Chapter 7 : Dapur

Mocca's PoV

Malam Halloween, kota Mejiktorn, istana kerajaan Mixolydian, tepatnya di ruang dapur.

Dua gadis berambut coklat terang memakai baju seorang koki tengah berargumen ria lantaran mendebatkan suatu hal yang mungkin saja berkaitan dengan makanan gosong yang tergeletak kasar di dasar loyang.

Makanan gagal jadi itu membentuk gumpalan abstrak. Kalau bukan berwarna gosong, mungkin akan menjadi seperti awan berwarna putih yang lucu. Namun bukan itu yang menjadi masalahnya.

Mereka terlalu asik beradu mulut sampai tidak merasakan kalau aku telah ada di dekat mereka. Hawa keberadaanku mungkin tipis bagi mereka yang tengah asik dengan dunia mereka sendiri. Jika aku bersuara, mungkin mereka tetap tidak akan merasakan keberadaanku bahkan mendengarkanku. Aku akan diabaikan. Apa lebih baik aku berlalu saja dari sini?

Argh!! Tidak bisa. Kalau aku keluar dari ruang dapur ini, bagaimana jika Hallow menemukanku dan kembali mengatakan hal-hal yang membuatku sakit jantung? Aku tidak kuat. Aku masih tidak mengerti apa-apa. Entah bagaimana, jantung ini serasa mengamuk terus jika mengingat Hallow. Aku bisa stress.

"Ugh," keluhku sambil memegang daerah jantungku yang berdetak tidak karuan, kayak orang yang beneran lagi kanker jantung. Namun beda dari penyakit itu, yang ini membuatku kepanasan.

Seketika kedua gadis berkepang itu dengan serentak menoleh padaku yang tengah berdiri beberapa jauh langkah menengahi mereka. What? Hanya dengan sedikit rintihan kecil, mereka mampu menghentikan perdebatan dan mampu menggubris kehadiranku? Oke, ternyata dugaanku yang selalu menduga secara sempit dan sok luas telah salah menduga.

Dua kembar itu melihatku dengan pertanyaan. Memperhatikanku begitu serius, jeli, dan rinci. Mulai menyelidik dari puncak kepala sampai menuju ujung kaki. Melangkah mendekat, meraba-raba rambut, kedua pipi, baju yang aku kenakan, tak luput sepatu hitam yang aku pakai.

Mereka kenapa sih?

"AAAA!!! D-dia Nona Mocca!! Calon istri Raja Hallow yang Hella ceritakan pada kita!!" teriak gadis berkepang satu sebelah kanan memundurkan langkah dariku dan berakhir tersandung meja yang ada di belakang. "Rambut pirang, mata biru tua .. tidak salah lagi! A-anda Nona Mocca, kan??"

Aku menatap aneh pada gadis itu. Reaksinya tidak santai. Sampai nabrak meja. Dia menunjuk mukaku, dia pikir aku menerima lamaran Hallow? Aku bahkan belum mendapat jawaban.

Sebentar aku melirik gadis yang satunya, gadis berkepang dua. Dia juga membelalakkan mata hitamnya sambil memegang satu spatula digenggaman tangannya, terlihat was-was. Dia pikir aku akan berbuat apa padanya.

"Kenapa kalian begitu terkejut sekali? Ayolah, santai saja. Kembali dan lanjutkan saja pekerjaan kalian. Aku ke sini hanya untuk berkeliling, hehe," ucapku sedikit canggung.

Gadis berkepang dua itu menurunkan spatulanya. Dia terlalu berhati-hati padaku mana mungkin aku mau melukainya tanpa alasan. Sedangkan gadis berkepang satu sebelah kanan itu kembali berjalan mendekatiku. Dia tersenyum padaku. Senyuman yang cantik.

"Nona, perkenalkan nama saya Ai. Dan ini adik saya namanya Lof. Kami bekerja di dapur sebagai pembuat makanan untuk Raja Hallow dan semua yang tinggal di istana ini," kata gadis bermata karamel itu dengan setengah bungkukan dengan tangan kanan menyentuh dada kiri, diikuti oleh adiknya yang bernama Lof.

