Chapter 45 : Phrygian

Author's PoV

"Ayah! Kenapa Ayah melarangku pergi keluar? Salahku apa, Yah?"

Di istana kerajaan Phrygian, di mana seorang Pangeran menginginkan kebebasan pada hari Minggu setelah setiap hari pergi ke sekolah untuk membantu kerajaan Mixolydian menyelesaikan perang dengan kerajaan Ferlendian. Meski akhirnya tak ada yang dapat ia bantu bersama kerajaan Daimeldian, karena Raja Mixolydian sendiri yang membantas Ratu Ferlendian. Mendengar kabar dari Raja Mixolydian kalau Ratu Ferlendian sudah tiada, ia turut bersuka cita.

Ruangan yang luas, di mana singgasana Raja dan Ratu Phrygian terletak kokoh berkilaukan bangsawan, orang tua Pangeran Phrygian duduk penuh kehormatan di atas sana. Di bawah, Pangeran Phrygian, yakni Jeky Phrygian, berlutut hormat untuk orang tuanya.

Ratu Deola Phrygian tersenyum lembut. "Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa, Jeky. Nah, Ibu mau bertanya. Bagaimana hubunganmu dengan Putri Belza? Dan, kami mendapat kabar kalau kau dan Putri Belza memutuskan bersekolah di kota Mejiktorn."

"Hubunganku dengan Belza baik-baik saja, Bu. Itu benar, aku dan Belza masuk ke sebuah sekolah untuk suatu alasan. Tapi, sepertinya alasan itu sudah dituntaskan dengan mudahnya oleh Hallow. Ingat dengan ceritaku? Hallow mendapat pernyataan perang dari Ratu Ferlendian. Aku dan Belza ingin membantu membuat Ratu Ferlendian itu menyesali perbuatannya. Tapi, Hallow sudah langsung menghabisinya."

Raja Tentoi Phrygian mengerutkan dahi. "Jeky, kau tahu Hallow itu sudah menjadi Raja, kan? Sebut dia Raja Mixolydian!" tegur Raja Phrygian, membuat Jeky merengut.

"Ayah! Aku ingin keluar dari sini! Prajurit-prajurit itu menghalangi jalan keluarku, Ayah!" Jeky berhenti berlutut menatap kedua orang tuanya. "Bu! Bantu Jeky, dong! Jeky baru saja mengingat sesuatu yang penting!!"

Raja Tentoi mendengus. "Kau ingin menemui Putri Daimeldian? Besok saja kalau kau ingin bertemu dengannya. Hari Minggu khusus untukmu beristirahat di dalam istana seharian penuh."

Ratu Deola tetap mengembangkan senyuman hangat. "Dengarkan saja apa kata-kata Ayah, sayang."

"Ahh, Ibu! Hari ini, kan, Hall--maksudku Raja Mixolydian ulang tahun yang ke-17! Aku ingin ke sana untuk memberinya selamat! Dan... ingin mendapat makanan enak."

Seketika Raja dan Ratu Phrygian terkejut. Mereka baru ingat hari ulang tahun Raja Mixolydian adalah hari ini. Mereka mendadak berdiri dari singgasana masing-masing.

"Se-sebaiknya kita kirimkan Raja Mixolydian beberapa hadiah! Oh, jangan lupakan kalau dia sudah punya calon Ratu. Berikan juga hadiah untuk calon Ratunya. Prajurit!" ucap Raja Tentoi lantang memanggil beberapa prajuritnya.

"Laksanakan, Yang Mulia!" balas beberapa prajurit itu berlutut hormat, membuat Jeky harus melangkah mundur dari mereka.

Jeky mengembangkan senyum.

"Kalau begitu, aku boleh keluar dari istana, kan?"

Raja Tentoi melototkan matanya ke arah Jeky.

"TIDAK. Kau tetap di istana, Jeky. Mereka yang akan ke sana untuk mengantarkan hadiah dari kita."

Jeky mendudukkan dirinya di lantai dan merengek seperti anak kecil yang meminta sebuah mainan.

"AYAH KEJAM!!!"

Di tempat lain, di mana seorang Putri dari kerajaan Daimeldian menarik napas panjang sampainya kereta kudanya berada di depan sebuah istana milik kerajaan Phrygian yang sudah lama tidak ia kunjungi karena sering sibuk di sekolah.

