Unifying Differences
"Kembali ke negara asalmu!"
"Kau hanya menumpang di sini!"
"Kau hanya orang Asia yang bodoh!"
Setiap kali mendengar kata-kata seperti itu, Naomi hanya bisa menghela napas dan segera meninggalkan sekelompok anak-anak yang begitu mudah melemparkan kata-kata yang tidak berkenan untuk didengar olehnya.
Sejak dirinya sudah mengenal bangku sekolah, sejak itulah dia mendengar kata-kata serupa yang menyakitkan. Tadinya, dia merasa bingung dan tidak tahu apa yang dimaksud oleh mereka. Seiring berjalannya waktu, Naomi tahu jika dirinya berbeda. Sangat berbeda dengan keluarganya.
Baik orangtua dan ketiga kakak laki-lakinya, mereka berambut coklat dan bermata hazel. Sedangkan dirinya? Warna rambut hitam pekat dengan warna bola mata yang sama dan berpostur kecil. Setiap kali keluarganya keluar untuk makan malam di restoran, setiap kali itulah dirinya selalu menarik perhatian banyak orang. Sorot mata ingin tahu, atau sekedar penasaran, juga ekspresi meringis jijik.
Sekian lama Naomi mencoba menahan diri, akhirnya Naomi tidak sanggup untuk berdiam dan bertanya dengan Maria, ibunya, tentang dirinya yang berbeda. Di umur enam tahun, Naomi mengetahui jika dirinya adalah anak angkat bagi keluarga Griffith. Meski demikian, mereka memperlakukan Naomi dengan sangat baik dan layaknya anak sendiri. Tidak ada perbedaan dalam rumah keluarga itu karena baik orangtua dan ketiga kakaknya sangat mengasihi Naomi, tapi tidak dengan dunia luar.
Terus menerus mendengar kata-kata yang menyakitkan, tentu saja membuat Naomi sedih dan harus menyendiri untuk sekedar meluapkan emosinya lewat menangis sendirian di bilik toilet, di sudut parkiran terjauh, juga gudang sekolah. Hal itu dilakukan karena Naomi tidak ingin membuat keluarganya cemas. Dia yakin dia mampu menghadapi semua itu.
"Ada apa?" tanya Zac dengan satu alis terangkat saat melihat Naomi sudah menghampirinya.
Hari ini adalah hari Jumat, dan itu berarti giliran Zac yang menjemputnya. Di setiap harinya, Naomi akan diantar oleh ayahnya ke sekolah, sementara Anthony dan Zac akan bergantian menjemput. Ibunya, Maria, sudah pasti menunggu kepulangan mereka di rumah.
"Tidak ada apa-apa," jawab Naomi sambil terus berjalan menuju sisi belakang sepeda Zac.
Zac masih memperhatikan Naomi dengan seksama dan mengambil alih tas punggung Naomi yang kebesaran di tubuh kecil anak itu.
"Kau terlihat berbeda," ujar Zac kemudian.
"Tidak ada yang berbeda," balas Naomi sambil memakai helmet yang diulurkan Zac padanya.
"Kau berbeda!" tegas Zac bersikeras. "Ada yang menganggumu."
"Tidak, aku hanya terlalu lelah," sahut Naomi cepat.
"Siapa yang berani mengganggu adik kecilku? Aku akan melakukan perhitungan dengannya!" desis Zac sambil mengedarkan pandangan sekeliling tapi Naomi langsung mendesakkan tubuh untuk memeluk kakaknya sebagai tanda agar dia tidak beranjak dari sepedanya.
"Tidak ada! Aku baik-baik saja," ujar Naomi lagi.
"Tapi kau..." Zac tidak melanjutkan ucapannya oleh karena ekspresi memohon Naomi padanya.
"Aku hanya lelah dan ingin pulang. Mom pasti menunggu kita," ucap Naomi.
Zac terdiam sambil menatap Naomi selama beberapa saat, lalu mengangguk meski ekspresinya terkesan tidak suka. Dia menyuruh Naomi untuk duduk di sisi belakang sepeda sementara dirinya menyeimbangkan sepeda dan bersiap untuk melaju.
