Chapter 5 : Pakaian

Mocca's PoV

Malam Halloween, kota Mejiktorn, istana kerajaan Mixolydian, tepatnya di ruangan yang isinya terdapat banyak sekali lemari.

Aku masuk ke dalam lebih dulu, seperti yang wanita pelayan seksi itu katakan. Selain itu aku masih tidak percaya Hallow akan menerima wanita yang terbilang seksi nan menggoda laki-laki mesum masuk ke dalam istana dan bekerja menjadi pelayan di sini. Akh sudahlah.

"Hei, siapa namamu?" tanyaku pada pelayan wanita itu yang tengah mengobrak-abrik salah satu lemari.

"Colla," jawabnya tanpa menolehkan kepala ke arahku. Dia sibuk mengambil beberapa potong baju yang akan aku pilih.

"Colla, kau bekerja sebagai apa di istana ini?" tanyaku lagi.

Kali ini dia menoleh padaku. Kedua lengannya dipenuhi oleh baju-baju yang dia ambil dari dalam lemari. Dia berjalan menghampiriku. Aku baru sadar kalau wajahnya diberi jahitan tipuan di tengah wajah membentuk vertikal dari atas kening sampai ujung dagu. Tidak menyeramkan. Yang menyeramkan itu adalah dadanya. Hiks.

"Pekerjaan saya mengurus semua pakaian. Mulai dari pakaian Raja Hallow dan semua pakaian di sini saya yang mencuci, memperbaiki, bahkan membuat baju sekali pun," jawab Colla sembari mencocokkanku dengan salah satu potongan baju di depan dadaku. "Bagaimana kalau yang ini, Nona?"

Sekarang aku mengerti. Pekerjaannya di sini hanya mengurus pakaian. Namun aku masih penasaran. Apa baju dalam juga termasuk? Aku tidak terlalu peduli, tapi menurutku terdengar lancang jika dia yang mengurus pakaian orang lain, termasuk pakaian dalam orang. Ahh terserah.

Aku melihat pakaian yang Colla sodorkan. Gaun merumitkan yang menghias pita-pita kecil pada bagian pinggang dan bawah gaun, berwarna merah muda berpaduan putih pada bagian tengah gaun dan terkesan anak-anak. Aku tidak suka model norak seperti ini. Kepalaku menggeleng yang berarti menolak.

"Tidak," sahutku pada Colla.

Colla menjauhkan pakaian itu dariku. Lalu kembali mencoba mencocokkanku dengan pakaian yang lain. Kali ini dia menyodorkan gaun berwarna jingga berhiaskan motif buah labu. Di bagian ujung tangan, bawah gaun, dan leher terdapat garis hitam yang terlihat padu dengan jingga. Namun aku rasa jingga tidak terlihat cocok untukku. Meskipun hari Halloween terlihat mendominasi dengan jingga, aku lebih suka warna yang lebih gelap.

"Rrr .. tidak," sahutku lagi dengan gelengan singkat.

Colla melakukan hal yang sama lagi, menjauhkan pakaian yang aku tolak dan menyodorkan satu pakaian yang belum aku lihat. Merah muda lagi? Yang benar saja.

"Mm .. apa tak ada warna yang lebih gelap? Aku tidak terlalu menyukai warna yang terlalu terang. Itu membuatku silau," kataku.

Tidak salah kan sebagai seorang tamu di sini harus mendapatkan pelayanan yang baik? Aku tidak bermaksud sok berkuasa dan memerintah. Hanya saja keluhanku pada warna terang seperti merah muda membuatku jengkel. Walapun rambutku berwarna pirang terang, bukan berarti aku menyukai warna terang.

"Hmm." Colla tampak berpikir sebentar. Kemudian melangkah jauh ke lemari yang berbeda.

Ruangan ini terdapat sekitar delapan sampai sepuluh lemari besar, satu tempat tidur, dan meja yang di atasnya terdapat satu alat penjahit dan beberapa gulungan kain. Sepertinya dia memang membuatkan baju untuk Raja Hallow. Aku mengingat baju Hallow saat dia masuk ke dalam kamarnya dan memelukku. Pakaiannya terlihat bagus, cocok, dan berkelas. Aku jadi sedikit penasaran dengan Colla. Bagaimana awal dia bisa membuat baju untuk orang bangsawan.

"Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" tanyaku.

