Chapter 42 : Kejutan
Author's PoV
Lof telah sampai di kota Mejiktorn berada. Lebih tepatnya, ia sudah memasuki kawasan pasar yang ramai mengadakan jual-beli sebagai rutinitas dalam bernegosiasi.
Ia juga sebagai seorang pembeli, berhak menawar barang yang menurutnya terlalu mahal. Tapi, ia ke pasar hanya ingin membeli beberapa kilo tepung untuk membuat kue. Di temani Chino dengan menaiki kuda putih dari istana yang bisa dipakai untuk ke kota. Ai menyuruh Chino menjaga Lof, maka tentu saja Chino menyetujui suruhan wajib itu.
"Kita hanya membeli beberapa tepung. Kenapa kau ikut?" tanya Lof merasa terganggu dengan keberadaan Chino selalu mengikutinya.
"Menjagamu," jawab Chino singkat.
Lof memutar kedua bola mata masa bodoh, segera ia melangkah ke tempat di mana ia bisa mendapatkan tepung yang berkualitas.
"Bibi!!! Lima tepung!!!!" Teriakan Lof memesan tepung mengundang Chino menutup kedua gendang telinganya.
"Ah, Lof? Sudah lama Bibi tidak melihatmu ke sini. Tunggu sebentar, ya!" Pemilik warung itu kembali masuk ke dalam dan tak lama ia keluar membawa pesanan yang Lof teriakkan.
"Terima kasih, Bi! Ini koin peraknya!" Lof memberikan lima koin perak seharga tepung itu kepada Bibi tersebut.
"Sama-sama, sayang! Kembali lagi ke sini, ya!!!" Bibi itu melambaikan tangannya kepada Lof dan Chino yang kemudian dibalas dengan lambaian tangan Chino.
"Pasar itu berisik, ya!" ucap Chino masih melambaikan tangan kepada Bibi penjual tepung itu.
"Begitulah," sahut Lof seadanya. "Kita kembali ke istana sekarang."
Lof mengeratkan jubah coklat yang menutupi kepala dan tubuhnya. Chino mempercepat langkahnya untuk menyamakan langkahnya dengan Lof. Sampainya di mana kuda putih satu-satunya sedang makan rumput, yaitu di penitipan kuda, Chino mengambil kuda itu sementara Lof berterima kasih dan memberikan dua koin perak kepada penjaga kuda.
Mata beriris hitam Lof yang tajam dan peka terhadap sekitar, merasakan akan ada deteksi bahaya yang mengancam. Kepalanya cepat menoleh dan mendapati sebuah panah berlumuran sihir hitam sebentar lagi akan menancap tepat di jantung Chino. Lof berlari ke arah Chino untuk menyuruh Chino menghindar. Lebih tepatnya ia malah melindungi Chino dengan tubuhnya tanpa berpikir akan menggunakan sihir perisai.
Tapi, panah itu tidak jadi menancap kepada Lof. Panah itu terbakar seketika di depan mata Lof.
Lof menoleh ke arah Chino. Sekarang ia tahu, panah itu telah dibakar oleh sihir Chino. Sihir khusus yang mendalami api. Dengan hanya sekali tatap, Chino berhasil mengenyahkan panah itu.
Lof menghela napas lega. "Hampir saja aku mati."
Chino tersenyum. "Ada aku yang melindungimu."
Lof seketika melotot.
"Dasar! Suka-sukanya kau pura-pura tidak merasakan keberadaan panah itu!" hentak Lof sambil menekan jarinya ke dada Chino.
"Aku merasakannya, kok!" Chino tanpa merasa bersalah masih bisa tersenyum manis.
Lof geram. Berurusan dengan laki-laki hanya membuang-buang waktunya saja. Seharusnya ia buru-buru karena dikejar waktu.
Tapi, bukankah itu panah hitam dari Nenek Sihir? Apa dia tidak takut lagi dengan keramaian kota? Haruskah aku melaporkan ini kepada Raja? batin Lof cemas.
Chino naik ke atas kuda. Kemudian Lof duduk di belakang Chino. Kuda pun berada dibawah kendali Chino. Sepanjang perjalanan, Lof merenung mengingat panah hitam itu. Panah itu bukan sekedar panah biasa. Bisa diartikan, panah itu membawa kutukan dari mantra yang Nenek Sihir berikan. Mendengar kata 'Nenek Sihir' saja itu sudah membuat Lof merinding.
Lof menggelengkan kepala. Satu masalah dulu yang harus segera ia tuntaskan terlebih dahulu, yaitu membuat kue.
"Chino! Kita balik ke pasar sekarang! Aku lupa untuk membeli lilinnya!! Arghh!!!"
Chino tertawa.
"Baik, Tuan Putri!"
Lof mendengus.
* * *
Suara dua pedang yang beradu sengit terdengar jelas di dalam ruangan kedap suara itu. Ruangan itu dikhususkan untuk melatih ketangkasan pedang.
Ada dua laki-laki maniak pedang, Hallow dan Reo sedang berlatih pedang di dalam sana.