Sampai dimana mereka melewati sekelompok anak yang sangat dihindari Naomi di sekolah sedang menunggu jemputan, disitu Naomi mengalihkan tatapan bersamaan dengan seruan 'Go back to China!' dari mereka.
Sepeda tetap melaju dengan kecepatan yang sama, tidak berhenti, dan itu berarti Zac tidak mendengar. Naomi cukup merasa lega jika kakaknya tetap membawa sepeda dengan baik sampai ke rumah.
Jarak sekolah dengan blok rumahnya tidak terlalu jauh, kira-kira lima belas menit dengan sepeda, dan dua puluh lima menit dengan berjalan kaki. Meski Naomi terus meyakinkan keluarganya bahwa dirinya bisa pergi dan pulang ke sekolah seorang diri, tapi hal itu tidak disetujui oleh keluarganya.
"Dua hari lagi, kau akan berulang tahun yang kesepuluh, apa yang kau inginkan?" tanya Zac datar sambil terus mengayuh sepedanya.
"Aku sudah memiliki apa yang kuinginkan, aku tidak ingin apa-apa lagi," jawab Naomi sambil memeluk pinggang kakaknya.
"Apa yang sudah kau miliki?" tanya Zac lagi.
"Keluarga," jawab Naomi senang. "Kalian adalah segalanya untukku dan aku sangat bersyukur karena itu."
"Kami juga bersyukur memilikimu dalam keluarga kami, kau tahu itu, bukan?" balas Zac dan Naomi mengangguk.
"Aku tahu."
"Keluarga akan selalu melindungimu, kau tidak usah takut," lanjut Zac sambil membelokkan sepeda untuk memasuki pekarangan rumahnya.
Naomi tersenyum dan segera turun dari sepeda sambil mengambil tas punggungnya dari Zac, lalu melepaskan helmetnya. Dia memperhatikan Zac yang tidak beranjak dari sepeda tapi justru memutar posisi untuk kembali ke arah jalan.
"Kau tidak mau pulang?" tanya Naomi heran.
"Anthony menyuruhku membeli bir setelah aku mengantarmu pulang. Masuklah, aku tidak akan lama," jawab Zac santai, lalu segera bergegas pergi dengan sepedanya.
Naomi memperhatikan kepergian Zac dalam diam, lalu tersentak saat mendengar namanya dipanggil dari dalam, itu adalah ibunya.
Setiap kali pulang sekolah, itu adalah momen kesenangan bagi Naomi. Dalam rumah itu, Naomi merasa diterima, dihargai, dan begitu dikasihi. Meski begitu, Naomi tidak manja, karena kasih sayang yang diterima sebesar sikap disiplin yang diterapkan.
Ibunya menjalani peran sebagai ibu rumah tangga yang apik dalam membereskan rumah dan menyajikan hidangan yang lezat di setiap harinya. Tentu saja, Naomi akan membantu ibunya untuk mencuci piring, melipat baju, menaruh cucian ke dalam mesin, dan membantunya menyiapkan makan malam.
"Apa sekolahmu menyenangkan hari ini?" tanya Maria saat mereka sedang melipat baju.
"Tentu saja! Mr. Vincent memberiku tugas baru untuk membuat soal-soal dengan teori yang cukup sulit, tapi aku bisa melakukannya," jawab Naomi ceria.
"Kau sangat cerdas," seru Maria bangga. "Aku tidak percaya jika kau terus berada di tiga besar sejak sekolah. Kau bahkan tidak memberiku pekerjaan untuk mengajarimu seperti ibu yang lain karena terlalu cerdas."
"Karena aku memiliki ibu yang penuh kasih dan jenius," ujar Naomi yang langsung disambut gelak tawa oleh Maria.
"Kau sangat pandai membuatku senang," tukas Maria.
"Itu yang sebenarnya. Aku mencintaimu," balas Naomi dengan tatapan penuh arti.
Tawa maria terhenti berganti dengan ekspresi penuh kasih padanya. Hal itu membuat Naomi merasa terenyuh dan matanya sudah berkaca-kaca.
"Apa yang terjadi?" tanya Maria yang langsung mengesampingkan baju yang sedang dilipat untuk bisa menggapai Naomi.
