Delapan
* Happy Reading *
Gilar membuka pintu gudang dengan perlahan. Ia meletakkan kipas di dekat lemari besar yang sudah cukup tua dan dipenuhi sarang laba-laba. Cowok itu melangkah keluar, tetapi tangannya tak sengaja menyenggol lemari tersebut dan membuat beberapa kotak kardus berjatuhan.
Gilar mengerang. Ia memunguti satu per satu kotak yang sempat jatuh. Gerakan tangan cowok itu seketika terhenti, kala mata cokelatnya melihat foto lama saat keluarganya masih lengkap. Jantung Gilar mulai berdebar dengan kencang. Cowok itu mencoba mengumpulkan keberanian.
Dengan tangan bergetar, ia mengambil satu foto yang masih begitu hangat dalam ingatan. Tobi, Linda, dirinya dan Nidan. Air mata cowok itu menggenang di pelupuk mata. Senyum lembut Tobi, tatapan sayang Linda, dan wajah Nidan yang terlihat sangat bahagia membuat air mata Gilar menetes begitu saja.
"Papa ...," lirih Gilar sambil meremas bingkai foto yang ia pegang. Ia merindukan kehangatan itu. Pelukan hangat Tobi yang masih bisa Gilar rasakan, belaian sayang Linda di kepalanya, dan tawa Nidan yang selalu terngiang di telinga. Dada Gilar bergemuruh, rasa sesak yang tadi sempat hinggap, kini terasa semakin jelas. Luka itu ternyata sama sekali belum mengering.
Gilar tak sempat membahagiakan Tobi, tetapi Tuhan sudah memanggilnya terlebih dulu. Kedua anggota keluarganya direnggut dengan cara yang begitu menyakitkan. Kejadian itu begitu membekas diingatan Gilar. Kecelakaan mobil yang terjadi sepuluh tahun lalu, membuat kehidupannya menjadi berubah.
Kenangan indah yang seharusnya Gilar rasakan, malah berubah menjadi kenangan buruk. Kejadian itu pula yang membuat rasa sakit terus bersemayam di hatinya. Kasih sayang yang sempat ia rasakan dari Linda, kini habis tak tersisa.
Kepala Gilar tiba-tiba berdenyut. Memori ketika Linda sering memukulnya dulu kembali melintas. Terus berulang hingga membuat lutut cowok itu melemas. Gilar menyandarkan tubuhnya ke tembok. Keringat dingin menetes dari pelipis. Tubuhnya bergetar seiring dengan rasa sakit yang terus menjadi.
"Argh!" Gilar melemparkan pigura tersebut dengan keras. Ia menekan dada yang terasa sesak dan sakit. Udara di sekitar seakan menipis, membuat cowok itu harus berusaha keras agar tak terjatuh. Tangan Gilar perlahan terulur ke arah pintu. "Ta-tante ... tolong ...."
Tubuh Gilar merosot ke bawah, seiring dengan pandangan matanya yang perlahan mengabur. "Ta-tante ...," lirih Gilar dengan tenaga yang masih tersisa.
"Gilar, kenapa kamu lama banget? Tante udah si—" Rima membelalak kala ia melihat keponakannya yang sedang terduduk di lantai dengan wajah yang pucat pasi. "Gilar! Kamu kenapa?" Rima menghampiri keponakannya dengan tergesa.
"Ta-tante ...."
Rima tertegun kala cowok itu menyentuh tangannya untuk pertama kali sebelum Gilar tak sadarkan diri. Seketika ia mengerjap, lalu menggelengkan kepala. "Mang Didi!" teriak Rima dengan kedua tangan yang terus mendekap tubuh Gilar. "Mang Didi! Ke gudang buruaan!"
"I-iya, ada apa, Non?" tanya Didi dengan napas yang terengah. "Eh, itu den Gilar kenapa?"
"Buruan angkat dia ke kamar."
Didi hanya terdiam sambil menatap Rima linglung.
"Sekarang!" teriak Rima semakin panik.
"Ba-baik, Non."
****
"Gimana keadaan ponakan gue, Res?" Rima mengelus kepala Gilar lembut. Keponakannya masih belum juga sadarkan diri sejak dua jam lalu.
"Dia baik-baik aja, kok. Cuma kecapean dan terlalu banyak pikiran. Ini, gue kasih obat. Diminum sesuai resep, ya."
Rima mengangguk paham.
"Rim, anak ini lagi punya masalah?" tanya Resti menatap Rima dengan wajah khawatir.
