MOM

Kilau jingga membias langit senja Konoha. Daun-daun beterbangan tertiup angin musim gugur. Meskipun dinginnya udara hari ini mampu membuat sekujur tubuh menggigil, namun nampaknya hal itu tak sedikitpun mengusik seorang gadis kecil yang tampak menerawang menatap riak air danau di depannya, sesekali ia lempar kerikil ke permukaan air danau yang tampak tenang tersebut.

Gadis beriris onyx itu menghela nafas, kemudian terdiam. Ingatannya kembali berputar beberapa saat yang lalu, ketika ia untuk kesekian kali nya terlibat adu mulut dengan sang Ayah.

*flashback*

"Kenapa kau memukul Boruto?"

Kalimat bernada datar itu menjadi pembuka atas interogasi antara Ayah dan anak itu.

"Dia yang duluan." Jawab sang anak dengan nada tak kalah datarnya.

Sepertinya bukan hanya rambut dan matanya saja yang mirip dengan sang Ayah, sifat nya pun mewarisi sifat Ayah tampannya itu.

Pria bermata onyx itu menghela nafas. Tangannya terangkat, menyisir poni yang menutupi sebelah matanya. Ia tatap sang putri yang kini duduk memunggungi nya, putri kecilnya itu lebih memilih menatap jalanan yang di lalui mobil yang mereka tumpangi ketimbang menatap dirinya.

"Alasan apa yang kau punya hingga membuat temanmu babak belur begitu?" Sang ayah kembali bertanya.

"Dia bukan temanku."

Jawaban datar sang anak kembali menyapa indra pendengarnya. Ayah satu anak itu terus mensugesti dirinya sendiri, jangan sampai emosinya ia ledakkan pada gadis kecilnya ini. Ia sudah lelah dengan urusan kantor yang tidak ada habisnya, ditambah sedang terjadi masalah di kantornya. Dan tadi, dia dipanggil oleh pihak sekolah karna putrinya itu berkelahi dengan teman sekelasnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Sarada? Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya." Ya, putrinya memang tidak pernah terlibat masalah disekolahnya sejauh ini. Sarada adalah anak yang pendiam dan tenang seperti dirinya, jadi apa yang membuat gadis kecilnya ini kehilangan kendali diri gadis itu?

"Aku tidak bisa tinggal diam saat mulut lemesnya itu mengatakan bahwa aku ini anak haram. Anak yang tidak diinginkan."

Onyx Sasuke seketika melebar mendengar perkataan gadis kecilnya itu.

"Dia bilang, aku tidak punya Ibu. Ya, itu memang benar. Aku tidak punya Ibu. Meski Papa selalu mengatakan bahwa suatu saat nanti Mama akan berada bersama kita, namun sampai saat ini dia belum datang juga. Mungkin Boruto benar. Bahwa aku ini anak yang tidak diinginkan. Kelahiranku mungkin adalah sebuah kesalahan bagi kalian." Sarada berkata disertai isak tangis yang keluar dari bibir mungilnya.

Sarada menangis. Hal yang jarang dilakukan oleh putrinya itu.

"Bukan begitu, Sarada." Sasuke memeluk putri kecilnya itu.

"Lalu kenapa?! Kenapa Mama tidak pernah menemuiku?!"

"Kau tidak akan mengerti."

Sarada berontak dalam pelukan Ayahnya, "Bagaimana aku bisa mengerti, jika Papa saja tidak pernah mencoba untuk menjelaskannya!" Pekiknya.

Begitu Sarada berhasil melepaskan pelukan sang ayah, gadis kecil itu pun membuka pintu mobil yang kini sudah terparkir di depan rumah mereka dan berlari entah kemana.

Didalam mobil, Sasuke mengerang frustasi tanpa mencoba untuk mengejar putrinya itu.

*flashback off*

Begitulah ceritanya hingga Sarada berakhir di tempat ini.

'Bughh'

Terdengar suara benda jatuh dari belakang sebuah pohon besar yang terdapat di danau tempat dimana Sarada berada. Seketika suara itu membuat tubuh gadis beriris onyx itu menegang.

Hey... bukannya ia takut dengan hal-hal yang bertajuk tahayul seperti itu, tapi memang di danau ini memiliki cerita yang 'sedikit seram', tepatnya 3 tahun yang lalu ada seorang gadis yang di temukan tewas tenggelam didanau ini. Belum diketahui pasti apa penyebabnya, tapi yang jelas itu sudah cukup mengingatkan Sarada tentang kejadian-kejadian mistis yang orang-orang alami disini.

"Awww.,."

Terdengar suara ringisan tepat di belakang pohon, tempat benda yang jatuh tadi. Seketika tubuh Sarada menegang (lagi). Apakah benar di danau ini memiliki penghuni selain dari dunia manusia? entahlah!