Naomi segera memeluk Maria dengan seluruh perasaannya. Entah kenapa perasaan itu menguar begitu saja dengan pertahanan diri yang sudah tidak ada. Dia sudah berada di rumahnya, tapi entah kenapa dia merasa belum pulang. Dia sudah melakukan yang terbaik dan mendapatkan nilai tertinggi, tapi justru merasa bodoh.
Belum sempat menjawab, bel pintu berbunyi dan keduanya segera menarik diri. Maria menatap Naomi secara seksama dan mengusap kedua pipinya yang basah, lalu segera beranjak untuk membuka pintu. Naomi hendak melanjutkan aktifitasnya melipat baju tapi suara gaduh terdengar di depan sana, membuatnya berhenti dan menyusul Maria.
Mata Naomi melebar saat melihat Zac bersama dua anak laki-laki berada di depan pintu dengan Maria yang tampak tidak senang di sana, terlihat sedang memarahi Zac.
Naomi mendekat dan semuanya menatap ke arahnya. Tidak hanya Zac, tapi Anthony sudah berada di depan.
"Naomi, ada yang ingin mengatakan sesuatu," ujar Zac memberitahu sambil mendorong dua anak laki-laki itu maju agar bisa dilihat Naomi.
Naomi spontan mundur selangkah dan membuang tatapan ke arah Maria yang sudah melihatnya dengan kening berkerut.
"Ada apa, Naomi? Apa yang terjadi?" tanyanya bingung.
"Tidak ada apa-apa," jawab Naomi gugup.
"Katakan sekarang!" seru Zac sambil menggelepak dua anak laki-laki yang ada di depannya dengan gemas, dan kedua anak itu dengan patuh melakukan apa yang diserukan Zac.
Dua anak laki-laki itu dikenali Naomi sebagai anak kelas sebelah yang bermasalah. Mereka jugalah yang terus melemparkan ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan kepada Naomi. Kalau tidak salah, namanya Bobby dan Lex.
Menoleh sedikit untuk melihat mereka, Naomi terlihat gugup dan tidak nyaman. Meski kedua anak itu terlihat takut, juga dengan keadaan bibir yang begitu memerah dan kening yang bercucuran keringat, tapi Naomi enggan untuk menatap mereka lebih lama.
"K-Kami minta maaf karena sudah berbicara sembarangan padamu," ucap Bobby dengan suara yang ingin menangis.
Lex mulai menangis sambil melirik takut pada Zac. "Kami tidak akan mengulangi lagi."
"Kami minta maaf," ucap keduanya bersamaan.
"Bagus! Itu luar biasa!" seru Zac sambil bertepuk tangan dan mendesah malas karena Maria langsung melotot galak padanya.
"Apa yang sudah kau lakukan pada dua anak ini?" tanya Maria tegas.
"Seharusnya kau bertanya apa yang sudah dilakukan mereka pada Naomi, Mom," koreksi Zac tidak senang. "Dia mengatai Naomi kita dengan ucapan jahat. Aku tidak terima!"
"Benarkah seperti itu, Sayang?" tanya Maria yang langsung menoleh pada Naomi yang terlihat semakin gugup.
Naomi tidak mampu memberi jawaban selain menangis dalam diam. Isakannya tertahan, dengan degup jantung yang bergemuruh cepat, juga tidak tahu harus berbuat apa oleh karena tekanan berupa semua perhatian tertuju padanya.
"It's okay, Naomi," ujar Maria sambil memeluknya dan menoleh pada Zac. "Apa yang sudah kau lakukan pada mereka?"
"Mereka menyuruh kami menghabiskan sebotol saus pedas," seru Bobby sambil menunjuk Zac dan Anthony secara bergantian.
Lex mengangguk menyetujui karena belum berhenti menangis. "Aku ingin bilang pada ibuku."
"Silakan, aku sangat mendukung. Kita lihat apa kau masih bisa mengadu omong kosong jika aku memberitahu mereka tentang apa yang sudah kau lakukan pada sepeda guru sejarahmu tadi," celetuk Zac sambil bersidekap.