Rima terdiam cukup lama. Sebagai seorang tante, ia merasa tak berguna. Rima memang sudah memiliki dugaan mengapa Gilar seperti ini, tetapi ia tak mau sampai salah mengambil keputusan karena Gilar sendiri pun bahkan belum mau bercerita alasan yang jelas mengapa keponakannya ini memiliki trauma.
"Enggak masalah kalau lo enggak mau cerita. Gue harap, apa pun masalah anak ini bisa segera selesai." Resti menarik kedua sudut bibirnya, lalu tangannya menyentuh lembut bahu Rima. "Gue balik, ya? Kalau ada apa-apa, telepon aja."
Baru saja Rima ingin beranjak, tetapi gerakannya langsung diinterupsi.
"Ga perlu dianter. Lo di sini aja."
Rima mengangguk, sembari tersenyum tipis. "Thanks a lot, Res." Rima terus memperhatikan Resti hingga wanita itu keluar dari kamar Gilar.
Rima menyentuh tangan Gilar, lalu meremasnya pelan. "Tante sedih ngeliat kamu kaya gini terus." Air mata wanita itu menggenang. "Kamu keponakan tante satu-satunya. Udah cukup ... dulu tante pernah kehilangan Nidan. Tante enggak mau kehilangan kamu juga."
"Kenapa lagi anak itu? Bertingkah lagi?"
Rima menyeka air mata yang sempat lolos melewati bulu mata lentiknya dengan kasar. Suara dari orang yang paling ia harapkan tak muncul, kini malah berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Wanita itu menoleh, lalu berseru, "Kak, bisa dijaga enggak omongannya? Dia anak kakak satu-satunya dan sekarang dia lagi sakit!"
Seringaian tipis tercetak di bibir Linda, tak ada sedikit pun belas kasihan di mata yang entah sejak kapan kehangatannya telah meredup. "Mau dia sakit atau mati sekali pun, saya tidak peduli."
"Kak Linda!" teriak Rima penuh amarah. Tiba-tiba kepala wanita itu berdenyut nyeri. Ia memijit keningnya perlahan. Seperti berada di tempat sempit tanpa celah udara, dadanya terasa begitu sesak dan sakit. Inikah sifat asli kakaknya? Dulu, Linda bukan orang seperti ini. Dia pribadi yang hangat dan penuh kasih. Namun, sejak kematian suami dan anak bungsunya, Linda seakan menjadi orang yang sama sekali tak ia kenal.
"Sekarang lebih baik jangan pedulikan anak itu lagi!"
Rima termangu. Air mata yang sejak tadi ia tahan, menitik begitu saja. Tubuhnya bergetar, penuh ketakutan. Ia tak pernah merasakan aura ini dari Linda. "Kak, kasihan Gilar. A-apa kakak enggak kasihan sama dia?"
Linda menyeringai bak iblis sambil melirik Gilar yang masih tertidur. "Dia memang pantas menerimanya. Dia pantas merasakan semua penderitaan yang saya rasakan!" Linda melangkah keluar meninggalkan Rima yang masih tertegun.
Ucapan pedas dari sang kakak seketika membuat air mata Rima meleleh, menyisakan luka di sudut hati terdalam wanita itu. Ia hanya ingin Gilar dan Linda bahagia. Ya, hanya itu.
****
Rima terus saja menatap Gilar yang sejak dua jam lalu telah sadarkan diri. Cowok itu sedang menyantap bubur buatannya. "Kamu sebenernya kenapa? Lagi ada masalah? Atau ini tentang mamamu lagi?"
"Bukan!"
Rima tertegun. Ia bisa melihat dengan jelas, ada ketakutan di dalam mata keponakannya. "Gilar, kamu bisa cerita apa pun sama tante. Kamu tahu itu, kan? Jangan takut. Menceritakan suatu hal yang terjadi pada kehidupan kita pun, itu bisa jadi salah satu terapi."
Gilar menghela napas, lalu mengangguk perlahan. "Makasih banyak, Tan. Aku udah selesai." Gilar menyodorkan mangkuk berisi bubur yang hanya ia makan beberapa sendok. "Tante, aku mau keluar, ya?"
Rima melebarkan mata, menegakkan tubuhnya karena kaget. Sepertinya telinga wanita itu sudah tuli karena baru saja ia mendengar bahwa Gilar ingin pergi keluar rumah. "Apa?"
"Aku pengen menghirup udara segar aja, Tan," ucap Gilar dengan wajah yang masih pucat.
Rima menatap Gilar sendu. Perlahan ia mengangguk, lalu berkata, "Dianter sama mang Didi naik mobil, ya?"
Gilar terdiam sesaat. Andai saja yang berbicara di depannya ini adalah ibunya, mungkin ia akan merasa bahagia. "Iya, Tan."