Sebelumnya, ia sudah mengunjungi istana kerajaan Mixolydian untuk menghadiri acara ulang tahun Raja Mixolydian yang paling manis dibandingkan ulang tahun sebelumnya. Ia bersyukur ada seorang gadis yang dapat melelehkan hati dari Raja es, sehingga ia bisa melihat Raja Mixolydian kembali tersenyum dan bersikap bersahabat maupun itu dengan pelayannya.

Ia merindukan istana bercat merah ini. Istana kerajaan Phrygian yang tidak kalah tinggi dan megahnya dengan istananya dan istana kerajaan Mixolydian. Dan yang lebih diinginkannya sekarang adalah menemui orang yang selalu ia pikirkan setiap saat.

"Tuan Putri Belza Daimeldian," kata dua prajurit penjaga gerbang istana Phrygian sambil berlutut hormat untuk Belza.

"Bangkitlah. Apa Pangeran Jeky Phrygian ada di dalam?" tanya Belza dengan lembut kepada kedua prajurit itu.

Kedua prajurit itu selalu terpana dengan gaya bicara Belza yang sangat lembut dan menenangkan siapa saja yang mendengarkan. Mereka berdua bangkit dari lututan dan salah satu dari mereka menjawab pertanyaan Belza.

"Pangeran Jeky Phrygian ada di dalam istana, Putri. Anda bisa menemui Pangeran," kata prajurit itu memberitahukan.

"Seharian ini, Pangeran selalu saja mengamuk di dalam istana. Entah karena apa. Dan yang bisa membuat Pangeran tenang hanya Anda, Putri," cerocos prajurit yang satunya. "Untunglah Putri datang ke sini. Jika tidak--"

"Hei! Cukup! Kau terlalu banyak bicara!" bisik prajurit di sebelahnya seraya menyikut prajurit itu. Lalu ia membungkuk kepada Belza. "Maafkan kami, Putri."

Belza tertawa lembut. "Tak apa. Kau benar, Jeky itu berisik jika suasana hatinya sedang tidak baik. Aku akan menemuinya segera. Terima kasih."

"Sama-sama, Tuan Putri." Kedua prajurit itu membungkuk untuk yang kesekian kalinya lalu melihat punggung Belza menjauh memasuki lingkungan istana Phrygian.

Satu lorong luar istana telah Belza masuki. Ia berjalan tenang tanpa terburu-buru mencari keberadaan Pangeran Jeky. Dan saat ia akan berbelok ke lorong yang lain, ia melihat seorang lelaki berpakaian ala kerajaan pangeran tengah duduk meringkuk di pojok lorong. Ia memandang aneh lelaki itu.

Segera saja ia berjalan menghampiri lelaki berambut kuning keemasan itu tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Langkah kaki sepatu haknya juga agak dikurangkan agar tidak ketahuan. Sampainya di depan lelaki itu, Belza menahan tawanya seraya berpikir apa yang bisa membuat lelaki itu terkejut dan kembali ceria. Sebuah ide terlintas di pikirannya. Ia mengarahkan diri ke hamparan langit di atas. Lalu mengangkat kedua tangan ke atas.

"Hei kalian, ke sinilah." Suara kecil Belza keluar dari mulutnya.

Tidak lama kemudian, kejadian yang ditunggu-tunggu Belza telah tiba. Lima burung pipit yang manis dan lucu terbang menghinggapinya. Salah satu burung pipit mendarat di jari telunjuknya.

"Hai, teman-teman. Kalian mau membantuku mengganggunya?" tanya Belza kepada lima burung pipit yang ia panggil.

Burung-burung pipit itu segera menghinggapi Jeky. Setiap burung bertengger di tempat yang berbeda. Ada yang di kaki, tangan, kepala, dan kedua bahu. Belza mengangguk kepada mereka, bermaksud menyuruh mereka mulai mengganggu Jeky dengan cara mematuknya. Burung-burung itu pun segera mematuki Jeky. Belza tersenyum lebar melihat Jeky diganggu oleh burung-burungnya.

Beberapa saat kemudian, Jeky menggerakkan diri. Ia merasa risih karena ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk kepalanya. Juga kedua bahu, tangan, dan kakinya terasa ada yang menempel. Jeky berhenti meringkuk dan melihat burung-burung pipit bertengger manis di tempat yang ia rasakan. Termasuk puncak kepala. Kebingungan dari adanya burung-burung di sekitarnya, menjadi sirna begitu saja setelah menyadari
kehadiran bidadarinya telah ada di hadapan matanya.