"Nona Mocca, ada yang bisa kami bantu untuk Anda?" kata Lof setelah kembali tegak dari bungkukan. Dia juga ikut tersenyum. Padahal aku lihat tadi dia sedang marah. Aktor yang hebat.

Mataku beralih pandang menuju loyang logam yang di atasnya terdapat gumpalan gosong tadi. Kakiku berjalan menuju meja tempat loyang itu berada, menyentuh adonan gosong itu yang masih hangat dari oven. Lunak dan basah. Sebenarnya apa yang sedang mereka buat? Kue? Pie? Roti? Entah kenapa aku merasa bukan ketiganya.

"Kalian ingin membuat apa dengan adonan ini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari gumpalan gosong itu, masih mengamati.

"Lof baru bekerja di sini sebagai koki istana. Raja Hallow menyuruh Lof membuat semangkok es krim. Sudah dua jam aku membantu Lof bekerja namun tak ada hasil yang memuaskan. Jika Raja melihat ini, dia pasti akan kecewa. Peraturan di istana ini tidak boleh menggunakan sihir saat sedang melakukan apapun. Tanpa sihir, Lof tidak bisa memasak apapun,"  jawab Ai memasang ekspresi sedih dan kecewa.

Pantas saja tidak berhasil. Mau buat es krim kok pakai alat pemanggang kue bukannya lemari es. Kesalahan seorang koki yang amat fatal.

"Cih. Ngapain juga sih pakai peraturan tidak boleh menggunakan sihir segala aneh sekali, kita kan penyihir ya pakai sihir lah!" timpal Lof membuang muka dariku.

Lantas Ai yang mendengar itu menginjak sebelah kaki Lof. Gadis berkepang dua itu beraduh kecil setelah kakinya diinjak.

"Kalau bisa, mencela itu di dalam hati! Kau membuat malu di hadapan calon istri Raja! Gimana sih cara menghilangkan sifatmu itu? Aku heran sekali denganmu, Lof. Selalu saja berkata kasar. Jika Raja Hallow dengar, apa yang akan dia perbuat padamu?" kata Ai dengan pelan membentak kepada Lof, namun aku masih bisa mendengarnya.

"Kan aku sudah bilang, Kak," kata Lof terdengar terpotong dengan keras, kemudian kembali melanjutkan. "AKU BERHENTI!!"

"TUNGGU DULU," ucapku menghalangi Lof berjalan untuk keluar dari sini. "Kenapa kau selalu bergantung pada sihir? Jika peraturan itu tidak ada, apa kau bisa melakukan apa saja terutama membuat es krim?"

"YA! Aku bisa melakukan apapun jika menggunakan sihir! Selama sihir ada, maka hidup takkan serepot mengupas kulit bawang merah dengan pisau tumpul! Biarkan sihir yang melakukan semua pekerjaan!" jawab Lof yang kali ini tanpa menggunakan logat 'saya' pada kalimatnya.

"Lof! Apa yang sudah kau katakan pada Nona Mocca??" kata Ai terlihat panik sekaligus marah pada adiknya itu.

PLANK!!

Dia ingin menjauhkan adiknya dariku yang tengah menatapku tajam, namun setelah mendengar apa yang dikatakan Lof, tangan kananku reflek menampar wajahnya tanpa berpikir panjang. Aku .. marah sekali mendengar kata-kata Lof tentang cara dia menggunakan sihir. Sepenting itu kah sihir bagi para penyihir? Aku lebih setuju jika sihir tak akan pernah ada saja.

