Chapter 41 : Alunan

Author's PoV

DOR!!

"Suara apa itu?"

Mocca bertanya-tanya setelah dirinya mendengar suara ledakan kecil yang tidak mengejutkannya, namun hatinya penasaran sebab adanya suara ledakan tersebut.

Mocca sempat berangan-angan dari alasan dari suara ledakan itu tercipta. Namun ia langsung menepis khayalan itu dengan beberapa kali gelengan.

"Tidak mungkin ada pistol di sini. Tapi, aku takut ada sesuatu yang sudah terjadi. Aku harus cari tahu," kata Mocca dengan lincah ia memasang dasi pita bajunya.

Mocca keluar dari ruang pakaian. Ia berjalan dengan was-was bila ada yang menyerangnya tiba-tiba. Meskipun tidak ada senjata, akan baiknya ia bisa gunakan tangan dan kaki untuk melawan sekuat tenaga.

Mocca melewati beberapa lorong istana yang panjang. Selagi berjalan, kakinya dipertemukan oleh sebuah benda lingkaran yang tidak terlalu membentuk lingkaran sempurna.

"Balon?"

Mocca mengambil benda yang ia sebut balon itu. Warna balon jingga. Ia kembali mencari tahu dan tetap membawa balon itu di dalam genggaman tangannya.

Berhenti di depan kamar Beethov dan Greethov yang pintunya terbuka lebar, Mocca mengintip isi kamar kedua pelayan tersebut. Matanya mendapati dua makhluk laki-laki tengah meniup balon yang belum diisi udara.

Buat apa semua balon yang mereka tiup ini? batin Mocca.

"Greethov, usahakan jangan pecah lagi. Ini yang ketiga kalinya kau memecahkan balonnya karena terlalu berlebihan memasukkan udara!" kata Beethov kepada kembarannya.

"Iyaaa," jawab Greethov dengan nada malas dan kembali meniup balonnya yang masih setengah terisi udara.

Karena penasaran, Mocca masuk ke dalam kamar mereka. Sebelum masuk, ia mengetok pintu, membuat Beethov dan Greethov mendadak berdiri dan memberi bungkukan hormat kepada Mocca.

"Yang Mulia Ratu menginginkan sesuatu?" tanya Greethov kepada Mocca.

"Sebenarnya tidak ada. Aku hanya ingin bertanya. Untuk apa semua balon-balon ini?" tanya Mocca balik seraya mengangkat balon jingga yang ia bawa dari luar tadi.

"Kami ingin membuat kejutan! Semua pelayan dan prajurit sudah sepakat membuat kejutan yang lebih meriah dibanding tahun yang lalu!" jawab Beethov riang.

"Kejutan? Untuk siapa?" tanya Mocca lagi.

"Ratu belum tahu?" tanya Greethov balik.

Mocca mengerutkan alis.

"Belum tahu apa?"

"Belum tahu kalau hari ini--"

"Yang Mulia Ratu di sini Anda rupanya. Yang Mulia Raja mencari Anda."

Suara Reo memotong kata-kata Greethov dan membuat Mocca menoleh ke arah pintu.

Mocca memutar kedua bola matanya.

"Yaa, kalian semua aneh. Kenapa aku disebut sebagai ratunya? Aku kan belum menikah dengannya," kata Mocca seraya melipat tangan di depan dada.

"Itu perintah dari Raja, Yang Mulia Ratu," jawab Reo dengan bungkukan.

"Hah? Ternyata dia yang membuat semuanya memanggilku Ratu. Kenapa dia tidak sabaran??" Mocca menggaruk-garuk kepalanya.

"Seharusnya Anda sudah menikah dengan Raja, Yang Mulia Ratu," balas Reo.

Mocca menatap enggan.

"Aku belum siap. Untung aku punya alasan untuk menghindari itu," lirih Mocca mengalihkan pandangan.

"Ratu, sebaiknya Anda bergerak cepat ke Yang Mulia Raja. Raja menunggu di halaman belakang istana," kata Reo.

"Baiklah." Mocca berjalan melewati Reo dan keluar dari kamar Beethov dan Greethov.

Sampainya di halaman belakang istana, Mocca bisa menghirup sejuknya pagi. Berkat tumbuh-tumbuhan yang hidup di sekitarnya, oksigen semakin sehat dihirup oleh semua makhluk hidup.

Minggu. Tidak ada hari untuk berangkat ke sekolah pada hari Minggu. Bahkan orang yang bekerja saja membutuhkan hari Minggu untuk berlibur. Istirahat sangat diperlukan untuk mengembalikan segala yang terkuras.

Mocca terkesiap melihat sebuah piano berdiri kokoh di tengah-tengah halaman belakang istana. Di depan piano itu, ada seorang laki-laki berpakaian kerajaan sedang duduk damai seraya kesepuluh jemarinya tidur di antara tuts-tuts piano.

"Indahnya," puji Mocca seraya kembali melangkahkan kaki mendekati piano dan sang pemain piano.

Laki-laki itu tersenyum mendapati sosok Mocca sudah ada di samping pianonya. Senyuman tergurat hangat di bibirnya.

"Hai," sapanya.

Mocca terkekeh.

"Hai juga," balas Mocca menyapa. "Hallow, kau ingin bermain piano? Di sini? Di luar?"

Hallow mengangguk.

"Iya."

Sekali lagi Mocca terkekeh.

"Kenapa tiba-tiba mau main piano?"