Rasanya Sarada ingin cepat kembali ke rumahnya sekarang juga, Tapi apa daya, tubuhnya seolah berkhianat, karna kini Sarada mendapati dirinya tengah melangkah mendekati pohon besar itu.

'Kami-sama, selamatkan aku!' Doanya dalam hati.

Begitu sampai disana, onyx Sarada mendapati sosok berambut panjang berwarna... merah muda? dengan baju putih yang kini tengah duduk memunggunginya.

'Apakah dia manusia? Bukankah orang bilang kalau hantu itu tidak berpijak dengan bumi? Lalu kenapa hantu ini berpijak bahkan duduk dibumi?' Itulah yang ada di kepala Sarada sekarang.

Gadis kecil beriris tajam itu mencoba mendekati sosok putih itu, walaupun dengan sedikit ketakutan. "Anoo... kau tidak apa-apa?" Tanyanya takut-takut pada sosok di depannya.

Hey, siapa yang tidak takut jika hanya berdua dengan sosok yang tidak kau ketahui, terlebih lagi sendirian ditempat seperti ini.

"Apa kau manusia?" Pertanyaan konyol itu keluar dari bibir Sarada. Entah kenapa otaknya yang biasanya cemerlang ini tiba-tiba eror seketika.

Sosok itu membalik wajahnya menghadap Sarada, namun tubuhnya tetap memunggungi gadis beriris hitam itu.

'deg'

Sarada terpaku ketika onyxnya bertatapan dengan iris hijau daun itu. Entah kenapa rasa rindu tiba-tiba memenuhi relung hatinya. Rasa rindu akan sosok yang selalu Sarada impikan kehadirannya.

"Hey, kau baik-baik saja?"

Sarada tersadar dari keterpakuannya, begitu suara lembut itu menyapa indra pendengarnya. Gadis kecil itu pun mengerjap, menyingkirkan pemikiran konyol yang melintas diotaknya beberapa saat yang lalu.

"Harusnya aku yang bertanya. Apa bibi baik-baik saja? aku mendengar suara dari arah sini. Apa kau tidak apa-apa?" Sarada berjongkok di depan wanita berambut merah muda itu. Onyxnya mengamati keadaan wanita asing yang entah kenapa terasa familiar bagi Sarada.

Rambut wanita itu yang sewarna bunga sakura tampak halus dan lembut dimata Sarada, kulitnya yang putih bersinar terdapat beberapa memar dan debu yang menempel, matanya yang berwarna hijau pun tampak menenangkan. Entah kenapa, menatap sepasang netra hijau itu membuat Sarada ingin menangis.

"Ah ya, aku baik-baik saja." Wanita itu berkata dengan senyum tipis diwajah cantiknya. "Aku hanya terjatuh. Dan sepertinya, kaki ku terkilir." Wanita itu pun mengelus pergelangan kakinya yang sedikit membiru.

Sarada menatap sosok itu beberapa saat, kemudian berkata. "Apa kau bisa berjalan? Rumahku ada di dekat sini. Kita bisa obati lukamu disana."

Wanita itu terlihat tengah menimbang usul gadis kecil di depannya, dan tak lama kemudian ia pun mengangguk. "Baiklah."

Sarada membantu wanita itu berdiri dengan menggenggam tangannya. Dan untuk kesekian kalinya, Sarada terpaku ketika tangan mereka bersentuhan.

"Kenapa?"

Sarada mendongak, dan mendapati wanita merah muda itu tengah menatap bingung kearahnya.

"Tanganmu hangat." Sarada tersenyum, dan mengeratkan genggaman tangan mereka. "Aku suka." Lanjutnya. Sepintas Sarada berpikir, apakah tangan Mamanya juga akan sehangat ini?

Kini giliran wanita itu yang terdiam. Irish hijaunya menatap gadis kecil yang tengah menerawang itu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Siapa namamu?"

"Sarada. Uchiha Sarada." Jawab gadis kecil itu disertai senyum manis di bibir mungilnya.

Senyum Sarada menular pada wanita disampingnya. "Sarada ya?" Gumam wanita itu di sertai senyuman diwajah cantiknya.

"Dan namamu?" Sarada bertanya seraya melangkahkan kakinya meninggalkan taman diikuti wanita disampingnya.

"Sakura."

----"*"----

Sepasang kaki jenjang itu melangkah dengan penuh wibawa. Membuat siapapun yang berpapasan dengan sosoknya membungkukkan badan mereka sebagai tanda penghormatan. Kaki panjangnya melangkah memasuki sebuah lift, diikuti langkah seseorang di belakangnya.

"Juugo, apa setelah ini ada rapat lain yang harus ku hadiri?" Tanyanya begitu berada didalam lift.

"Tidak ada Sasuke-sama. Ini yang terakhir." Jawab sekertaris yang di panggil juugo itu kepada sang atasan.

Sasuke menghela nafas. Tubuhnya ia sandarkan pada dinding lift dibelakangnya. Sebelah tangannya terangkat menekan pelipisnya yang mulai terasa pening.