"Tidak usah takut, Anak-anak, aku sudah menghubungi rumahmu agar dijemput di sini," tukas Anthony santai dan itu membuat Bobby dan Lex kaget.
"A-Apa?" tanya mereka.
Maria meminta mereka untuk segera masuk ke dalam dan menempati ruang tamu, sementara Naomi segera berlari menuju kamar untuk tidak mau berada di situasi seperti itu. Takut, itu adalah yang dirasakan Naomi. Kemudian disusul rasa tidak aman, tidak nyaman, terluka, sedih, sakit hati, dan marah, semua bercampur menjadi satu dalam isakan yang tertahan.
Dengan duduk meringkuk di sudut kamar dekat meja nakas kecilnya, Naomi menyembunyikan dirinya yang kecil dan rapuh di sana. Menutup kedua telinga untuk tidak mendengar apapun yang terdengar. Menyendiri adalah caranya untuk kembali ke posisi semula.
"Apa seperti ini kau menanggung semua itu?" terdengar suara Sean yang begitu lembut, yang sukses membuat Naomi mengangkat wajah dan menatap kakak pertamanya dengan nanar.
"Sean," panggil Naomi serak dan kembali terisak saat Sean meraihnya ke dalam pelukan.
Kakak pertamanya adalah kakak favorit Naomi. Dia sangat baik, perhatian, dan dewasa. Sebagai anak tertua, apapun yang terjadi dalam rumah itu, Sean akan mengambil alih pengambil keputusan saat ayah mereka sedang tidak ada di rumah. Baru saja menamatkan kuliah bisnisnya, Sean mulai bekerja di sebuah perusahaan tambang di pusat kota dan sangat jarang pulang ke rumah oleh karena jarak tempuh yang menyita waktu. Setiap akhir pekan, Sean akan pulang untuk menghabiskan waktu liburnya bersama keluarga, dan hari ini adalah jadwal kepulangannya ke rumah.
"Kau tidak usah bercerita, Zac sudah memberitahuku," bisik Sean sambil mengusap punggung kecil Naomi.
"A-Aku takut," balas Naomi dengan suara yang nyaris berbisik tapi masih bisa didengar Sean.
"Aku mengerti," balas Sean sambil mengangguk lalu menjauhkan diri tanpa melepas pelukan untuk bisa menatap Naomi. "Takut itu normal, tapi tidak baik jika dibiarkan seperti ini."
Naomi menganggukkan kepala sambil terus menahan isakan.
"Meski kau tidak mengatakan apapun, tapi kami tahu perubahan sikap yang terjadi padamu. Anak yang ceria, yang selalu tersenyum, tapi menjadi lebih pendiam dan memilih untuk menyendiri. Jika dengan diam adalah caramu untuk membuat kami tidak khawatir, kau salah," ujar Sean dengan suara sepelan mungkin sambil terus menatap Naomi.
Kini, perasaan Naomi bertambah menjadi merasa bersalah.
"Ini adalah rumahmu, tempat tinggalmu, dan kami adalah keluargamu. Tidak ada perbedaan diantara kita, yang ada hanyalah kesatuan dan kebersamaan. Kau sama dengan kami, hanya saja kau lebih unik. Rambutmu yang lurus dan hitam, sangat cantik seperti boneka. Juga mata bulatmu yang lucu, serta kedua pipi yang merah seperti tomat segar, dan kau sangat cantik. Kau harus tahu itu," ucap Sean dengan nada sungguh-sungguh.
"Maafkan aku," balas Naomi sedih.
"Jangan meminta maaf oleh karena kelebihanmu, Naomi. Karena kau sudah tahu nilai dirimu, maka aku ingin kau melakukan satu hal," ucap Sean lagi.
"Apa itu?" tanya Naomi.
"Untuk berani membuka suara," jawab Sean lembut namun penuh penekanan. "Dengan mendiamkan, maka kau membiarkan apa yang buruk terus terjadi, dan menghambat keadilan untuk bekerja."
"Aku takut sekali," sahut Naomi jujur.
"Bukan berarti takut membuatmu terus diam. Tapi dari takut membuatmu menjadi lebih berani dari sebelumnya. Lagi pula, sangat tidak masuk akal membuang waktumu dengan bersedih seperti ini selagi kau bisa memilih untuk bersukacita dengan kami menikmati makan malam."