Hallow menggeser dirinya membuat tempat untuk satu orang lagi untuk duduk di sampingnya. Ia menepuk tempat duduk itu sambil melihat Mocca.

"Duduk sini. Akan aku jawab pertanyaanmu."

Mocca melesat duduk di samping Hallow. Ia sempat ternganga mendapati isi piano ada banyak tombol putih dan hitam yang tidak ia mengerti apa dan fungsinya sama sekali.

Hallow memegang tangan kanan Mocca. Ia mengarahkan tangan Mocca, tepat pada jari telunjuk Mocca ke salah satu tuts piano. Suara yang merdu tercipta saat jari Mocca menekan tuts putih itu.

"Ini namanya tuts piano. Tuts yang kau tekan ini namanya C atau bisa kita sebut Do," kata Hallow.

Mocca mengangguk-angguk mengerti. Ia mengarahkan jari kelingking ke tuts piano yang kelima.

"Kalau ini?" tanya Mocca.

"Itu nada G atau bisa kita sebut itu Sol," jawab Hallow.

Sekali lagi Mocca mengangguk mengerti. Ia tidak begitu mengerti alat musik, apalagi piano. Tidak ada ketertarikan pada dirinya untuk memahami lebih jauh mengenai tangga nada yang Hallow dapatkan dari hasil kegiatan ekskul musiknya selama ini.

"Aku mau main piano karena aku mau menunjukkan sejauh mana sudah aku bisa bermain musik," kata Hallow menjawab pertanyaan Mocca sebelumnya. "Mocca mau dengar?"

"Tentu saja mau!" jawab Mocca penuh semangat.

Hallow terkekeh. Jari-jari lentiknya bersiap di atas tuts-tuts piano. Mulailah ia menekan beberapa tuts sampai berikutnya, mulutnya juga ikut bersuara tak kalah merdu, membuat Mocca memejamkan mata karena begitu nikmat musik yang Hallow persembahkan padanya.

Kegelapan mengikutiku
Kehampaan mengepung dan mengutukku
Di dalam laut penuh pilu

Namun, cahaya dari manakah itu?
Bila sinarnya, sentuh wajahku
Kehangatan menyambutku

Tangan halusmu menggapai wajahku
Mengusir kegelapan masa lalu
Membawa hangatnya keberadaanmu
Hanya kau, yang berhasil mengubah duniaku

Dan ternyata, aku sedang jatuh cinta padamu
Cahayamu telah menghangatkan hatiku
Hingga akhirnya, kau membalas cintaku
Ratuku.

Selesailah lagu itu dengan sentuhan akhir permainan piano yang ditutup dengan kerumitan dalam menumpahkannya. Namun, ekspresi Hallow damai. Tidak ada keresahan di sana.

Tepuk tangan dari Mocca terdengar meriah selesai Hallow memainkan musik dan lagunya. Ada perasaan haru pada lirik lagu yang ia dengarkan. Ia merasakan lagu itu hanya dibuat khusus untuknya. Terasa spesial, ada keinginan di matanya menumpahkan air mata. Tapi, ia menahan rasa itu dengan bertepuk tangan dan tersenyum.

"Keren!!!" puji Mocca tidak henti-hentinya bertepuk tangan.

"Hehe, terima kasih. Lagunya aku yang menciptakannya sendiri. Judulnya Ratuku," kata Hallow. "Di ekskul musik, ada tugas membuat lagu dan musik ciptaan sendiri. Nah, aku mau mendengar pendapat pertama darimu."

Mocca tersenyum lebar.

"Bagus sekali! Lirik lagu dengan iringan pianonya juga pas didengar. Orang-orang yang mendengarkannya pasti ketagihan ingin mendengarkannya lagi. Tapi, aku rasa liriknya ditambahkan sedikit lagi. Masih terasa kurang panjang, menurutku," komentar Mocca.

Hallow mengangguk-angguk mengerti.

"Aku juga berpendapat liriknya masih kurang banyak. Mungkin akan aku tambahkan beberapa bait lagi," pikir Hallow. "Oh iya, apa kau merasakan sesuatu saat mendengarkan lagunya?"

"Hm? Merasakan apa?" tanya Mocca balik.

"Seperti ... emm, apa ya?" Hallow mengoper pertanyaan.

"Nah." Mocca mulai gemas melihat tingkah Hallow.

Hallow merengut.

"Peka, dong Mocca!"

Mocca mengap.

"Hah?"

Mocca kok susah sekali pahamnya, ya? Aduh, boleh cubit dia, tidak?? batin Hallow.

Hallow menyuruhku peka. Tapi, peka apa ya? Hah? Aku tidak mengerti! batin Mocca.

* * *

"Arghh!! Demi sendok emas!! Kuenya gosong lagi, Kak!!" teriak Lof di depan alat pemanggang kue.

Ai memijit jidatnya yang mulai nyeri.

"Aduh, Lof! Masa cuma panggang kue saja tidak bisa??" balas Ai tak habis pikir. "Tidak lama lagi kuenya harus sudah siap, Lof. Buat lagi!"

Lof buru-buru mengambil bahan-bahan baru di dalam lemari es dan lemari tempat bahan-bahan seperti gula dan tepung tersimpan apik, lalu segera mengaduk sesuai resep.

Sedangkan Ai, ia selalu melirik ke arah jam dinding. Kemudian ia memukul jidatnya sendiri.

"Aku lupa beli lilinnya!"

"Kakak!! Tepungnya sudah habis!!"

🎃 TO BE CONTINUE ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top