"Kapan kau datang?"

Begitulah pertanyaan itu terlantun di mulut Jeky yang tadi sempat ternganga melihat Belza.

Belza tertawa kecil. Ia segera menyuruh burung-burung pipit itu terbang menghampirinya. Burung-burung pipit itu pun terbang menjauh dari Jeky dan bertengger di lengan kanan Belza.

"Sejak tadi," jawab Belza, lalu ia mengangkat lebih tinggi lagi tangan kanannya, membuat burung-burung itu terbang pergi menjauh ke atas langit. "Oh iya, aku tidak melihatmu di istana Mixolydian. Kau tidak datang ke sana untuk merayakan ulang tahun Raja Hallow?"

Jeky langsung merengut melunturkan senyumannya yang tadi terkembang karena kehadiran Belza. "Ini gara-gara Ayah! Dia tidak memperbolehkanku keluar dari istana. Kata Ayah, untuk tanggal merah ini, aku harus istirahat saja. Ayah kenapa, sih, tidak memperbolehkanku keluar? Buat kesal saja!"

"Pantas saja." Belza berjalan mendekati Jeky yang masih duduk memeluk lutut.

"Apanya yang pantas saja? Apa yang sudah tadi kau dengar?" tanya Jeky menyipitkan matanya curiga.

"Tidak ada."

"Lalu, ada keperluan apa kau ke sini?"

"Haruskah ada keperluan kalau ingin ke sini?"

Jeky melihat Belza, kemudian mengalihkan pandangan. "Aku ingin sendirian."

Belza menundukkan dirinya mendekatkan diri. "Hanya karena kau tidak diizinkan keluar dari istana, kau marah kepada Rajamu sendiri? Lalu, kau ingin sendirian, ya? Maafkan aku sudah mengganggu acara sendirianmu. Aku ke sini sebetulnya ada tujuannya."

Jeky penasaran apa tujuan Belza datang ke istananya. Ketika matanya kembali ingin menatap Belza, rasa penasarannya berganti dengan rasa senang yang mendebarkan jantungnya melihat wajah Belza benar-benar telah melenyapkan jarak. Ia bisa merasakan dahinya tersentuh dengan dahi milik Belza. Napas Belza yang berhembus tenang seakan menjadi alasan ia bisa hidup sampai sekarang.

"Jeky, aku merindukanmu."

Rasa bersalah menggelayuti Jeky begitu saja. Mengingat dirinya ingin sendirian, itu artinya sama saja ia tidak menerima semua orang, termasuk kekasihnya sendiri. Di dalam hati, ia menyebut dirinya bodoh berkat kecerobohannya sendiri.

"Belza."

Belza membuka matanya yang sengaja ia pejam. "Ya? Ada yang ingin kau katakan?"

Mereka terdiam untuk sementara. Dua pasang mata yang saling menatap seolah dapat menghentikan waktu yang selalu berjalan cepat. Menikmati kedekatan mereka sampai-sampai jarak di antara mereka nyaris lenyap. Membawa mereka ke dalam kebersamaan yang saling mengisi satu sama lain.

"Indahnya hadiah dari Tuhan."

Lantas Belza tertawa mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Jeky. Ia menjauhkan wajah dan kembali berdiri dari bungkukan. Sebenarnya, tangan kirinya selalu ia sembunyikan di belakang. Ada sesuatu yang ia bawa untuk Jeky. Bisa dibilang, seperti kejutan kecil. Ia mengeluarkan kejutan itu di hadapan Jeky. Sebuah kotak berbungkuskan kain biru.

"Walaupun teman bermainnya tidak datang di acara ulang tahunnya, dia tidak akan pernah lupa dengan teman bermainnya itu. Begitulah namanya teman yang sesungguhnya."

Jeky tersenyum lebar. Ia juga ikut berdiri menghadap barang yang Belza bawa untuknya. Matanya berbinar dan menebak-nebak apa isi kotak itu dari Raja Mixolydian.

"Beritahu aku apa isinya, Belza!" kata Jeky tidak sabaran.