Naomi kembali mengangguk dan mulai mengusap wajahnya yang sembap. Banyak hal yang didapati dari seorang Sean di setiap kali dia merasa tidak nyaman. Anthony dan Zac adalah kakak yang baik namun seringkali pelit bicara karena ucapan mereka yang sering membuat Naomi bingung.
Sebuah boneka rajut berbentuk kelinci diulurkan pada Naomi, dan itu membuatnya tersentak saat melihat boneka yang menjadi kesukaannya itu. Sean yang memberikan untuknya.

"Apa ini untukku?" tanya Naomi sambil menerima boneka itu.
"Hadiah ulang tahunmu dariku, Adik Kecil. Kau akan genap sepuluh tahun disaat aku sedang bekerja, jadi kuberikan hari ini," jawab Sean senang. "Apa kau menyukainya?"
Senyum Naomi mengembang sempurna. "Tentu saja. Aku sangat menyukainya."
"Tetaplah tersenyum seperti itu, Anak Manis," ucap Sean sambil membelai puncak kepala Naomi dengan tatapan penuh kasih.
Di hari itu, Naomi belajar bahwa perbedaan ada bukan untuk sebagai perbandingan, namun menyatukan. Banyak keunikan dalam dunia, maka itu hargai apa yang kita punya. Tidak ada yang sama oleh karena semua memiliki keunikannya masing-masing. Warna kulit, suku, ras, atau budaya bukan menjadi persoalan, tapi keberagaman yang menyenangkan.
Pintu kamarnya terbuka dan itu adalah Maria yang memberitahukan jika orangtua dari Bobby dan Lex datang ke rumah untuk penyelesaian. Rasa cemas kembali merayap dalam diri Naomi, tapi Sean dengan cepat mengambil satu tangan dan menggenggamnya erat sebagai dukungan agar dirinya tidak perlu takut.
Dengan rasa takut dan cemas yang bercampur menjadi satu, Naomi mengikuti Sean, juga didampingi Maria untuk segera turun menuju ruang tamu dimana sudah banyak orang di sana. Bobby dan Lex bersama kedua orangtua masing-masing, juga ada Zac yang sedang berdiri di sisi pintu sambil bersidekap dan masih dengan ekspresi tidak sukanya, dan ada Anthony yang berada di samping Zac. Ayah mereka, Ralph, sudah duduk di sofa utama dengan ekspresi yang begitu tenang.
"Sayang, kemarilah," ajak Ralph sambil mengulurkan tangan pada Naomi agar menghampirinya.
Menatap lekat pada Ralph dengan ekspresi yang sedang menahan tangis, dengan sedikit dukungan dari Sean agar menghampiri, Naomi berjalan cepat dan langsung didudukkan di pangkuan Ralph sambil menatap orang asing yang berada di rumahnya.
Bobby dan Lex tampak menundukkan kepala, lalu melirik kanan kiri, dan kembali menunduk seolah tidak tahu apa yang harus dilakukan mereka. Dari tatapannya, mereka tampak cemas dan takut, sama seperti Naomi sekarang.
"Tidak ada yang menyalahkan atau disalahkan di sini, Naomi. Ada kami semuanya di sini. Jadi, apakah mereka sudah melakukan sesuatu padamu?" tanya Ralph tenang sambil mengarahkan tangan pada Bobby dan Lex.
Naomi menggelengkan kepala sebagai jawaban, disusul dengan decakan malas dari Zac yang langsung disambut pelototan dari Maria yang terlihat tegas di sana.
"Lalu, apakah mereka sudah mengatakan sesuatu padamu?" tanya Ralph kemudian.
Naomi tidak langsung menjawab, dia melirik singkat pada Bobby dan Lex yang masih menunduk, lalu pada para orangtua yang tampak menunggu jawabannya. Melihat pada Sean yang langsung menganggukkan kepala padanya sebagai dukungan, Naomi pun akhirnya mengangguk sebagai jawaban.
