Prolog

Mocca's PoV

Mocca.

Namaku yang begitu singkat juga mudah diingat oleh orang-orang yang mengenalku. Tapi, mereka yang sudah mengenalku bukan menganggapku sebagai teman ataupun manusia sekali pun, melainkan memperlakukanku dengan kejam.

Aku tersingkir. Terpuruk. Hanya karena tidak memiliki kekuatan sihir, mereka semua memandangku benci dan menjauhiku. Menelantarkanku hingga jauh dari mereka. Tidak ada satu pun yang ingin berteman denganku. Jahat.

Dunia sepertinya menolakku. Tidak punya kekuatan sihir, apa harus semenderita ini? Dikucilkan, diejek, diasingkan, bahkan orang tuaku sama sekali tidak memperhatikanku layaknya anak mereka lagi. Orang tuaku membuang diriku jauh dari kota Mejiktorn, menyuruhku pergi dari rumah sekaligus kota ini, kota yang baru beberapa hari ini telah menghias warna-warna jingga, labu serta ukiran wajah senyum dengan mata jahat.

Apa lagi kalau bukan hari Halloween jika ada labu dan puluhan ember permen?

Kota Mejiktron adalah suatu tempat tinggal para penyihir yang aku dengar kota ini dipimpin oleh seorang Raja berusia 16 tahun. Raja yang masih sangat muda, apalagi dia seumuran denganku. Aku tidak pernah melihat Raja Mejiktorn. Kota ini memuat sekitar 3 juta penduduk dengan rumah yang didesain bangunan kotak atau persegi panjang dengan atap kerucut.

Para penduduk kota Mejiktorn selalu merayakan hari Halloween setiap tahunnya, tepatnya pada tanggal 31 Oktober, tepat aku diusir dari rumah sekaligus kota tersebut.

Juga, hari ulang tahunku.

Tidak semua hari Halloween adalah hari yang menyenangkan ataupun istimewa. Hari Halloween kali ini sangatlah buruk. Orang tuaku tidak menerima diriku, teman-teman di sekolah, bahkan adikku sendiri berani menyuruh-nyuruh dan membentakku seakan dia yang lebih tua dariku.

Hari Halloween memang menyeramkan, sekaligus menyedihkan.

Hal yang aku punya saat ini adalah pakaian yang aku kenakan, sendal butut yang sudah tidak layak pakai, dan nyawa.

Aku berjalan melalui banyak orang yang sedang memegang labu dan permen, berbincang ria sambil tertawa-tawa. Mereka semua terlihat bahagia.

Setelah melalui banyak orang, jalanan yang aku tapaki sekarang perlahan sunyi dan hanya menyisakan lampu labu yang menyala tergantung di tali yang telah dipasang dari satu pohon ke pohon yang lain. Aku berjalan sendiri. Tak ada harapan untuk meminta pertolongan orang lain. Aku hanyalah penyihir yang tak memiliki sihir.

Mereka mengataiku sebagai manusia biasa.

Manusia adalah makhluk yang hampir sama dengan penyihir. Yang membuat dua makhluk itu berbeda adalah penyihir memiliki kekuatan sihir sedangkan manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Aku bukanlah penyihir, melainkan penyihir yang dikutuk menjadi manusia biasa.

"Kau .. tolong .. aku .." sepertinya ada seseorang yang menyahutku. Aku tidak terlalu yakin, jadi aku memutuskan untuk berhenti melangkah dan menoleh ke arah sumber suara yang cukup dibilang parau.

Seorang laki-laki duduk di bawah pohon yang tumbuh tanpa daun berhiaskan beberapa labu kecil pada dahan pohon dalam keadaan yang ... astaga! Dia terluka! Lengan kanannya tertusuk oleh sebuah panah. Banyak darah yang keluar mewarnai baju biru gelapnya. Tangan kirinya sedang memegang lengan kanan yang kesakitan oleh benda tajam itu. Sepertinya ini bukan tipuan dandanan Halloween. Apa tidak ada yang melihat ada orang yang memerlukan pertolongan? Mereka semua hanya mementingkan diri sendiri. Tidak mungkin mereka mau menolongnya.