"Isinya adalah... KUE!" jawab Belza membuat Jeky yang mendengarnya semakin kegirangan. "Ambillah, dari Raja Hallow."

Jeky menerima kotak itu dengan senang hati. "Kau sudah menyicip kue ulang tahunnya?"

Belza mengangguk. "Sudah. Tinggal kau saja yang belum merasakan kuenya. Enak, lho!"

"Whaha, senangnya!" Jeky mengecup dahi Belza. "Terima kasih sudah mau mengantarkannya untukku."

Belza seketika terdiam. Hanya kecupan di dahi dari Jeky, rasa senang bercampur malu tercampur menjadi satu. Ia memegang sebelah pipinya yang merah, mengibas-ngibas rambut panjangnya beberapa kali untuk menghilangkan gerah yang tiba-tiba menyerang, dan tertawa tidak jelas.

"Mhehe, sama-sama. Y-ya sudah, makan saja kuenya. Aku akan segera kembali ke istanaku."

Baru ingin melangkah pergi, tangan Jeky menangkap tangan Belza. Menahan Belza pergi dari istananya. Belza menoleh bersamaan angin berembus melewati mereka. Jeky sudah lebih dulu menatap Belza dalam diam.

Sekali lagi, waktu seperti menghentikan mereka untuk bersama lebih lama lagi.

"Kok pulang? Tidak mau berlama-lama bersamaku?" Jeky menyentuh wajah Belza. "Dan kau harus tahu, bahwa istanaku adalah istanamu. Itu artinya, ini juga rumahmu. Mau kugendong?"

"H-hei! Tunggu dulu!"

Belza langsung panik sampainya ia ada di gendongan ala tuan putri. Meskipun ia sudah sering digendong Jeky, karena sebelumnya mereka lebih bersenang-senang di hutan untuk berburu dan Belza sering berinteraksi dengan binatang yang ada di hutan, disaat melihat gaya jalan Belza yang tampak berbeda, Jeky akan langsung menggendong Belza karena ia tahu berjam-jam berdiri bagi perempuan itu pasti rasanya melelahkan. Jeky tidak mungkin membiarkan Belza kecapekan.

Tapi, sekarang kaki Belza sedang tidak terasa pegal.

Ah, biarlah. Menghabiskan waktu bersama jauh lebih berharga, karena mereka tahu waktu tidak dapat dihentikan apalagi dikendalikan. Biar pun ada sihir waktu, tak selamanya waktu dapat dihentikan begitu saja. Cukup dengan saling mengisi satu sama lain, maka waktu tidak akan begitu terasa berlalu.

Di sisi lain, di ruang singgasana Raja dan Ratu Phrygian, seorang prajurit dari luar istana masuk ke dalam dengan langkah sedikit terburu-buru menuju ke depan tangga singgasana untuk berlutut dan menyampaikan sesuatu.

"Yang Mulia! Komplotan vampir dari kerajaan Ferlendian menyerang kota Phrygistorn! Korban kematian semakin meningkat! Jika dibiarkan, kota Phyrgistorn bisa hancur!"

Kota Phrygistorn adalah sebuah kota makmur yang dipimpin oleh kerajaan Phrygian.

Raja dan Ratu Phrygian lantas terkejut dan berdiri dari kursi merah mereka. Kabar itu benar-benar menggemparkan kedua bangsawan tersebut. Raja mengeluarkan pedang agung dari sarungnya.

"Perintahkan semua pasukan untuk membersihkan kota Phrygistorn dari vampir-vampir itu! Hh... sudah 2 tahun berlalu sejak Ratu Mona mengajak semua kerajaan berperang melawan kerajaannya, apa sampai sekarang dia masih belum puas sudah membuat banyak orang yang tak bersalah mati sia-sia?" titah Raja Tentoi seraya menggerutu mengingat masa lalu.

"Tapi, bukankah kita pernah dapat kabar kalau Ratu Mona Ferlendian sudah meninggal?" kata Ratu Deola memastikan sambil memegang pundak suaminya itu.

Raja Tentoi memegang tangan Ratunya yang ia rasakan dingin dan bergetar. Ia menggenggam tangan istrinya itu agar tetap tenang.

"Ratu Mona memang sudah meninggal. Tapi, itu tidak akan terjadi jika ada orang yang menginginkan Ratu Mona tetap hidup."

🎃 TO BE CONTINUE ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top