"Baguslah." Desahnya merasa lega. Lega karna mungkin Sasuke bisa langsung pulang dan menemui putrinya.

Setelah mengantar Sarada pulang, Sasuke memang langsung kembali ke kantor guna menghadiri rapat dengan kolega bisnis nya. Tentu saja setelah memastikan bahwa putrinya tidak pergi terlalu jauh dan dalam keadaan baik-baik saja.

Meskipun fisik Sarada baik-baik saja, tapi mungkin tidak dengan psikis anak itu. Sedikit banyak Sasuke mengerti apa yang dirasakan putri kecilnya itu.

Sarada tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu. Sasuke ingat, ketika itu adalah perayaan hari Ibu di sekolah putrinya. Mereka yang berada satu kelas dengan Sarada, satu persatu naik ke atas panggung untuk membacakan puisi tentang Ibu mereka.

Saat itu Sasuke terlambat datang, karna lagi-lagi ia harus menghadiri rapat penting di kantornya. Sasuke melihatnya. Sarada adalah anak yang cuek dan pendiam, tapi saat itu, ia seakan melihat sisi lain dari putrinya.

Sarada yang tengah berdiri diatas panggung kala itu, tampak sangat rapuh. Onyx anak itu yang biasanya tajam, kini diliputi kesedihan. Tangan kecilnya meremas rok sekolah yang ia kenakan. Suaranya bergetar, saat satu kata keluar dari bibir mungilnya.

"Ibu ...."

Ibu. Sasuke tau, itu adalah satu kata tabu bagi Sarada.

Dan Sasuke tidak bisa hanya berdiri mematung, saat melihat putrinya begitu rapuh dan seakan siap hancur kapan saja. Oleh karna itu Sasuke melangkahkan kakinya kearah panggung, mengabaikan tatapan orang-orang yang seakan ingin tahu apa yang ingin dia lakukan.

Sedangkan diatas panggung sana, Sarada terus menggumamkan kata "Ibu". Lidahnya terasa kelu. Gadis kecil itu bingung, apa yang harus ia katakan? Dia tidak tau seperti apa rupa Ibunya. Dia tidak tau bagaimana sifat Ibunya. Tidak ada yang harus Sarada ceritakan mengenai Ibunya. Karna, Sarada memang tidak mempunyai sosok itu dalam hidupnya.

'grep'

Saat satu pelukan diterima Sarada, saat itu pula setetes airmata jatuh dari iris hitamnya. Kedua tangan kecilnya pun terangkat membalas pelukan sang Ayah dengan sangat erat. Tidak peduli jika Ayahnya merasa sesak atau tercekik sekalipun. Kata "maaf" yang diperuntukan untuk sang Ayah terus meluncur dari bibirnya yang bergetar.

Sungguh, Sasuke merasa seperti Ayah yang tidak berguna. Melihat Sarada menangis, tentu saja itu menghancurkannya. Kadang Sasuke ingin marah. Tapi pada siapa? Tuhan? Takdir? Atau 'dia'?

'ting'

Suara lift yang berdenting membuyarkan lamunan Sasuke. CEO tampan itu pun kembali menghela nafas, sebelum melangkahkan kakinya keluar diikuti Juugo dibelakangnya.

Yang harus Sasuke lakukan hanya menunggu. Menunggu seperti yang 'dia' katakan. Entah sampai kapan. Sasuke hanya berharap, semoga penantian mereka tidaklah sia-sia.

----"*"----

"Awww..."

Sakura kembali meringis kala kapas yang telah di basahi alkohol itu mengenai lukanya.

"Apa sesakit itu?" Tanya Sarada. Tidak tega juga rasanya melihat wajah memelas wanita didepannya ini.

Sakura tersenyum seraya meringis. "Tidak sesakit patah hati sebenarnya." Kekeh Sakura seraya memeletkan sedikit lidahnya.

Sarada mendengus. Memilih mengabaikan candaan garing bibi merah muda itu, dan kembali melanjutkan pengobatannya yang tertunda.

Sakura menelusuri ruangan yang ia tebak adalah ruang tamu ini dengan iris hijau daunnya. Sepertinya isi ruangan ini di dominasi oleh warna yang itu-itu saja, yakni putih dan tosca.

Sejenak emerald Sakura terpaku pada sebuah foto yang menampilkan seorang pria berambut kelam dan gadis kecil di gendongan pria bermata hitam itu. Raut keduanya tampak bahagia, meskipun sang pria hanya tersenyum sangat tipis. Berbeda dengan senyuman lebar gadis kecil yang berada di punggung pria itu.

Seketika bibir Sakura pun melengkungkan sebuah senyuman. Hatinya menghangat melihat kebersamaan kedua orang itu walau hanya dalam selembar foto.

"Itu ayahku."