Colla muncul dari balik pintu lemari. Melihatku sebentar lalu kembali mengobrak-abrik pakaian yang ada di lemari tersebut.

"Sejak Raja Hallow berusia 6 tahun, saya sudah bekerja di sini sebagai desainer pribadi Raja Darhan dan Ratu Ween," jawab Colla sambil menutup dua daun pintu lemari dan kembali menghampiriku sambil membawa satu potong baju berwarna hitam. "Bagaimana dengan yang ini, Nona?"

Hm, artinya, sudah 10 tahun dia bekerja di sini. Lumayan lama juga. Aku melihat pakaian yang Colla sodorkan. Gaun itu berwarna hitam, berwarna putih pada bagian leher sampai setengah dada dan sekeliling baju pada bagian ujung atasan, memakai dasi pita hitam, dan bagian ujung bawah gaun juga dikelilingi warna putih. Lumayan.

"Yang ini saja."

"Baiklah, Nona. Ikut saya ke depan cermin sana. Saya akan membantu Anda berpakaian."

Aku hanya manggut-manggut saja. Berjalan mengikutinya menuju depan cermin besar yang membentuk persegi panjang. Di setiap sisi cermin terdapat lilitan rumit yang sepertinya terbuat dari emas. Aku bukannya fokus pada emas itu, melainkan membelalak melihat bayanganku sendiri. Semuanya ... terlihat di depan mataku. Aku melihat diriku sendiri.

Rambut pirang lurus melebihkan punggung, warna mata biru gelap seperti yang Hallow katakan, dan wajahku ... cantik.

Inikah sebenarnya diriku?

🎃

Angin menghebus lembut. Mengibarkan baju hitam yang aku kenakan dan rambut pirangku juga ikut menari mengikuti gerakan angin menuju. Kedua tanganku yang tertutup oleh sarung tangan putih memegang penghalang balkon dari besi yang dingin seperti es. Mata biru gelapku memandang semua halaman istana. Dari atas sini, di salah satu balkon istana, aku berdiri tanpa melakukan apapun.

Sesuai keinginanku setelah mengganti pakaian, Colla mengantarkanku ke salah satu balkon untuk mencari udara segar. Tidak, bukan itu tujuanku. Merenung? Bisa saja. Tapi sepertinya bukan. Aku hanya memikirkan banyak kejadian yang menimpaku sampai aku bisa berada di sini.

Dari awal aku bertemu dengan Hallow, melamarku tiba-tiba, masuk ke dalam kereta labu, bertemu dengan dua penjaga gerbang istana yaitu Beethov dan Greethov, Hella yang suka mencerocos, dan Colla yang pendiam dan datar-datar saja.

"Orang-orang yang unik," ucapku.

Aku meletakkan lengan kiriku ke tiang balkon dan lengan kananku menopang dagu. Mulai bosan, aku memutuskan bersenandung saja.

"Na .. na na .. na .. na .. na ....., na .. na na .. na .. na .. na ....., na .. na na .. na .... na na na .. na ...." Aku menjeda laguku sebentar, mengambil napas baru dan melanjutkan senandung. "Na .. na na .. na ... na .. na ....."

Lagu yang aku senandungkan tadi berjudul Happy Birthday To You, sebuah lagu singkat yang biasa dinyanyikan ketika ada acara ulang tahun maupun tanpa acara meriah pun aku bisa menyanyikan lagu itu untuk diriku sendiri. Aku tak mengharapkan ada yang membuatkanku acara ulang tahun, hanya saja aku ingin membahagiakan diriku sendiri pada hari kelahiranku, tepatnya tanggal 31 Oktober ini. Meskipun hanya aku saja yang berbahagia pada hari spesialku dan hari Halloweenku sendiri yang terbilang miris.

Aku dilahirkan dari rahim Ibuku. Dia membesarku sampai aku bisa berdiri sendiri, membaca, menulis, menyekolahkanku agar menjadi pandai, walaupun Ibu membenciku karena aku tidak punya kekuatan sihir seperti anak-anak penyihir pada umumnya, menurutku dia masih sayang padaku. Soal Ayah, dari aku dilahirkan, dia sama sekali tidak menerimaku ada di dunia ini. Bagi Ayah, aku hanyalah beban. Maka dari itu, Ayah mengusirku. Adikku yang awalnya baik padaku juga ikut membenci diriku lantaran mendukung semua yang Ayah lakukan padaku. Sedangkan Ibu, dia hanya diam.