"Bagimu, sihir itu menyenangkan dan serbaguna. Tapi bagiku, sehebat apapun kekuatan sihir itu, sihir telah mengajarkan makhluk hidup untuk bermalas-malasan! Kau egois karena adanya sihir!! Penyihir sepertimu harus diberi batasan penggunaan sihir agar kau tidak semena-mena saat menggunakannya. Sihir bisa juga berakibat fatal. Memang bagus ada peraturan yang isinya tidak diperbolehkan memakai sihir saat bekerja. Peraturan itu bukan untuk menyusahkanmu, melainkan memberimu satu pesan bahwa kita punya dua tangan dan dua kaki yang sangat membantu untuk melakukan segala hal yang kita inginkan. Tuhan sedang menguji kita dengan sihir, melihat apakah kita akan menjadi pemalas dan sombong ataukah tidak. Singkatnya, sihir adalah kekuatan menyesatkan semua makhluk yang memilikinya untuk melakukan hal yang sebenarnya bisa dilakukan tanpa sihir. Mungkin itulah kenapa Raja Hallow membuat peraturan seperti itu."

Wih, kata-kata yang panjang.

Mata Lof membelalak terkejut mendengarkan semua kalimat yang aku curahkan untuknya. Sambil memegang sebelah pipinya yang sedikit merah karena tamparanku yang antara sengaja atau tidak sengaja, dia menunduk. Atas giginya menggigit bibirnya pada bagian bawah.

Hening seketika. Tak ada suara lagi setelah aku berdialog. Keheningan yang menusuk telinga berdurasi cukup dibilang lama. Kedua kembar itu hanya diam menunduk salah.

Ai mencengkram bagian bawah celemek yang dia pakai. Dia juga ikut menunduk seperti Lof, seakan dia juga ikut bersalah.

Aku kembali mengarahkan diriku pada gumpalan gosong yang kini telah dingin lantaran terus berada di luar oven dan masih di atas loyang. Ini bukan es krim gagal jadi, melainkan kue awan yang berbentuk jadi namun gagal dalam hal warna dan rasa.

"Tentu saja, membuat es krim yang lezat tidaklah mudah. Kau harus mengulanginya sekali dan sekali lagi sampai kau berhasil membuat sesuai yang direncanakan. Tapi, seumur hidup pun kau tidak akan bisa membuat satu mangkok es krim, karena kau memanggang adonan es krimnya, harusnya kau masukkan saja adonannya ke dalam lemari es dan tunggu sampai beku. Itu saja kesalahanmu," kataku tiba-tiba menjelaskan kesalahan Lof dalam membuat es krimnya yang tidak jadi-jadi.

Lof mengangkat kepalanya yang tertunduk lama. Aku yakin lehernya kaku lantaran terlalu lama menunduk. Mata hitam milik Lof menatapku antusias, berjalan menujuku.

"T-tolong, ajarkan aku membuat es krim yang benar! Aku mohon!! Bantulah aku sekali saja! Aku akan berjuang sampai titik keberhasilan!!" kata Lof membungkuk 90° di depanku dengan lirih, tampak takut.

Seketika aku mengukir senyum. Aku menoleh ke arah Ai yang tengah memandang adiknya dengan mata yang terbelalak.

"Ai, bisakah kau berikan aku satu celemek?" suruhku pada Ai.

"Ba-baik!" jawab Ai langsung melaksanakan, melangkah cepat menuju sebuah lemari kokoh dari logam yang terletak di pojok ruang dapur, kembali ke sini dan menyodorkanku selembar kain celemek putih. "Silahkan, Nona."

"Terima kasih," balasku sambil menerima celemek yang diberikan Ai dan memakainya. Setelah itu kembali melihat Lof yang masih membungkuk padaku. Gadis yang aneh. "Lof, tegakkan tubuhmu."

Lof menegakkan tubuhnya dengan pelan. Dengan ragu dia menatap mataku. Namun aku bisa melihat matanya memancarkan keseriusan.

"N-nona Mocca?"

Aku mengangkat loyang logam yang berisi gumpalan gosong itu dengan senyuman yang bisa aku curahkan, bermaksud membuang makanan gagal jadi itu ke tempat sampah.

"Aku akan mengajarimu cara membuat es krim yang enak. Mari kita mulai dari awal!"

🎃TO BE CONTINUE ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top