DUA
* HAPPY READING *
“Papa denger, kamu menang pertandingan lagi?”
Cewek berambut hitam sebahu itu menoleh ke samping. Ia tersenyum lebar membalas ucapan papanya yang bernama Thoriq. “Iya, Alhamdulillah. Aku emang bakat banget kayanya di basket.”
Thoriq mengangguk. “Masih inget pesen papa?”
Sani menunduk melihat raut wajah tegas papanya. Tidak ada senyuman jenaka yang biasa Thoriq berikan. Senyuman cerah Sani ikut menghilang begitu saja. Sudah pasti pesan itu selalu ia ingat.
Sebulan sebelum pertandingan, Thoriq menyuruh Sani berhenti bermain basket setelah mengikuti pertandingan hari ini agar anaknya fokus ujian. “Iya, Pa. Mulai hari ini aku nggak akan ikut pertandingan basket lagi.”
Dengan suara yang terdengar begitu dingin, Thoriq kembali berucap, “Ring basket depan rumah juga bakalan papa bongkar. Biar kamu belajar lebih giat!”
Sani melotot, menatap papanya dengan wajah memelas. “Ring depan rumah juga dibongkar, Pa? Apa nggak cukup kalau aku keluar dari tim aja? Kok, kitu, Pa?”
Thoriq berdeham kencang, membuat Sani langsung menunduk kembali. “Kamu, teh, jangan ngelawan! Papa mau kamu dapat nilai bagus saat ujian. Biar bisa masuk Universitas Negeri yang baik.”
Sani terdiam, ia memasukan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Cewek itu sedikit tidak rela jika harus berhenti bermain basket, karena itu adalah hobi yang merangkap menjadi impian.
“Nanti kamu cari tahu tempat les yang bagus, ya. Kalau udah nemu kasih tahu sama mama.” Lihat, bahkan Risa pun tidak mendukung impian sang anak menjadi pemain basket terkenal.
“Ini demi kebaikan kamu juga, atuh,” ucap Risa sambil memberi potongan ayam ke dalam piring Sani. “Papa sama mama, teh, sayang sama Eneng. Mau yang terbaik buat kamu.”
Sani tahu, impian itu hanya sebuah angan yang sulit untuk digapai, maka dari itu Sani hanya bisa mengangguk menjawab. Menolak pun tidak akan bisa. Papanya selalu berusaha keras agar Sani menjadi seorang anak yang berpendidikan tinggi dengan profesi yang nyata.
***
Senyuman itu terus tercetak di wajah cantiknya. Bibirnya selalu bergerak membalas atau menyapa lebih dulu murid-murid yang sedang berlalu lalang di koridor utama. Ia terus melangkah pelan, sebenarnya hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai ke kelas XII IPA 6. Namun, Sani justru memperlambat karena sibuk menyapa—yang sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi.
Sani menghentikan langkahnya tepat di depan kelas XII IPA 6. Matanya dengan jelas melihat sosok cowok ber-hoodie hitam yang sedang berdiri membelakanginya di depan kelas XII IPA 5.
Cewek itu mengerutkan kening, berusaha mengingat di mana ia pernah melihat hoodie itu. Ia berjalan pelan mendekati agar bisa memastikan tulisan di punggung cowok itu, hingga akhirnya Sani menjentikan jari. Ia mengingatnya.
Kemarin sore di perjalanan pulang ke rumah, jalanan begitu macet karena kecelakaan beruntun. Sani sempat keluar mobil, tanpa sengaja ia melihat cowok ber-hoodie hitam dengan tulisan Win di punggungnya. Cowok itu berdiam diri, sesaat kemudian ia berlari kencang meninggalkan tempat yang begitu ramai. Mengapa cowok itu berlari? Sani bahkan belum sempat melihat wajahnya karena tertutup tudung.
Kini, hoodie itu dikenakan oleh sosok cowok di hadapannya. Sama persis yang digunakan oleh cowok yang ditabrak Melan dua hari yang lalu. Apakah benar cowok yang kemarin sore ia lihat adalah sosok yang sedang berdiri di hadapannya?
Sani tersentak kaget ketika cowok itu menoleh ke arahnya. Dengan canggung, Sani tersenyum walau tidak dibalas oleh Gilar. Cowok itu berjalan masuk ke kelas meninggalkan Sani yang bergidik ngeri setelah melihat tatapan datar Gilar.
Jika benar cowok kemarin sore itu Gilar, lalu mengapa ia berlari? Sani mengedikkan bahu. Ia memilih masuk ke dalam kelas mengabaikan rasa penasaran terhadap cowok itu.
“Eh, San! Sini, sini kita rumpi!” Lala melambaikan tangannya menyuruh Sani segera duduk di samping.
“Apa? Rumpi Oppa, dede gemes?” Sani bertanya setelah ia duduk dengan tas yang masih menggantung di punggungnya.
“Murid baru ganteng lebih tepatnya.” Lala tersenyum lebar. “Cowok yang ditabrak Melan itu ternyata murid baru yang ganteng dan pinter banget!”
“Biasa aja menurut aku!” Kiran menyahuti dengan cuek.
Melan tertawa. Ia sangat tahu bagaimana respons Kiran saat membicarakan cowok. “Bukan ganteng aja, tapi aneh.”
“Kenapa?” Sani menggigit cokelat milik Lala, hingga sahabatnya itu menjerit tidak terima.
“Aku denger dia nggak pernah salim sama guru, paling bungkukin badan.”
“Dia kira kita di Korea kali, ya?” Lala tertawa dan disusul oleh ketiga sahabatnya. “Aku juga denger, katanya dia anak pindahan karena punya masalah di sekolahnya dulu.”
