Chapter 53 : Cinta
Hallow's PoV
Awalnya, aku bingung. Tiba-tiba saja aku melihat kegelapan. Apa aku tertidur? Pingsan? Tidak mungkin. Aku kan sedang bersama Mocca. Perang masih berlanjut. Barusan, tidak ada terjadi apa-apa padaku.
Aku baru menyadari, ternyata tubuhku sedang dirasuki oleh jiwanya Mona Ferlendian. Aku bisa melihat merasakan diriku tertawa dan mengucapkan kata-kata yang tidak pernah kupikirkan untuk Mocca. Dan tentu saja itu bukan aku, melainkan Mona Ferlendian. Dia membuat tanganku mengarahkan pedangku ke arah Mocca. Ini tidak bisa dibiarkan. Tidak akan kubiarkan dia menguasai tubuhku. Apalagi untuk membunuh istriku.
Dari hasratku menghentikan tanganku mengarahkan pedang ke dada Mocca, tanganku pun berhenti maju. Berusaha keras aku melawan Mona. Dan dia pun menyebutku brengsek. Ha. Dia pikir dirinya tidak brengsek?
Aku merasa kesakitan pada bagian kepalaku ketika melihat Mocca sedang dikepung oleh banyak senjata. Dan pada titik batas, Mona memilih menutup mata. Menjatuhkan tubuh ini ke tanah. Aku tahu Mocca pasti sangat mengkhawatirkanku.
Jangan khawatir, Mocca. Aku tidak akan tumbang semudah ini. Aku akan membuat Mona pulang ke neraka. Dan kupastikan ia akan merasa amat menyesal.
Kini, diriku berdiri di lantai tanpa lantai. Aneh, ya? Di sini hanya penuh dengan warna hitam. Terlihat seperti di sebuah ruangan yang tak berarti. Aku tahu sekarang bagaimana gambaran mimpi Mocca ketika dia mengisahkan tentang sisi lain. Dan ternyata sisi lain itu adalah jebakan sialan dari Mona. Dia memanfaatkan kematiannya dengan masuk ke dalam tubuh Mocca dan menyamar menjadi bagian darinya. Sama seperti apa yang dia lakukan sekarang kepadaku.
Aku melihatnya. Dia berwujud sepertiku. Dia sedang duduk dengan kaki lurus ke depan sambil menengadah ke atas. Menyebalkan sekali. Rasanya seperti melihat diriku sendiri.
Kakiku melangkah santai ke arahnya. Selagi melangkah, tak ada serangan apa-apa darinya. Sampainya aku di dekatnya, dia melihatku dan tersenyum.
"Hai!"
Astaga, suaranya sama persis sepertiku! Semakin menyebalkan.
"Kau mengesalkan. Bisakah kau berwujud menjadi dirimu sendiri saja? Kau membuatku muak," kataku tak acuh.
Dia tertawa.
"Tidak bisa," balasnya langsung berhenti tertawa dan segera merebahkan diri. "Aku lebih suka berwujud sepertimu, karena aku dapat lebih merasakan kalau kau adalah milikku seutuhnya saat aku menjadi dirimu."
Menggelikan.
"Kau tidak bisa menjadi diriku selamanya, karena kau adalah perempuan," kataku asal berkata.
Dia mendadak bangun dari rebahannya.
"Apa?! Jadi, kau mau membuatkan tubuh baru untukku?"
KAPAN AKU BERKATA BEGITU???
"Kau itu sudah gila. Dunia ini akan baik-baik saja selama kau tiada. Tapi, kau datang kembali dan mengganggu kami. Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Pertanyaanku sudah cukup jelas. Dan Mona harus menjawab pertanyaanku itu agar masalah ini cepat selesai.
"Kau ingin tahu apa yang aku inginkan?" Mona berdiri menghadapku. Mata biru itu berganti warna menjadi merah darah. Itu adalah manik matanya yang sebenarnya.
Aku menatap malas.
"Haruskah aku mengulangi pertanyaanku agar kau tidak bertanya lagi??" Dia membuatku tambah kesal setiap dia mengatakan sesuatu. Nada bicaraku juga kian meninggi.
"Hmm, tidak perlu. Aku akan menjawab pertanyaanmu," ucapnya.
Dia melangkah mendekat padaku. Seperti waktu telah mengizinkan Mona untuk menampakkan dirinya yang asli, dia telah mengubah dirinya dalam sekejap menjadi seorang gadis berambut panjang semata kaki berwarna hitam dan merah, gaun kerajaan seorang ratunya yang berwarna hitam, mahkota ratu berada di puncak kepalanya, dan mata merahnya menatap tajam kepadaku. Tangannya menyentuh wajahku dengan lembut. Sentuhan itu membuatku ingin sekali memotong tangannya.
"Aku hidup kembali, karena cinta."
Jawaban macam apa itu? Cinta? Oh, apa dia masih mencintaiku? Aku langsung tertawa setelah mendengar jawabannya. Tanganku menepis tangannya dari wajahku dan melangkah mundur menjauhinya.
"Kau masih saja mencintaiku? Aku bahkan tidak pernah memberikan hatiku padamu, karena aku hanya akan mencintai MOCCA. Dan dia sudah menjadi sebagai ISTRI dan RATUKU!"
Mona masih tersenyum penuh arti, membuatku berhenti tertawa dan kembali datar.
"Kenapa kau bisa mencintainya?"
Setelah dia menanyakan itu, senyumannya dia pudarkan. Dia membalas datar padaku.