Suara Sarada menarik Sakura dari keterpakuannya. Rupanya gadis kecil itu sudah selesai dengan pengobatannya.

"Ayah yang tampan." Aku Sakura disertai kekehan yang meluncur dari bibir tipisnya.

Gadis kecil itu mendudukkan dirinya disamping Sakura dengan tangan terlipat didada.

"Tampan dan menyebalkan." Dengusnya seraya ikut memandang potret dirinya dengan sang Ayah. Atau mungkin hanya potret Ayahnya saja.

Senyum tipis tampak menghiasi wajah cantik Sakura. "Ya, dia memang menyebalkan." Lirihnya. Emerald nya pun masih terpaku pada wajah Sasuke di dalam foto berukuran 10R itu.

Sarada menoleh pada wanita di sampingnya. Entah ia salah lihat atau apa, tapi Sarada yakin, ia melihat tatapan kerinduan dari sepasang netra teduh itu kala menatap foto sang Ayah.

"Kau kenal Ayahku?" Tanya Sarada yang cukup membuat wanita itu sedikit tersentak.

"A-apa?" Tanya Sakura seolah tidak mengerti. Ada nada gugup dalam suaranya. Dan Sarada menyadari itu.

"Kau bilang 'dia memang menyebalkan'. Apa kau mengenalnya?" Sarada memperjelas pertanyaannya. Onyxnya menyipit curiga. Entah kenapa, ia merasa bibi merah muda ini mengenal Ayahnya.

Sakura terdiam cukup lama. Sepertinya wanita itu enggan untuk sekedar menjawab. Namun, karna tidak tahan di desak dengan pertanyaan yang sama disertai pelototan dari sepasang mutiara hitam Sarada, Sakura pun mengalah.

"Baiklah. Aku memang kenal Ayahmu." Desah wanita merah muda itu pada akhirnya.

"Kapan? dan dimana?" Tanya Sarada penasaran. Onyx hitamnya masih mengebor sepasang emerald bening wanita di depannya.

Sakura tampak berfikir.
"Hmm... tadi dan disini." Jawab Sakura disertai kilat geli dimatanya.

Sarada merengut.
"Aku serius!" Dengusnya jengkel.

"Aku juga." Balas Sakura tanpa dosa. "Tadi bukankah kau yang bilang bahwa dia adalah ayahmu yang tampan dan menyebalkan? Jadi aku hanya membenarkan saja."

Sarada menghela nafas.

"Sudahlah. Lebih baik kita siapkan makan malam. Sebentar lagi Ayahku pulang." Putus Sarada seraya bangkit dari sofa dan melangkah menuju dapur, diikuti Sakura yang mengekor di belakangnya.

----"*"----

Sebuah sedan hitam terparkir apik di garasi sebuah rumah berlantai dua yang terletak di kompleks Konoha Recident's itu. Pintu mobil pun terbuka, menampilkan sosok Uchiha Sasuke yang tampak lelah. Hal itu dapat dilihat dari sorot matanya yang sayu. Dasi yang terpasang rapi tadi pagi, sekarang entah berada dimana. Jas hitamnya pun sudah tak terpakai lagi, melainkan tengah bertengger manis di lengan kekar pria itu yang ter ekspose karna Sasuke menggulung lengan kemejanya hingga siku. Dan jangan lupakan dua kancing teratas kemeja birunya yang tidak terkait.

Dibanding kuyu, tampilan Sasuke kini malah terlihat seksi bagi setiap wanita yang melihatnya.

Contohnya saja wanita berambut merah yang tidak lain adalah tetangga yang tinggal di depan rumahnya, yang kini tengah menatap lapar Sasuke di halaman rumah wanita berkacamata itu. Oh, jangan lupakan darah yang keluar dari hidungnya. Ok, abaikan wanita bernama Karin itu.

Sasuke melangkahkan kakinya menuju pintu. Dalam hati bertanya-tanya, apakah putrinya sudah pulang? dan pintu yang tidak terkunci seolah menjawab pertanyaan ayah muda itu. Sarada memang tidak pernah meninggalkan rumah dalam keadaan tidak terkunci, dan saat ini Sasuke bisa simpulkan bahwa putri kecilnya itu sudah pulang. Seketika, Uchiha tampan itu pun menghela nafas lega.

"Tadaima."

Hening.

Sasuke mengernyit. Sarada sudah pulang kan? lantas, kenapa tidak ada sahutan dari putrinya itu? apakah Sarada masih marah padanya?

Setelah mengganti sepatu dengan sandal rumah, Sasuke pun melangkah lebih dalam memasuki rumahnya. Saat memasuki ruang tamu, onyx hitam Sasuke menangkap sebuah kotak P3K yang bertengger di meja dekat sofa. Seketika kecemasan melingkupi dirinya. Apakah putrinya terluka?