Mocca yang merasa bosan terus-terusan menguap menonton mereka tak ada yang mau mengalah. Ia memilih beranjak dari duduknya melihat beberapa pedang yang diletakkan di tempat pedang itu dibaringkan empuk.
"Pedang yang itu cantik," puji Mocca melihat salah satu diantara pedang itu terlihat mengkilap di mata Mocca. "Boleh dipegang, tidak, ya?"
Mocca beralih ke Hallow dan Reo. Masih beradu pedang. Artinya, situasi aman. Sementara, ia dapat menyentuh pedang yang ia maksud.
Tangan Mocca mengarah ke pedang bergagang warna perak yang dililiti oleh bunga merah muda berkelopak lima tersebut. Hampir saja jarinya berhasil menyentuh pedang itu, situasinya yang aman mendadak sirna.
"Mau apa?"
Pertanyaan itu mampu membuat jantung Mocca nyaris copot.
Mocca menoleh dan mendapati Hallow menatapnya menyelidik. Mocca nyengir.
"Hehehehehe." Mocca terkekeh hambar.
"Sudah aku katakan, bukan? Tidak boleh pegang pedang yang ada di sini tanpa seizinku," kata Hallow mengulang peraturan yang harus Mocca patuhi di dalam ruangan itu.
Mocca merengut. "Harus minta izin, ya?"
"Dan juga harus dengan pengawasan dari orang yang berpengalaman," timpal Hallow sambil mengangkat pedangnya, menyuruh Mocca mengambil pedangnya.
Mocca menggeleng menolak pedang milik Hallow. Ia menunjuk pedang yang ia incar.
"Aku mau pegang yang itu. Boleh?"
Hallow mengarahkan matanya melihat pedang yang ditunjuk Mocca. Ia tersenyum tipis dan kembali melihat Mocca.
"Ambillah."
Mocca tersenyum senang. Perlahan, ia menyentuh gagang pedang itu. Seakan-akan bisa rapuh jika tidak dengan lembut, Mocca mengangkat pedang itu, membawa ke dalam genggamannya.
"Hm, ringan. Ini pedang, kan?"
Hallow tersenyum miris. "Terus apa kalau bukan pedang?"
"Aku cuma bertanya. Pedang ini cantik sekali. Aku tidak yakin kalau pedang ini milikmu."
"Pedang itu memang bukan milikku. Itu pedang milik Ibuku. Pedang ini punya nama. Namanya pedang Merah."
Eh? Ibunya?! Mocca terkejut.
"Kalau pedang yang aku pakai ini pedang milik Ayahku. Suatu hari, pedang itu akan menjadi milikmu seutuhnya. Kau bisa bermain pedang?" imbuh Hallow.
Mocca ingin meletakkan pedang yang digenggamnya kembali ke dalam baringan. Ia merasa lancang sudah menyentuh barang milik Ibunya Hallow.
"Maaf, aku rasa pedang ini harus lepas dari tanganku," kata Mocca segera meletakkan kembali pedang itu ke asalnya.
Tapi, tangan Mocca terhalang oleh pegangan Hallow.
"Kenapa? Tidak apa-apa. Aku yakin Ibuku tidak akan keberatan kalau kau yang memegang pedang miliknya. Apalagi kau akan menjadi ratuku," tanya Hallow.
"Aku kira kau merasa tidak enak saat pedang Ibumu kusentuh, karena pasti kau mengingat sosok Ibumu memegang pedang ini. Dan, aku telah lancang," kata Mocca.
"Kata 'lancang' tak lagi berlaku padamu, Mocca. Dan, aku memang selalu mengingat Ibuku. Tapi, aku tidak sedih seperti dulu. Artinya, aku sudah tenang karena kau bersamaku."
Mocca mendengarkan semua yang Hallow katakan padanya. Mendengar kata 'tenang' dari mulut Hallow, Mocca percaya kalau Hallow tidak bersedih mengenai Ibu Hallow yang sudah meninggal. Telah mengerti, ia tidak jadi meletakkan pedang itu.
"Baiklah." Mocca tidak melihat ke arah Hallow, masih terpaku pada pesona pedang berlilit bunga itu.
"Kau bisa bermain pedang?" tanya Hallow untuk yang kedua kalinya.
Mocca menggeleng.
"Mau aku ajari sekarang?"
Mocca sedikit berpikir. Kalau ia bisa bermain pedang, apa ia bisa melindungi dirinya sendiri saat tidak ada penjaga di sampingnya? Bahkan dapat melindungi orang lain? Terlihat keren.
"Setidaknya aku tidak akan menguap sepanjang hari." Mocca menyetujui dirinya akan diajari berpedang.
"Oke, pertama kau harus tahu bagaimana cara memegang pedang yang benar. Jangan asal memegang. Lihat bagaimana tanganku memegang gagang pedangnya."
Mocca mengamati tangan Hallow memegang pedang sambil mengikuti tangan Hallow.
"Akan kucoba. Argh, susah! Tanganku sakit!"
Hallow tertawa.
"Kau ini cepat menyerah, ya! Baru saja dimulai cara memegang pedang yang benar, kau sudah mengeluh saja."
"Berisik! Bukannya membantu malah membuatku kesal! Tusuk pakai pedang baru tahu rasa!"