Aku tertegun dengan pertanyaan itu. Entah apa alasan dia menanyakan itu, tapi jika kupikirkan kenapa aku bisa mencintai gadis seperti Mocca, itu karena Mocca berhasil menguasai hatiku. Dia menghangatkan hatiku, membuatku nyaman, dan jika kuingat memori itu, di mana Mocca datang menyelamatkanku. Penampilannya berantakan dengan baju lusuh dan sendal tak layak pakainya. Dia mengobati salah satu lenganku dengan sabar. Dia tidak takut darah. Dan dia mengatakan kalau dia ingin menjadi seorang dokter. Pertama kali melihatnya, di saat itulah diriku mengalami jatuh cinta.
Bagian terlucunya, aku langsung mengatakan perasaanku kepadanya dan reaksinya sangat terkejut. Apalagi saat aku mengajaknya untuk menjadi istriku. Dia tidak menjawab ungkapan perasaanku, tapi dia tidak menolak ajakanku ke istana. Aku sangat senang bisa mengajaknya ke istanaku. Melihatnya memakai gaun yang pantas untuknya, dari awal dia memang sudah cantik meski tidak memakai pakaian bagus.
Bagian yang mengejutkan, hari itu dia berulang tahun, tepat di hari Halloween tersebut. Aku merasa payah karena tidak mengetahui kalau hari itu adalah hari ulang tahunnya. Dan senang sekali aku bisa mencium dahinya dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya, meski melelahkannya aku harus main kejar-kejaran dengan Mocca karena dia lumayan pemalu. Mengingat hal itu, aku jadi ingin tertawa.
Dan bagian yang bersejarah, dia pun berani mengatakan bahwa dia juga mencintaiku. Di saat itulah, diriku penuh dengan padang bunga yang bermekaran.
Mocca. Dia segalanya bagiku. Cintaku. Bidadariku. Surga cantikku.
"Karena aku ingin."
Bagaimana dengan jawabanku? Cukup menjelaskan segala rasaku terhadap Mocca, kan? Atau sebaliknya ya? Ahh, aku malas menjelaskan. Terlalu panjang.
"Hmm, aku jadi mengerti kenapa kau mendadak membuat kalian berdua menikah, alasannya karena aku, bukan? Kalian menikah agar aku bisa menyerah dan kembali mati dengan tenang. Begitu, kan?"
Aku tersenyum.
"Kalau iya, memangnya kenapa? Tidak boleh?"
Mona ikut tersenyum.
"Boleh, sih. Tapi sayang, pernikahan kalian itu akan semakin sulit membuatku pergi dari sini, karena aku bisa menghancurkan janji suci serta kebahagiaan kalian dengan lebih mudah."
Aku memudarkan senyumanku dan menatap tajam kepadanya. Apa yang dia rencanakan sekarang?
"Kau tidak akan bisa mengganggu kehidupan kami lagi, karena kau akan segera pergi dan kembali masuk ke dalam neraka," ucapku.
Mona tertawa lepas. Tiba-tiba saja dia menghilang dari hadapanku lalu mendadak muncul di belakangku dan memelukku.
"Selama kau tidak memegang pedangmu, kau tidak akan bisa melenyapkan seorang Ratu Mona Ferlendian, Raja Hallow Mixolydian."
Sial.
Waktu diriku masih sadar, aku melepaskan pedangku dan sibuk menahan rasa sakit di kepalaku. Dan bagus sekali sampainya aku sadar di sini, pedangku juga tidak ikut bersamaku. Bagaimana cara pedangku kembali berada di tanganku? Aku harus memegang pedangku kembali. Pedangku yang satunya tidak dapat kukeluarkan karena sihirku tidak mencapai maksimal. Pedang Biru adalah senjata harapanku satu-satunya.
Ada sesuatu yang menyentuh leherku. Mona menjilat sekilas leherku, membuatku merasa merinding dalam waktu yang singkat. Vampir menjijikkan.
"Menjauh dariku!" suruhku seraya meronta dari pelukannya. Tapi, tubuhku malah tidak bisa bergerak. Ini tidak lucu. Aku tidak ingin dia melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan darinya.
"Hallow, kau akan segera membuka mata birumu. Tetapi, aku pastikan dirimu tidak dapat berkata apa-apa kepada siapa pun yang menunggu kesadaranmu, termasuk kepada orang yang kau cintai."
Mata Mona menyala merah dan dia mengeluarkan dua taring vampirnya. Dia mengarahkan kedua taringnya ke leherku dan menancapkannya di sana, membuatku lantas mengerang sakit di dalam kekosongan ruangan tanpa batas ini. Dia menghisap darahku sampai penglihatanku tidak dapat melihat dengan jelas. Rasa sakitku beralih dengan rasa kantuk pada mataku. Aku ingin tidur. Tapi, kalau aku tidur, apa aku akan bangun dan melihat wajah Mocca sedang menunggu kesadaranku?
Aku ingin melihat Mocca. Aku ingin menyentuh wajahnya, memeluknya, mencium bibirnya, dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya.
Tapi, apa Mona benar-benar akan mengunci suaraku?
Terakhir yang kulihat di tempat ini, aku melihat banyak kelopak bunga melati berterbangan menghiasi warna hitam di sekitarku. Aroma mereka mengingatkan diriku kepada pedangku. Aku harus memegang pedangku kembali, agar aku bisa melenyapkan Mona dari dalam diriku.
Mocca, aku merindukanmu. Apa kau juga merindukanku?
🎃TO BE CONTINUE ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top