Tanpa basa-basi lagi aku berlari menghampirinya dan melihat keadaannya yang lumayan parah. Ekspresinya sudah menandakan dia sedang kesakitan. Yang benar saja. Darah dan luka itu memang benar bukan tipuan belaka. Mereka pikir orang ini sedang berdandan Halloween, sehingga mereka yang melihatnya hanya biasa saja. Itulah perkiraanku. Tapi anehnya, kenapa dia terluka? Siapa yang mau memanahnya? Bukankah ini adalah hari yang bahagia? Bukan perang panah?

"A-a-aku akan menolongmu!" kataku gugup. "T-tenang saja. Aku akan mencabut panahnya!"

Aku lumayan bisa diandalkan jika dalam keadaan darurat seperti ini. Di sekolah, aku mengikuti ekskul kedokteran. Aku selalu membawa kotak P3K mini di dalam kantongku. Di mana pun aku pergi aku akan membawanya. Dan ini pertama kali aku mengobati seseorang dengan kemampuanku. Tanganku mulai memegang bagian tengah panah, segera menarik panah keluar dari lengannya.

Ekspresi lelaki ini begitu meringis. Dia tampak sangat kesakitan hanya sebuah tusukan panah. Sepertinya panah ini menusuk tidak sampai merusak tulang, untunglah tidak tembus.

Tangan kirinya tiba-tiba memegang tangan kananku yang hampir saja akan menarik panah. Tangannya dingin namun berkeringat juga terdapat bercak darah. Aku melihat mata birunya yang terang oleh gelap malam. Mata biru sebiru laut yang menenangkan, juga menghangatkan. Mata yang bagus.

"Terima kasih," katanya. Aku menatapnya heran.

"Kau tidak boleh berterima kasih padaku karena aku belum mencabut panah ini dan mengobatimu. Berterima kasihlah setelah aku berhasil menyelamatkanmu," balasku kemudian kembali fokus pada panah yang aku pegang.

Dalam hitungan detik, aku berhasil mencabut panah dari lengannya yang diiringi oleh suara rintihan sakitnya yang kudengar membuatku sedikit ngilu. Sebagai seorang dokter meski masih pemula, aku harus tahan terhadap luka dan darah sebesar apapun. Bahkan rintihan orang yang kesakitan harus aku biasakan dengan cara bersikap santai. Cita-citaku memang ingin menjadi seorang dokter, agar aku bisa mengobati semua orang yang membutuhkan obatku.

Aku membuang panah itu dengan menusukkannya ke arah pohon yang lelaki ini sandari. Pergerakan yang cepat dan tepat, aku membuka kotak P3K miniku, membentangkan perban dan membuka obat yang diperlukan, lalu mulai mengobati. Mulai dari membersihkan darah dari kulit dan bagian luka, memberi obat pencegah keluar darah, obat penyembuh, dan sentuhan akhir adalah perban.

Sesekali aku melihat ekspresinya yang kian tidak meringis lagi. Tampak sudah mulai biasa dan tenang. Matanya fokus pada pekerjaanku. Ikatan simpul pada balutan akhir perban, aku membereskan peralatanku dan mengangkat wajah.

"Selesai. Bagaimana lenganmu? Apa masih terasa sangat sakit? Kurang?" tanyaku.

"Hm .. tidak begitu terasa sakit lagi. Kau hebat sekali mengobati orang. Apa kau anak dari seorang dokter di kota ini? Ah, terima kasih sudah menyelamatkanku. Jika tidak ada kau, mungkin aku sudah akan menjadi sebuah boneka paling menyeramkan pada Halloween tahun ini. Siapa namamu?" jawabnya disertai dua pertanyaan untukku. Sedang terluka parah, dia masih kuat berbicara. Hebat, begitulah laki-laki.

"Aku bukan anak dari seorang dokter. Aku hanya mengikuti sebuah ekskul kesehatan di sekolah. Namaku Mocca," jawabku sembari menyingkirkan beberapa helai rambut pirang yang mengganggu penglihatan kiriku.