"Sarada!" Sasuke berseru memanggil putrinya, kaki panjang CEO muda itu pun melangkah menuju dapur saat aroma masakan menyapa indra penciumannya.

Sasuke mengira, pasti putrinya itu tengah memasak untuk makan malam mereka. Itu memang kebiasaan Sarada jika ia pulang terlambat dari biasanya. Sasuke memang tidak mempekerjakan asisten rumah tangga lagi setelah nenek Chiyo -asisten rumah tangga mereka dulu- berhenti dari pekerjaannya. Sasuke tidak keberatan, ia malah setuju. Karena seharusnya nenek Chiyo memang menikmati masa tuanya dengan tenang, bukan malah bekerja diusianya yang tak lagi muda itu.

Saat Sasuke sudah berada diambang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan dapur, yang ia dapati bukanlah putri kecilnya melainkan sosok lain yang membuat Sasuke terpaku di tempat. "S-sakura?" Lirihnya antara kaget dan ... lega?

Sakura yang tengah menata masakan hasil karya Sarada dan dirinya pun menoleh saat ada yang memanggil namanya. Keterkejutan pun tampak menghiasi raut wajah cantik wanita itu. Namun tak lama kemudian, Sakura tersenyum manis dan berkata. "Okaeri, Sasuke-kun."

Tak dapat di cegah, kaki panjang Sasuke membawa sang empunya melangkah -nyaris berlari- menghampiri Sakura yang terdiam menatapnya dan ...

'grep'

... memeluk erat wanita merah muda itu.

"Kau datang, Sakura. Kau kembali." Sasuke berkata dengan suara parau nya.

Sakura yang semula terkejut atas pelukan Sasuke yang tiba-tiba itu hanya bisa tersenyum, tangannya pun terangkat membalas pelukan Sasuke sama eratnya. "Tadaima, Sasuke-kun."

"Okaerinasai,...." Suara Sasuke terdam, karna kini ia melesakkan kepalanya ke ceruk leher Sakura dan semakin mengeratkan pelukannya, seolah jika ia melonggarkan sedikit saja, wanita itu akan kembali pergi dan meninggalkannya.

Sakura hanya bisa mengusap lembut punggung lebar Sasuke, apa lagi saat merasa sekitar leher dan bahunya basah. Ya, basah karna air mata laki-laki itu.

Sasuke tidak peduli jika ia akan dianggap cengeng atau apa. Ia merasa bahagia.... dan lega. Setidaknya, penantian panjangnya tidak sia-sia.

"Papa?"

Sebuah suara mengintrupsi kedua orang dewasa itu. Sasuke pun melepaskan pelukannya -meski dengan berat hati- dan beralih pada sosok Sarada yang tengah menatap bingung padanya dan Sakura.

Tentu saja bingung, gadis kecil itu hanya pergi untuk membersihkan diri, dan begitu kembali, ia malah di suguhkan pemandangan seperti itu.

"Apa yang kalian lakukan?" Tanya gadis kecil itu. Sejenak Sarada melirik Sakura yang tampak salah tingkah di samping Ayahnya."Kenapa kalian... berpelukan?"

Kedua pasang irish berbeda warna itu saling melirik, seolah tengah melakukan telepati lewat tatapan mata.

Sasuke yang memutuskan kontak mata mereka lebih dulu, kaki panjangnya membawa Ayah muda itu melangkah menghampiri yang putri yang masih berdiri menatap mereka.

'tap'

Sasuke berhenti tepat di depan putri semata wayangnya, kakinya ia tekuk guna mensejajarkan tubuh jangkung nya dengan tinggi sang putri.
"Sarada..." Sasuke berkata seraya menatap onyx bulat Sarada. Tangannya pun terangkat menyentuh kedua bahu mungil putri tunggalnya itu. "Bukankah kau selalu memiliki pertanyaan yang tidak bisa ku jawab setiap kali kau menanyakannya?" Tanya Sasuke kepada putrinya itu.

Sarada mengangguk. Ya, Ayahnya memang tidak pernah menjawab setiap kali ia bertanya tentang dimana ibunya. Ayahnya selalu berkata, 'Mama mu berada di suatu tempat yang jauh disana' seraya menatap keatas langit, lebih tepatnya kearah ribuan bintang yang menghampar luas dilangit malam. Sarada bahkan berpikir, apakah Mama nya sudah meninggal? Namun ketika ia menyuarakan pikirannya, sang Ayah hanya menggeleng dan tersenyum seraya berkata 'Kau akan tau suatu saat nanti'. Hey, Sarada hanyalah anak berusia dua belas tahun! Tentu saja ia tidak mengerti perkataan ambigu Ayah nya itu.

"Kau ingin tau dimana Ibumu?" Sasuke kembali bertanya. Tanpa menunggu jawaban putrinya, Sasuke mengarahkan tubuh Sarada menghadap wanita berhelai merah muda yang memperhatikan interaksi Ayah dan anak itu dalam diam.