Tak membutuhkan waktu lama hingga Gilar berada di dalam mobil. Cowok itu sejak tadi terus saja memandang keluar kaca. Ia menghela napas berat. Cuaca sore itu cukup cerah, berbanding terbalik memang dengan suasana hatinya.
"Den, kita mau ke mana?"
Gilar hanya termangu, matanya sesekali melirik orang-orang yang berlalu lalang. "Terserah, Mang. Ke mana aja yang penting sepi," ucapnya setelah beberapa saat hanya menatap jalanan. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya sejenak.
Gilar ingin sekali melepaskan segala perasaan yang membuat dadanya sesak. Ia telah mencoba untuk bertahan semampunya. Bagaikan bumerang yang akan kembali ke tempat semula, kenangan itu pun selalu saja menghampiri Gilar. Ketika ia mencoba melupakan semua kejadian itu, semua terasa semakin menyakitkan. Ia tak ingin menjadi orang yang seperti ini. Gilar selalu merasakan sepi saat sedang berada di keramaian.
Gilar sering merasakan hampa ketika ia berada di dekat keluarga atau temannya. Cowok itu hanya ingin merasakan bahagia—sesederhana itu—tetapi entah mengapa bagi Gilar kebahagian itu adalah sesuatu yang berdosa untuknya.
"Den, udah sampai."
Gilar menoleh ke arah kanan. Ia mengernyit ketika yang dilihatnya hanya sebuah taman, cukup sepi memang.
"Taman di sini bagus, Den. Ada danaunya juga. Mang mah yakin, Den Gilar pasti belum pernah ke sini. Iya, kan?"
Gilar menarik kedua sudut bibirnya setipis kertas. Ia keluar dari mobil lalu mulai melangkah. Udara di sini cukup sejuk. Angin yang berembus menyapa kulit, membuat hati cowok itu menjadi damai. Jarang sekali di kota Jakarta yang penuh dengan polusi ada tempat yang bagus seperti ini. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat danau yang cukup luas dan dihiasi oleh beberapa pohon yang cukup besar. Ada tempat duduk yang terbuat dari kayu juga untuk beristirahat. Di sini pun cukup bersih, membuat Gilar nyaman berada di sini.
Gilar melangkah ke salah satu bangku kayu di dekat danau, duduk lalu menatap kumpulan air itu dengan tenang. "Aduh!" rintih Gilar sambil mengelus bahu kanannya yang terkena kaleng minuman. Ia mengedarkan pandangan dengan kesal.
"Maaf, maaf. Aku enggak sengaja!"
"Ngapain lo di sini? Lagian, lo enggak liat tulisan di sana 'Dilarang buang sampah sembarangan'?"
"Aku liat, kok. Aku cuma lagi kesel aja sama papa!" keluh Sani dengan wajah merengut. Ia duduk di samping Gilar sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Kamu tahu enggak, pa—"
"Enggak!"
"Ih, Gilar! Aku belum selesai ngomong, atuh. Dengerin dulu!" Sani memukul bahu kanan Gilar membuat cowok itu seketika terdiam. "Papa aku nyebelinnya mulai kumat. Dia masih aja nanya-nanya soal basket. Kayaknya enggak percaya banget sama anaknya!"
Sani menoleh ke arah Gilar. "Papa suka ngatur-ngatur, aku enggak suka. Padahal, kan, basket hobi aku." Sani menghela napas, lalu kembali memandang danau di depannya.
"Itu artinya bokap lo sayang sama lo. Seharusnya lo ngerasa beruntung karena masih punya bokap yang perhatian banget sama lo."
Sani menoleh ke arah Gilar dengan wajah cemberut. Ia tak suka jika cowok di sampingnya ini mulai menceramahinya dan bersikap sok bijak.
"Gue bakal bayar berapa pun, kalau gue bisa berganti tempat sama lo. Asalkan gue bisa ngerasain lagi perhatian kecil kaya gitu." Air mata Gilar kembali menggenang. Ya Tuhan, betapa ia merindukan ayahnya.
"Emangnya ... bokap lo ke mana?" tanya Sani ragu.
Gilar menghela napas berat. Pertanyaan yang sama yang selalu diajukan teman-temannya. Pertanyaan yang sebenarnya sangat menyakitkan jika diingat, tetapi bukankah ia harus terus bersandirawa? Berpura-pura bahwa ia memang baik-baik saja. "Bokap sama adek gue meninggal dalam kecelakaan mobil, sepuluh tahun lalu."