"Kami sangat meminta maaf padamu atas apa yang dilakukan Bobby," ucap ibu Bobby dengan ekspresi yang seperti menahan emosi dan melirik tajam pada Bobby.
"Kami juga," sahut ibu Lex disitu.
"Zac, apa kau bisa jelaskan kenapa kau menyuruh mereka untuk menghabiskan sebotol saus pedas?" tanya Ralph sambil menatap Zac tajam.
"Supaya mereka bisa menjaga ucapannya di kemudian hari, dan jika mereka melakukannya lagi, restoran siap saji di Amerika memiliki stok saus pedas untuk dihabiskan olehnya," jawab Zac dengan lantang dan terdengar bangga.
"Tapi itu tidak diperkenankan oleh anak muda sepertimu untuk melakukan pada anak kecil yang belum genap sebelas tahun," balas ayah Bobby yang terlihat tidak terima.
"Jadi apa yang berkenan dilakukan oleh anak kecil yang belum genap sebelas tahun? Mengejek juniornya dan menyuruhnya kembali ke negeri asal padahal ini adalah rumahnya? Tolong dijelaskan untuk anak muda seperti ini yang masih perlu banyak belajar, Pak Tua," balas Zac dengan nada sindiran tajam dan langsung mendapat toyoran kepala dari Anthony.
"Tidak sopan," celetuk Anthony serius.
Ralph menegur dan menyuruh Zac untuk berhenti, sementara itu dia meminta maaf pada orangtua Bobby dan juga Lex atas kelancangan Zac pada anak mereka yang dibawa ke salah satu restoran siap saji, memesan mini burger dengan sebotol saus pedas, dan masing-masing harus menghabiskannya.
Naomi memberanikan diri untuk melirik pada Zac yang menyeringai lebar padanya, juga pada Anthony yang mengedipkan sebelah mata sebagai tanda bahwa mereka tidak menyesal. Sean berpura-pura mengusap pelipis untuk menyembunyikan senyum gelinya saat Ralph dan Maria tampak memberi penjelasan kepada para orangtua.
"Sebagai sesama orangtua, kita sama-sama paham bahwa membesarkan anak-anak bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kita perlu memberi pelajaran dan pengetahuan dini tentang menghargai, menghormati, dan menjaga satu sama lain, bukan begitu? Lagi pula, sangat tidak keren jika anak laki-laki yang lebih besar harus mengejek anak perempuan yang lebih kecil darinya. Kuharap ini bisa dijadikan pelajaran bahwa tidak semua hal bisa dibiarkan, apalagi meremehkan atau merendahkan seseorang oleh karena berbeda," ucap Ralph kemudian.
"Dan satu lagi," tambah Maria dengan tegas sambil menatap Bobby dan Lex dengan tajam. "Naomi adalah anak kami, dan ini adalah rumahnya, tempat tinggalnya. Dia memiliki kami sebagai orangtua, dan memiliki tiga kakak laki-laki ini. Jika ada pertanyaan, silakan bertanya kepada kami karena bukan bagian Naomi untuk menjelaskan tentang keberadaannya di sini, melainkan kami."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Tindakan bully sama sekali nggak keren, apalagi kalau udah main fisik, bawa agama, trus ngatain suku/ras tertentu.
Mungkin kita sering mendapat verbal abuse secara sadar atau nggak sadar, yang sampai membuat kaum minoritas menganggap hal itu adalah biasa karena sudah mati rasa.
Cerita ini diceritakan oleh salah satu teman yang sudah tinggal di negeri orang sejak umur 8 tahun.
Hal yang sering didapati saat di sekolah, mostly karena dirinya adalah Asian. Sadly but true, hal seperti ini masih sering terjadi di sekeliling kita oleh karena perbedaan.
Yuk, kita jadikan perbedaan itu adalah hal yang menyatukan.
Berbeda itu hal yang lumrah, tapi bukan hambatan untuk bersatu, bersama, dan bersepakat.
Dan jika kamu mengalami hal yang sama seperti Naomi, jangan mendiamkan, tapi belajar untuk berani bersuara karena diam nggak akan menyelesaikan.
Selamat hari Sabtu dari Naomi. 💜
07.01.23 (10.40 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top