"Disana. Sakura .... dia adalah Mama mu, Sarada."

Sarada yang semula bingung, kini melebarkan onyx nya. Ia terkejut, dan tidak percaya tentu saja. Wanita itu Ibu nya? wanita yang ia tolong itu Ibu nya? Jadi, semua yang Sarada rasakan terhadap Sakura itu bukan tanpa sebab? Rasa nyaman, rindu, dan ingin selalu bersama wanita merah muda itu karena Sakura memang adalah Ibu nya.

Ibu yang yang Sarada rindukan. Ibu yang selalu ia impikan kehadiran nya. Ibu yang akhirnya ia miliki. Serta Ibu .... yang meninggalkannya.

Seketika rasa sesak melingkupi hati gadis kecil itu.

Sarada menunduk, hingga poni panjang anak itu menutupi sebagian wajahnya.

"Bohong." Lirihnya yang sukses membuat kedua orang dewasa itu tersentak.

"Sarada..." Sasuke kembali menyentuh bahu Sarada, dan langsung di tepis begitu saja oleh putrinya itu.

Sarada mengangkat kepala nya, membuat sepasang insan itu dapat melihat air mata yang membasahi wajah gadis kecil itu.

"Kau bilang dia Ibuku?" desis Sarada disela isakan nya.

"Jika dia memang Ibuku, kenapa tidak dari awal dia mengatakannya padaku?!" Sarada menaikkan nada suaranya. Ia tidak peduli jika diangngap tidak sopan karna membentak Ayah dan 'Ibu' nya itu. Ia hanya ingin melampiaskan rasa sakitnya saja.

Onyx nya meredup menatap kedua orang dewasa yang tidak lain adalah orang tuanya itu. "Kenapa baru sekarang dia menemuiku?! hiks... Kemana saja dia selama ini? Kenapa dulu dia meninggalkanku? Kenapa? hiks ..."

Sarada kembali menundukkan kepalanya. Sebisa mungkin ia menghentikan tangisnya. Tapi percuma, ia tidak bisa berhenti.

Airmata pun tampak membasahi wajah Sakura. Sungguh, tangisan Sarada begitu menyayat hatinya. Ibu macam apa dia, yang membuat putrinya menangis sedemikian pilu seperti itu? Sakura tau, dia memang bersalah disini. Tidak seharusnya ia membuat dua orang paling berharga dalam hidupnya itu menunggu begitu lamanya. Tapi mau bagaimana lagi, Sakura pun tidak bisa berbuat apa-apa kala itu.

*flashback*

12 tahun yang lalu

Seorang pria dan beberapa perawat tengah berlari di lorong rumah sakit dengan seorang wanita yang terbaring lemah dan merintih kesakitan diatas ranjang rumah sakit.Tangan lentik wanita menggenggam erat tangan sang pria.

"Bertahanlah Sakura, ku mohon." Lirih sang pria -yang tidak lain adalah Sasuke- seraya mengeratkan genggaman nya di tangan sang istri.

Tidak ada jawaban selain erangan dan rintihan kesakitan yang keluar dari bibir wanita yang akan melahirkan itu.

Begitu sampai di depan pintu yang bertuliskan 'Ruang Operasi', seorang perawat menahan Sasuke agar pria itu tidak ikut masuk dan menyuruhnya untuk menunggu diluar.

Sasuke pun mendudukkan dirinya di kursi tunggu yang terletak tak jauh dari tempat Istrinya tengah berjuang melahirkan buah hati mereka di dalam sana.

Entah kenapa, satu menit bagaikan berjam-jam lamanya bagi Sasuke. Dan setelah beberapa saat menunggu dengan perasaan cemas melingkupi hatinya, sebuah tangisan seorang bayi pun menyapa indra pendengaran Sasuke.

Sasuke tersenyum lega. Namun, tiba-tiba perasaan takut akan apa yang terjadi pada mereka setelah ini kembali muncul hingga melunturkan senyuman di wajah tampan Sasuke.

Pintu coklat itu terbuka, menampilkan sosok dokter berambut pirang yang masih mengenakan pakaian operasi nya.

Sasuke dengan cepat melangkah menghampiri dokter itu. "Bagaimana keadaan istri dan anakku, Shishou?" Tanya Sasuke tidak sabar.

"Tenangkan dirimu, Uchiha-san. Istri dan putrimu baik-baik saja. Kau boleh masuk, dan melihat mereka." Dokter yang masih terlihat cantik di umurnya yang mencapai setengah abad itu mempersilakan Sasuke menemui keluarga kecilnya.

Tanpa menunggu lama, Sasuke pun melangkahkan kakinya memasuki tempat bersalin istrinya beberapa saat yang lalu. Kedatangan Sasuke pun langsung di sambut pemandangan dimana Sakura tengah menimang putri mereka.