Kiran mengangguk. “Bad boy ala-ala jaman sekarang kali dia.”
“Yee … jangan pada buruk sangka dulu.” Melan memperingati kedua sahabatnya.
“Bad boy, mana ada yang pinter, Kir,” ucap Sani. “Kalau menurut aku dia, teh, tipe cowok pendiem.”
“Setuju!” Melan berseru kencang. “Gue mau jadi pacar dia. Biar ketular kalem-kalemnya.”
Seketika semua kompak mengeluarkan seruan saat mendengar ucapan Melan. Iya, Sani tidak berpikir jika Gilar seorang cowok nakal. Bagaimana mungkin cowok nakal selalu sendirian?
***
“Iya, Pa. Ini, teh, aku lagi di jalan sama pak supri ke tempat les yang dapet rekomendasi dari bu Tiara,” ucap Sani yang membalas pertanyaan Thoriq lewat telepon. Papanya selalu bertanya tempat les mana yang akan anaknya pilih, membuat Sani merasa geram sendiri.
Sani memutar bola mata malas, mengentak-entakkan kaki hingga menimbulkan bunyi. Ia bosan mendengar ucapan papanya yang menuntut Sani untuk memilih tempat les yang baik menurutnya, bukan menurut Sani.
“Iya-iya, Pa. Sani langsung pulang nggak akan main dulu.” Sani kembali membalas ucapan papanya. Ia melemparkan ponsel ke samping saat telepon telah terputus. Bagaimana bisa Sani main bersama teman-temannya jika ia diantar jemput oleh supir seperti ini? Tidak Risa, tidak Thoriq. Keduanya selalu mengekang Sani.
Jika boleh jujur, Sani sangat iri kepada orang yang mempunyai kepintaran di atas rata-rata. Tanpa belajar pun mereka akan tetap mendapatkan nilai yang memuaskan. Berbeda dengan dirinya yang harus bekerja keras untuk mendapatkan nilai yang memuaskan. Tidak remedi saja, Sani akan sangat bersyukur. Apalagi jika dirinya mendapatkan nilai di atas rata-rata. Sujud syukur tiga hari akan ia lakukan jika itu terjadi.
“Oh, otak … andai aku, teh, terlahirkan sebagai anak yang mempunyai kepintaran di atas rata-rata.” Sani menghela napas. “Mungkin belajar tiga jam aja cukup mereun, ya?
Sani menyandarkan kepala ke jendela mobil. Meratapi nasibnya yang kini harus belajar lebih dari 9 jam. Selama tidak les saja, cewek itu kelelahan dalam belajar. Bagaimana dengan tambahan jam waktu belajar karena ikut les? Bisa-bisa otak Sani tertimbun rumus-rumus.
“Belajar, belajar dan belajar!” Cewek berseragam putih abu-abu itu kembali meracau sendiri. Mengabaikan supir yang duduk manis di depan. “Otak … semoga kamu, teh, nggak jenuh belajar mulu tanpa hiburan.”
“Kalau aku masih dibolehin main basket, kan, enak. Bisa dijadiin hiburan saat penat belajar.” Embusan napas lelah keluar begitu saja dari bibir mungil Sani. “Ujian … cepet, atuh, berlalu!”
Lelah berbicara sendiri. Sani menutup bibirnya rapat-rapat. Tangannya bergerak meraih ponsel, tidak ada pesan selain dari grup chat yang dihuni para sahabatnya. Tanpa minat, Sani menutup obrolan chat dan mematikan ponsel. Ia kesal karena tidak bisa ikut gabung ke rumah Melan untuk menonton drama korea bersama.
Cewek itu kembali duduk tegak saat melihat seorang cowok ber-hoodie hitam bertuliskan Win. Ia sedang berjalan menyebrang jalan di hadapan Sani. Itu Gilar! Sani yakin, karena kini tudungnya tidak begitu menutup wajah cowok itu.
Sani mengerutkan kening. Gilar memundurkan langkahnya saat ia hampir sampai di tepi jalan. Sani menoleh melihat lampu lalu lintas yang sudah berganti warna menjadi hijau. Mengapa Gilar justru memundurkan langkahnya dan mengabaikan bunyi klakson yang semakin nyaring?
“Itu kenapa anak cowok mundur, ya? Padahal tadi dia udah hampir sampe ke tepi jalan. Ini keburu lampu merah lagi!” Pak Supri menggerutu sambil terus menekan klakson.
Mata Sani terus tertuju pada Gilar. Terlihat seorang kakek-kakek sedang berjalan dari arah belakang Gilar. Cowok itu kini memainkan ponsel sambil kembali berjalan maju, bersebelahan dengan kakek-kakek tadi, hingga ke tepi jalan.
Lagi, dahi Sani mengerut. Apa maksud sikap Gilar? Apakah cowok itu berniat untuk membantu kakek menyebrang? Namun, mengapa cowok itu tidak menuntunnya secara langsung? Beberapa pertanyaan tentang Gilar mulai hinggap di kepala cewek bermata hitam itu.
Perlahan, bibirnya tertarik membentuk senyuman. Sani semakin yakin, Gilar bukan seorang cowok nakal. Ini sudah cukup menjadi bukti, cowok itu membantu seorang kakek menyeberang secara tidak langsung.
Hatinya sedikit tersentuh oleh perbuatan Gilar. Sani tak menyangka di balik kabar buruknya, cowok itu mempunyai sisi baik yang tidak terlihat.
* THANK YOU *
Part ini ditulis oleh Maulidaagst dan dicopy ke akun @rifapoy19 dan risarisae.
Part selanjutnya akan ditulis oleh risarisae di hari sabtu, ya .... So, don't miss it guys.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top