"Mocca saja? Kau punya keluarga?" tanyanya lagi. Dia banyak tanya.

"Ya, namaku hanya Mocca. Aku tidak punya keluarga. Ayah, Ibu, serta adikku mengusirku dari rumah. Aku tak tahu harus ke mana sekarang. Mungkin jika aku keluar dari kota dan melewati hutan yang ada di sana, aku bisa menemukan tempat tinggal yang baru untuk diriku sendiri," jawabku seraya berusaha untuk tidak memasang ekspresi menyedihkan dengan cara ... tersenyum tipis.

Dia melenyapkan senyumnya, melihatku iba. Aku tak mau dipandang dengan sedih seperti itu. Ini memang sudah jalan hidupku. Jika aku ditolak oleh siapapun, maka aku akan pergi sangat jauh dari semua orang. Aku bisa hidup sendiri. Sendirian jauh lebih baik.

"Singkat cerita, kau tidak punya apa-apa lagi sekarang?" Astaga ini orang malah tanya lagi. Sudah pastilah aku tidak punya apapun lagi. "Kenapa kau diusir?"

"Karena aku tidak mempunyai kekuatan sihir," jawabku. Aku merasakan mataku mulai berkaca-kaca. Ingin sekali aku menangis oleh semua yang aku alami. "Aku ... tak punya apa dan siapa lagi. Bahkan dari awal, aku merasa tidak pernah memiliki apa-apa. Mereka membuangku. Sebagai orang yang terbuang, aku pun harus menjauh. Tak ada yang ingin mendekatiku. Maaf, jika kau sudah merasa baik, boleh aku pergi sekarang?"

Aku beranjak dari duduk lututku, segera pergi dari kota ini. Saat aku akan membalikkan badan menuju arah jalan, dia mencegahku dengan suaranya yang lantang.

"Kau tidak boleh pergi!" pekiknya membuatku tertahan. "Jika kau tidak memiliki apa-apa, keluarga, siapapun, jadikan aku menjadi seseorang yang akan kau pikirkan dalam hati dan pikiranmu! JADILAH ISTRIKU!"

"APA?!" Aku terkejut luar biasa mendengar kata-katanya. "Memangnya kau siapa mencegahku pergi dan ... menjadi istrimu?! Kau sudah gila, ya??"

Dia berdiri menghadapku. Tingginya nyaris menyamaiku, sekitar 3 cm melebihiku. Dia tidak terlalu tinggi seperti laki-laki biasanya. Dengan senyum, dia berkata padaku.

"Aku adalah Raja yang memimpin kota Mejiktron ini. Namaku Hallow Mixolydian. Tiga hari yang lalu aku pergi sendiri ke hutan untuk menangkap beberapa ekor rusa. Tapi bodoh sekali aku tiba-tiba saja terkena panah seseorang. Ini pertama kali aku terkena benda tajam. Sakit juga ternyata. Kau tidak boleh ke dalam hutan sana. Hutan itu sangat dalam dan berbahaya. Melihatmu mengatakan padaku untuk tenang dan mengobati lukaku, juga saat kau mengatakan tak memiliki keluarga, kau mampu tersenyum walaupun itu tipis, kau membuatku tersadar akan satu hal yang penting. Aku ... telah jatuh hati padamu."

Dia meraih tangan kananku dan menariknya ke dada, tepat di tengah jantungnya yang kuyakini tengah berdetak memburu karena wajahnya tampak bersemu merah. Yang bisa aku lakukan saat ini adalah bergeming dengan ekspresi kaget yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Reaksi apa lagi yang bisa aku berikan setelah dikatakan dia adalah Raja di kota ini dan dia ... a-apa tadi? Jatuh hati? Padaku? YANG BENAR SAJA! MIMPI APAAN INI??

"Aku mencintaimu. Jadilah istri dan Ratuku, Mocca."

🎃

"MOCCA HALLOW"
27 September 2016

🎃


TO BE CONTINUE ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top