Sakura mengalihkan pandangan nya, semula dari wajah putri kecilnya yang menggemaskan, beralih pada sang suami yang terdiam tak jauh darinya.
"Kemarilah, Sasuke-kun. Sambut bidadari kecil kita." Senyuman tak lepas dari wajah lelah Sakura.

Sasuke yang telah sampai di sisi ranjang Sakura, mengangkat tangannya untuk menyeka keringat di wajah sang istri.

"Arigatou, Sakura." Bibirnya mengecup kening lebar Sakura, dan beralih menatap putri kecil mereka. "Siapa namanya?" Tanya Sasuke tanpa melepaskan tatapannya dari bayi yang masih merah itu.

Sakura tersenyum. "Bagaimana dengan Sarada? nama yang cantik bukan?" Emeraldnya ikut menatap malaikat kecil mereka.

"Kau ingin menggendongnya?" Sakura bertanya seraya menatap suami tampan nya itu.

"Bolehkah?" Tanya Sasuke ragu.

Sakura terkekeh. "Tentu saja. Kau kan Ayahnya." Wanita cantik itu pun menyerahkan putri kecil mereka pada sang suami.

Sasuke menerima Sarada dengan hati-hati, dan menimangnya dengan hati-hati pula.

Sakura tersenyum melihat Sasuke yang masih terlihat kaku saat menggendong putri mereka. Sungguh, ekspresi bahagia yang tunjukkan suaminya itu membuat Sakura sesak. Sesak karena mungkin dia akan kehilangan senyum dari pria yang dicintai nya itu.

"Sasuke-kun." Panggil Sakura pada sang suami.

"Hn?" Sasuke menyahut tanpa melepaskan tatapan nya dari putri kecil mereka.

"Apa kau bahagia?"

Seketika Sasuke menatap Sakura yang juga tengah menatapnya.

"Ya, aku bahagia." sahut Sasuke setelah terdiam beberapa saat tanpa melepaskan tatapan dari irish hijau daun sang istri.

Mendengar jawaban Sasuke, Sakura pun tersenyum. "Syukurlah." desahnya lega.

"Setidaknya kau bahagia meskipun aku meninggalkan mu."

Sasuke kembali terdiam mendengar penuturan istrinya itu. Meskipun Sasuke tau ini akan terjadi, tetap saja ia tidak siap. Tidak siap, dan tidak akan pernah siap.

"Haruskah?" Sasuke bertanya dengan lirih. Sungguh, ia tidak akan pernah siap untuk berpisah dengan Sakura, apalagi ada Sarada yang melengkapi hidup mereka sekarang.

"Kau sendiri tau, sejak awal tempatku memang bukan disini. Jika aku tidak kembali ke tempat asalku, maka aku akan ..." jeda sesaat. Sakura menundukkan kepalanya, dan berkata dengan suara yang nyaris tak terdengar. "... menghilang."

Sasuke terdiam menatap Sakura yang masih menundukkan kepala nya. Otak cerdasnya berusaha mencari cara untuk membuat mereka terlepas dari keadaan menyesakkan ini. Namun percuma, perpisahan adalah satu-satunya cara yang mereka miliki.

Sakura terlalu berbeda dengan Sasuke. Wanita itu bukanlah manusia seperti hal nya dirinya. Sakura bukan berasal dari bumi, melainkan dari belahan planet lain. Bintang adalah tempat Sakura berasal. apa kalian perpikir Sakura adalah alien? entahlah, anggap saja sejenis itu.

Bertemu Sakura bagaikan keajaiban bagi Sasuke. Namun tetap saja, setiap ada pertemuan pastilah ada perpisahan. Siap atau tidak, Sasuke harus menyiapkan diri jika saat-saat seperti ini akan datang juga.

Sakura memang memiliki umur yang panjang. Meskipun usia wanita itu saat ini sudah mencapai ratusan tahun, namun fisiknya masih seperti gadis usia 20-an.

Mereka yang berasal dari bintang, memang memiliki umur yang panjang. Namun tetap saja, mereka pun mempunyai kelemahan. Mereka tidak bisa selamanya tinggal dibumi. Mereka memiliki batas waktu. Jika waktu mereka di bumi sudah habis, maka mereka harus kembali ke tempat asal mereka. Jika tidak, maka mereka akan menghilang dan lenyap seiring berjalannya waktu.

Dan kini, Sakura sudah diambang batasnya. Menetap atau pergi, itu sama saja. Mereka akan berpisah pada akhirnya. Sasuke lebih rela jika Sakura kembali ke tempat asalnya dan berfikir wanita itu baik-baik saja jauh disana, dari pada tetap tinggal dan menyaksikan secara langsung saat wanita itu menghilang dan takkan pernah kembali.

"Pergilah." Sasuke berkata setelah sekian lama tenggelam dalam pikirannya. Ia hanya berdoa dalam hati, semoga keputusan yang ia pilih adalah yang terbaik untuk mereka.