Hallow tertawa lagi. Tangannya sampai tidak kuat lagi mengangkat pedang. Mocca menggeleng tak habis pikir. Kadang, Hallow dengan mudah membuatnya kehabisan kesabaran. Tapi kalau sudah manis, hatinya dengan mudah menghangat seperti teh manis.
"Baik, baik ... akan aku buat kau menjadi seorang gadis berpedang yang tidak akan tertandingi oleh sekian banyak gadis berpedang di luar sana! Serahkan saja padaku!" Hallow sudah benar-benar berhenti tertawa.
"Banyak omong! Tanganku jadi pegal! Kapan aku bisa berpedang kalau begini caranya?" Mocca menurunkan pedangnya, tangannya memang terasa pegal.
"Sabar, ya!"
"Terlambat! Kesabaranku sudah habis!"
* * *
Reo melangkah sedikit lebih cepat ke ruang makan yang sudah banyak dihiasi oleh warna-warni.
"Greethov! Aku merasa tangga ini bergoyang! Kau benar-benar memegangkan tangganya, bukan?" tanya Beethov dari atas tangga untuk memasang lima balon berbeda warna di atas tepi atap ruangan itu.
"Iya," jawab Greethov dari bawah tangga sambil memegang tangga dari kayu itu.
Jika tidak ada peraturan tidak menggunakan sihir di istana untuk pelayan istana, mereka tidak akan menggunakan tangga itu sebagai bantuan menempelkan balon-balon di dinding dan bagian atas atap.
"Sudah selesai. Aku bisa terbebas dari tangga ini," kata Beethov seraya menuruni tangga dan berhasil turun dengan selamat. "Hampir saja nyawaku melayang."
"Greethov, Beethov, kalian sudah selesai mendekorasi?" tanya Reo sambil melihat sekitar ruangan.
"Selesai!" jawab Beethov mantap.
Greethov menambahkan dengan acungan jempol.
Oh iya, sepertinya Raja belum memberitahukan kepada Ratu kalau hari ini adalah ulang tahun Raja. Aku harap Raja sudah memberitahu Ratu, batin Reo penuh harap.
"Oh iya, di mana kuenya?" tanya Reo seraya mencari sosok kepala koki istana, Ai.
"Baru saja dipanggang. Sebentar lagi kuenya matang," jawab Ai dengan keringat bercucuran di dahi.
Reo yang melihat Ai terlalu berkeringat walaupun jarak mereka terbilang jauh, mengeluarkan sapu tangan yang masih bersih dari dalam kantung jasnya. Ia berjalan menghampiri Ai.
Ai bingung ada apa Reo mendatanginya. Tapi, saat Reo tiba-tiba saja mengelap keringat di dahinya dengan sapu tangan, ia membisu.
"Hati-hati dengan keringatmu," kata Reo selesai mengelap keringat Ai dan menyimpan sapu tangannya kembali ke dalam kantung jas.
Ai tahu peringatan itu. Keringatnya bisa saja menitik ke makanan saat sedang menyajikan makanan. Tapi masalah yang ia sesakkan, Reo mengelap keringatnya. Itu membuatnya malu.
Reo, bagimu, aku ini apa untukmu? Ai berjalan menjauh dari Reo menuju pintu keluar ruang makan, kembali ke dapur dengan alasan memeriksa kue yang tengah dipanggang di dalam oven.
🎃
"Apa?! Kenapa aku baru tahu? Kenapa Hallow tidak memberitahuku?"
Pertanyaan Mocca meluncur deras begitu saja setelah mendengarkan apa yang Hella katakan tentang hari ini juga alasan Hella membawa baju ganti untuk Mocca. Sebuah gaun cantik berwarna biru selesai dibuat Colla selama 4 jam.
Mereka berdua ada di kamar. Hallow berada di ruang kerjanya karena ada surat mendadak yang harus ia beri tanda tangannya.
"Sa-saya juga tidak tahu, Ratu. Saya pikir Anda sudah tahu hari ulang tahunnya Yang Mulia Raja," tunduk Hella.
Mocca menghela napas. Ia berpikir, Hallow sepertinya ingin memberitahunya. Dari sikap Hallow kemarin yang aneh dan piano yang ada di halaman belakang istana, itu sudah menunjukkan kalau Hallow tengah berusaha memberitahunya. Tapi pada akhirnya, ia tahu dari Hella bukannya Hallow.
"Tanggal berapa ini?" tanya Mocca.
"26 November, Ratu," jawab Hella.
"Ulang tahun yang keberapa?"
"Yang ke 17 tahun."
Mocca menerima gaun biru dari tangan Hella. Sebuah ide cemerlang ia dapatkan untuk membuat kejutan. Senyuman sinis itu telah menjadi buktinya.
Lihat saja, aku akan buat dia menangis di hadapan semuanya! batin Mocca seraya terkekeh kecil.
🎃 TO BE CONTINUE ...
Info : Pedang Merah milik mendiang Ratu Ween Mixolydian. Di dalam pedang tersebut tersimpan sisa kekuatan sihir Ratu Ween.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top