Tepat hari ulang tahunku, aku mengangkat kaki dari rumah tanpa membawa apa-apa. Hanya pakaian dan sendal yang kukenakan. Dan kini, aku berada di istana Mixolydian, kerajaan terhormat yang memimpin kota Mejiktorn. Menggunakan gaun baru dan alas kaki baru berupa sepatu polos hitam tanpa tali.

Semua orang di kota membenciku lantaran tak memiliki kekuatan sihir. Namun, kenapa Hallow tidak membenciku? Harusnya dia lebih membenciku dari orang-orang yang pernah menindasku. Bukannya melamarku dan mengajakku ke istana megahnya. Aku tak percaya. Mungkin ini sekadar mimpi yang panjang, bagaimana caranya aku bangun dari mimpi ini? Tapi jika ini nyata, apa yang harus aku lakukan sekarang?

"Kau menyenandungkan lagu itu untuk siapa?"

Suara Hallow yang tiba-tiba membuatku kaget setengah mati. "Rupanya kau di sini. Suaramu yang merdu membuatku bisa menemukanmu. Selain bersenandung, apa kau bisa bernyanyi juga?"

Aku membalikkan badan melihat Hallow Mixolydian telah ada di depanku dengan jarak yang masih cukup jauh beberapa langkah. Dia telah bangun dari tidur mendadaknya.

Apa apaan dia? Kenapa dia juga ikut memakai baju hitam, bergaris putih pada bagian ujung kedua tangan, leher, dan ujung kedua celana, sama sepertiku. Aku jengkel melihat bajunya. Dia mencocokkanku dengannya melalui warna baju.

"Hei, kenapa kau memakai warna baju yang sama denganku? Bukankah kau tadi memakai baju berwarna jingga?" interogasiku menunjuk baju yang Hallow kenakan.

Hallow mengamati baju yang dia pakai sebentar, lalu kembali melihatku.

"Oh, Colla tiba-tiba menyarankanku memakai pakaian gelap karena kau memilih pakaian gelap dibandingkan warna terang seperti jingga atau merah muda. Jadi aku terima saja. Lagi pula warna gelap juga bagus. Boleh juga," jawab Hallow lalu menarik kedua kerah jasnya dan berjalan menghampiriku, menyentuh sebelah pipiku. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau menyenandungkan lagu itu untuk siapa?"

"Haruskah aku menjawab? Lagian, kenapa kau suka sekali menyentuh wajahku?" tanyaku balik dengan kesal.

"Karena aku ingin!" jawab Hallow terdengar seperti membentak. "Kalau kau risih oleh perlakuanku padamu, katakan saja! Aku takkan marah padamu!"

Tidak marah apanya? Jelas-jelas dia bicara dengan nada yang tidak enak didengar. Membentak seakan sedang memarahiku. Gawat, aku telah membuatnya kesal.

"Ma-maafkan aku!" kataku mulai takut, otomatis kakiku melangkah mundur. Dia tampak terkejut mendengarku meminta maaf padanya. "A-aku tidak akan bertanya apa-apa lagi! Peace!"

Aku benar-benar takut jika melihat Raja Hallow marah. Dia jadi terlihat seperti iblis yang tengah menagih hutang. Rasanya aku ingin kabur saja dari sini. Melihatnya mendekat ke arahku lagi, jika saja dia bukan Raja aku pasti sudah mendorongnya jatuh dari balkon. Tunggu, itu terlalu jahat.

"Sudah aku bilang, aku tak marah padamu," kata Hallow kembali dengan nada yang tenang dan lembut. "Jika aku sering menyentuh wajahmu, sudah jelas kan apa jawabanku?"

"Karena kau ingin, kan?" balasku cepat mengulang jawabannya.

Lantas Hallow tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku. Aku yang bego atau memang tidak paham sama sekali hanya menatapnya dengan tanya.

Kenapa dia tertawa? Tawanya bahkan keras dan panjang sekali, seolah sudah beberapa tahun lamanya tidak tertawa. Dia menyeka air matanya lantaran terlalu banyak tertawa. Setelah berhasil menetralisir, dia menepuk kedua bahuku.

"Tentu saja, tapi jawaban itu sebenarnya kurang tepat, Mocca."

🎃TO BE CONTINUE ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top