Sani menutup mulutnya dengan tangan kanan. "Aku minta maaf. Aku enggak bermaksud—"
"Enggak apa. Santai aja. Gue baik-baik aja, kok." Gilar menoleh ke arah Sani, lalu menarik kedua sudut bibirnya sekilas.
Sani mengerjap. Sepersekian detik ia merasa jika jantungnya seakan berhenti. Ada kehangatan yang tiba tiba menelusuk, kala ia melihat wajah Gilar. "Em, itu ... anu, muka kamu kok pucat? Kamu sakit?" Sani mengulurkan tangan mencoba menyentuh dahi Gilar, tetapi seketika cowok itu langsung menjauhkan tubuhnya.
Sani merengut. Cowok itu selalu menghindar tiap kali ia ingin menyentuhnya. Apa ia bau? Padahal tadi sebelum ke taman ini, cewek itu mandi terlebih dulu.
"Gue baik-baik aja, kok," ucap Gilar sesaat setelah ia berdeham pelan.
"Tunggu bentar!"
"Eh, mau ke mana? San, Sani!" teriak Gilar saat ia melihat gadis itu tiba-tiba beranjak kemudian berlari. "Apa dia tersinggung karena gue tadi ngehindar? Kayaknya dia salah paham. Padahal, kan, bukan gitu maksudnya."
Gilar kembali memandangi danau di depannya. Ia mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman yang tiba-tiba hadir dalam hatinya. Cowok itu berdengus. "Besok gue harus jelasin ke Sani biar dia enggak salah paham!" Gilar mengangguk yakin.
"Eh, tunggu! Ngapain juga gue harus ngejelasin ke dia?" Gilar mengacak rambut hitamnya. Ia bingung dengan sikapnya beberapa minggu ini. Jantungnya selalu berdegup tiap kali ia berada di dekat Sani. Ia tak suka jika cewek itu bersama dengan cowok lain, terutama Akbar. Enggak mungkin kalau ia suka—
"Nih!"
"Astaga!" Gilar terperanjat. Ia langsung menoleh ke arah kanan dengan wajah yang kesal. "Sani! Dingin tahu!" Cowok itu mengusap pipinya perlahan.
Sani terkekeh-kekeh. Ia kembali duduk di samping Gilar. "Abis, kamu ngelamun. Daritadi dipanggil juga. Buat kamu." Sani menyodorkan satu kaleng susu ke arahnya.
Gilar menyatukan kedua alisnya. "Apa ini?"
"Susu."
Alis Gilar semakin mengkerut. "Anak TK juga tahu ini susu. Maksud gue buat apa?" Rasanya Gilar ingin mencubit pipi Sani karena saking gemasnya. Jika saja ... ia punya setitik keberanian untuk menyentuh cewek itu.
Sani meminum seteguk soda, lalu menoleh. "Biar kamu enggak sakit lagi. Susu ini baik buat kesehatan kamu. Kata mama, 'Neng, kalau sakit harus minum susu ini. Biar daya tahan tubuh na teh, bagus.'"
Gilar menatap Sani dengan pandangan dalam. Ya Tuhan, hanya dengan perhatian kecil seperti ini dia merasa begitu terharu. Ia seperti menjadi seseorang yang begitu berharga. Gilar mengalihkan pandangan. Ia menyeka kasar air mata yang sempat menitik.
"Oh, jadi kamu enggak mau? Ya udah, atuh."
"Gue mau, kok!"
Sani langsung mengerjap. Mulutnya sedikit menganga karena suara Gilar yang begitu bersemangat.
Gilar berdeham. "Ma-maksud gue, gue mau. Simpen aja di situ." Gilar menunjuk ke arah meja di depannya. "Makasih, ya," ucapnya tulus.
Hening menyelimuti kembali. Kedua insan ini mencoba saling mengartikan kebisuan dalam diri masing-masing.
"Ah, gimana kalau kita ke pasar malam? Di dekat rumahku lagi ada pasar malam."
Gilar menoleh kaget. Kenangan sepuluh tahun lalu, saat ia, Nidan dan Tobi berada di dalam mobil kembali menari-nari di memorinya.
"Gue enggak suka pasar malam!" teriak Gilar dengan sorot mata yang penuh amarah. Ia berdiri lalu melangkah begitu saja meninggalkan Sani yang masih tertegun.
"Eta budak kunaon, sih? Nyebelin pisan!" Sani menyambar susu yang tadi ia belikan untuk Gilar lalu melangkah pergi dari taman tersebut dengan perasan dongkol. Lihat saja besok! Cowok itu harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
* Thank You *
Part ini ditulis oleh @rifapoy19 dan dicopy ke akun risarisae dan Maulidaagst.
Maafkan karena telat update. Semoga suka ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top