpali dengan cepat.
"Jangan mau, San!" Kali ini Melan ikut bersuara.
"Apaan, sih, kalian enggak usah ngomong! Gue ngomong sama Sani!" seru Akbar kesal.
Gilar hanya diam dengan mata yang terus memperhatikan Sani. Cewek itu membelakanginya, jadi ia sama sekali tak bisa melihat ekspresi Sani sekarang seperti apa.
"Kayaknya jawaban dari Lala sama Melan udah cukup jelas. Lagian nanti sore aku, teh, mau les." Sani menjawab dengan nada tegas, bahkan Akbar sempat terdiam sebelum cowok itu kembali bicara.
"Kan, bisa sehabis kamu les. Ayo, dong, San. Mau, ya?"
"Akbar! Lo liat gak gue lagi makan? Ganggu, tau! Mending lo sekarang pergi dari sini karena muka lo bikin gue gak selera makan!" seru Kiran ketus.
Gilar hampir saja tersedak karena menurutnya ucapan Kiran sangat lucu. Ia berdeham pelan, lalu kembali melirik ke arah meja Sani.
"Eh, kalo lo risih ada gue, lo aja sana yang pergi!"
"Lo yang pergi, gak tahu malu banget!" Kiran berseru kembali, kali ini bahkan lebih ketus.
"Apa lo bi—"
"Cukup!" Sani menoleh ke arah Akbar. "Lebih baik kamu pergi dari sini. Aku lagi makan, bentar lagi istirahat abis."
Entah ekspresi apa yang diperlihatkan Sani pada Akbar, tetapi cowok itu langsung terdiam tak berkutik.
"Oke, oke. Aku pergi. See you, manis." Akbar membelai rambut Sani, tetapi gadis itu langsung menepis tangannya.
Gilar mengatupkan bibir, berusaha untuk tidak tertawa. Pemandangan yang baru saja ia lihat, benar-benar sangat langka.
****
Setelah sekolah terlihat cukup sepi, Gilar baru berani beranjak dari bangku kelasnya. Ia berjalan menuju parkiran yang berada tak jauh dari kelas XII IPA 5. Motor sport hitam dengan mesin 1500 cc yang berdiri dengan gagah di samping pohon jambu yang sedang berbuah dengan lebat. Baru saja ia ingin menaiki motornya, matanya menangkap sosok cewek yang sejak tadi terus menyita perhatiannya.
"Sani?" Gilar melihat jam di tangan kanannya. "Udah jam empat sore, kenapa dia masih di sini? Bukannya dia ada les?" Gilar melangkah mencoba mendekati, tetapi kakinya terhenti saat motor sport merah menghampiri cewek itu. Ia terdiam. Mencoba mengamati dari balik tembok gerbang sekolah.
"Sani," ucap Akbar setelah ia membuka helm full face-nya. "Kamu belum pulang?"
Sani menggeleng.
"Supir kamu ke mana?"
"Lagi nganterin mama belanja. Aku lagi nunggu ojek online." Sani kembali melihat handphone-nya dengan gelisah.
"Ya udah, aku anter aja. Kamu mau les, kan? Ini udah jam empat, loh. Pasti udah telat. Ojek online kalau jam segini dapetnya susah. Percaya, deh!"
Sani terdiam beberapa saat.
"Please, jangan mau, San. Dia cuma modus!" ucap Gilar pelan.
"Ya udah, atuh. Cepetan, ya. Aku lagi buru-buru soalnya."
Akbar mengangguk. Wajahnya terlihat begitu semringah. Cowok itu memberikan helmnya yang lain. Setelah yakin Sani sudah di posisi nyaman, ia segera melajukan motornya memecah jalanan ibu kota.
"Dasar cewek bodoh!" Gilar meninjukan tangan ke arah tembok. Cowok itu segera berlari ke arah motor hitam yang Gilar parkirkan di dekat pohon. Ia menaiki motor itu lalu segera melajukannya dengan kencang.
Motor Akbar masih terlihat di depan. Gilar mencoba terus membuntuti dari jarak yang cukup jauh. Ia tak mau kalau Akbar menyadari jika ia mengikuti mereka dari belakang.
Gilar mengernyutkan alis bingung. Pasalnya Akbar tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Yang membuatnya semakin aneh adalah di sana ada banyak pelajar Pelita Surya yang sedang berkumpul.
Gilar memarkirkan motornya di salah satu mini market. Ia melepaskan helmnya, lalu menutupi kepalanya dengan tudung. Cowok itu berjalan perlahan, berusaha mendekat.
"Ngapain coba kita ke sini?"
Suara Sani terdengar begitu marah. Gilar langsung bersembunyi di dekat pohon yang berjarak kurang lebih 500 meter.
"Sebentar aja, San. Aku ada urusan dulu di sini." Akbar menyentuh tangan Sani, tetapi cewek itu menepisnya.
"Aku mau les! Kamu, teh, enggak denger?"
"Iya, nanti aku anter. Sekarang a—"
"Enggak perlu! Kalau kamu mau nunjukkin siapa yang berkuasa atau hal bodoh lainnya, maaf, kamu salah orang!" Sani menunjuk dada Akbar dengan tatapan tajam. "Kalau kamu mau tawuran, silahkan! Tapi, jangan bawa-bawa aku!" Sani membalikkan badan, lalu melangkah dengan wajah penuh amarah.
Gilar semakin merapatkan badannya ke arah pohon, berharap keberadaannya tak disadari oleh mereka.
"San, tunggu dulu, dong!" Akbar mencoba mengejar Sani, tetapi cewek itu kembali menepis tangan Akbar.
"Lepasin, gak? Atau aku laporin kamu ke polisi!" Sani menatap Akbar dengan tajam. Lagi-lagi cowok di depannya sama sekali tak berkutik.
"Oke, oke." Akbar menghela napas. Ia melepaskan tangan Sani dengan perlahan. Ekspresi kecewa tergambar jelas di wajah cowok itu.
Sani menggeleng tak percaya. Ia membalikan badan, lalu berjalan dengan langkah tergopoh menuju jalan utama. Cewek itu meninggalkan Akbar yang masih melihatnya dengan tatapan sendu.
Gilar tersenyum puas. Ia menarik tudung hingga ke dahinya. "Good job, San."
* Thank You *
Part ini ditulis oleh @rifapoy19 dan dicopy ke akun Maulidaagst dan risarisae.
Baca terus kelanjutan ceritanya nanti di hari sabtu, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top