"Sasuke-kun..." Sakura menatap Sasuke. Mencoba mencari keraguan di onyx sang suami, namun bukanlah keraguan yang di dapatnya, melainkan keyakinan dan ketegasan yang memancar dari permata hitam suaminya itu.

Sasuke mengangguk. Sebelah tangannya yang bebas terulur mengelus wajah Sakura.

"Meskipun kita berada di belahan planet berbeda, namun aku meyakini bahwa hati kita akan selalu terhubung. Dan lagi..." jeda sesaat. Sasuke mengalihkan onyxnya menatap lembut sang putri di gendongannya. "... ada malaikat kecil kita. Sarada adalah bukti bahwa perasaan kita saling terhubung, Sakura."

Sakura ikut memandang putrinya yang tengah memejamkan mata, menyembunyikan sepasang permata hitam mempesona yang di wariskan sang Ayah.

"Kau benar. Sarada adalah bukti dari perasaan kita yang terhubung." Sakura tersenyum manis dan menatap Sasuke seraya menggenggam tangan pria itu. "Tunggu aku. Suatu saat nanti, aku akan menemui kalian kembali. Aku janji."

Sasuke membalas genggaman Sakura di tangannya. "Hn. Kami akan menunggu."

*flashback end*

Sarada masih sibuk dengan tangis nya, saat rasa hangat dan nyaman melingkupi tubuh kecil nya. Seseorang tengah memeluknya. Seseorang yang tidak lain adalah ibunya sendiri.

Sakura memeluk erat Sarada. "Maafkan aku. Aku tau, kata maaf saja tidak cukup untuk mengobati rasa marah dan kecewa mu padaku. Aku terlalu malu, dan takut untuk mengatakan padamu bahwa aku adalah Ibumu di pertemuan pertama kita. Aku takut kau menolakku. Seperti saat ini." Lirihnya seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh gadis kecil-nya itu.

Sarada masih terdiam. Tidak membalas ataupun meletangan nlukan erat sang ibu.

Sasuke menatap dua perempuan paling berharga dalam hidup nya itu dengan tatapan sendu. Ia memang ingin Sarada bertemu dengan ibunya, namun bukan pertemuan seperti ini yang Sasuke harapkan. Pertemuan yang diiringi airmata kesedihan.

Sakura menggigit bibir bawahnya guna menahan isakan yang keluar dari bibirnya. "Kau boleh marah padaku, tapi kumohon jangan benci aku."

"Aku tidak membencimu." Sarada berkata setelah sekian lama terdiam. "Aku hanya kesal. Kenapa kau membuatku dan Papa menunggu begitu lama?" Lanjutnya. Perlahan tapi pasti, kedua tangannya terangkat membalas pelukan sang ibu.

"Maaf." Sakura semakin mengeratkan pelukannya saat dirasa Sarada menganggukkan kepalanya.

Melihat itu, Sasuke pun tersenyum lembut. Setidaknya, ini adalah ending yang ia harapkan. Dalam hati Sasuke berdoa, semoga Tuhan menjaga keluarga kecilnya ini.

"Hey, aku juga ingin di peluk."

Rajukan Sasuke disambut tarikan pada tangannya oleh sang putri. Jadilah Sasuke memeluk keduanya yang masih berpelukan.

'Ibu, adalah orang yang sangat mencintai kita, walaupun kadang kadang kita tidak mengerti. Ibu, adalah orang yang membuat kita sadar betapa baiknya kita dan tidak ada yang lebih baik dari kita. Ibu, adalah orang yang kebahagiaannya ada dalam tawa kita dan kesedihannya ada dalam tangis kita. Dan Ibu.... adalah segalanya.'

OWARI

.

OMAKE

"Jadi, waktu didanau itu Mama jatuh dari langit?" Sarada bertanya setelah sang ibu menceritakan alasan kepergiannya 12 tahun yang lalu. Sarada juga tau, bahwa ibunya bukanlah manusia. Tapi itu dulu. Karena saat ini, ibunya adalah manusia biasa seperti halnya dirinya dan sang ayah.

Heran? bingung? jangankan kalian, Sasuke saja bingung. Bagaimana bisa?

Sakura menjelaskan, jika ia bisa menjadi manusia karna melakukan perjanjian dengan sang penguasa -yang dipanggil Hokage- di tempat asalnya.

Karna Sakura ingin menjadi manusia, kekuatannya diambil dan hidupnya yang abadi pun dicabut, sehingga kini ia memiliki umur yang terbatas. Tapi itu tidak masalah, karna bagi Sakura, keabadian tidak ada artinya jika tak bisa bersama dengan orang yang dicintai.

"Tidak, tidak." Sakura mengibaskan tangannya. Sedikit terkekeh mendengar pertanyaan putrinya itu. "Saat itu aku terjatuh dari atas pohon."

Sasuke cengo. Sarada melongo.

"Hah?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top