Chapter 35 : Cokelat (1)

Mocca's PoV

Terdengar suara terbahak khas Jeky Phrygian dari dalam kelasku ketika aku, Violet, dan Reo akan segera masuk ke dalam kelas.

Setelah jajan makanan dan minuman di kantin tanpa Hallow, karena dia menyuruh kami meninggalkannya dengan alasan ingin berbicara empat mata dengan Jeky.

Beethov dan Greethov, mereka masih berada di kantin sedang makan di sana, karena mereka selalu tertangkap basah oleh beberapa murid perempuan. Aku lihat Greyina dan Serta juga ikut menggoda Beethov dan Greethov.

Belza, dia hanya di kelas tanpa pergi ke mana-mana berbincang dengan murid perempuan maupun laki-laki yang mengepung dirinya di kursinya. Dia membawa banyak bekal dan membaginya kepada yang lain.

Reo membuka pintu kelas. Membiarkan aku dan Violet masuk lebih dulu. Violet mengernyitkan alisnya melihat sikap Reo yang memperlakukanku dan dia seperti orang bangsawan. Aku menarik tangan Violet masuk ke dalam kelas disusul oleh Reo setelah menutup pintu kelas.

Tampak Jeky memegang perut dan menyibak rambutnya sambil tertawa membahana. Lalu aku berganti melihat Hallow, ekspresinya tampak berbalik arah dengan Jeky.

"Aku harap kau membawa obatmu," kata Hallow datar.

"Maaf, aku sehat-sehat saja, kok!" balas Jeky setelah berhasil meredakan tawanya, "Ekskul musik?! Pff! Kenapa tidak memilih basket? Dulu, kau kan suka basket, Hallow yang terhormat!"

Hallow mendecih. "Bukan urusanmu." dia memalingkan wajah dan tak sengaja melihatku. Jalan melewati Jeky menghampiriku, "Mocca, sudah ke kantinnya?"

"Sepertinya sudah cukup. Selain itu, kalian berdua sedang membicarakan apa?" jawabku diselipi pertanyaan.

"Tentang itu tidak bisa dibicarakan di sini. Nanti kita bicarakan di istana. Yang penting sekarang, kita harus waspada," jawab Hallow antusias, lalu beralih malas, "Selain itu, kami membicarakan ekskul. Entahlah dia yang aneh atau aku yang tidak mengerti, dia malah mentertawakanku mendengar aku memilih ekskul musik. Bukankah itu adalah perbuatan yang lancang?"

Reo mengajak Violet duduk di kursi untuk segera menghabiskan makanan dan minuman yang tadi dibeli di kantin, di samping itu juga Reo menjauhkan jarakku dan Hallow dengan Violet dulu karena ada perbincangan kami yang tidak boleh diketahui oleh orang lain.

Aku terkekeh. Lalu berpikir bingung, bagian waspada apa yang harus aku hindari.

"Waspada dari apa?"

Namun, Hallow tidak mendengar pertanyaanku karena seorang murid perempuan memanggil namanya. Hallow menoleh dan menemukan gadis itu di sampingnya. Gadis itu membawa ... sebatang cokelat. Dia tampak ragu berkata. Namun akhirnya dia mengeluarkan suaranya.

"H-Hallow, cok-cokelat ini untukmu!"

Bukankah hari Kasih Sayang masih lama? Bahkan harus menunggu tahun depan.

Hallow menerima cokelat itu dan memberinya senyum, "Terima kasih."

Murid itu langsung melesat keluar dan menutup pintu kelasku. Sepertinya dari kelas sebelah. Terdengar jeritan girang beberapa gadis dari luar kelas.

Hmm, aneh sekali kenapa aku merasa kesal, ya?

"Waspada dari apa, HALLOW?" tekanku. Hampir saja aku tega meremuk kotak susuku yang tersisa setengah.

Hallow tersentak.

"Mocca, kenapa mendadak nada bicaramu seperti itu?" tanya Hallow balik.

"Entahlah!" jawabku tak acuh berlalu darinya duduk di kursiku.

Hallow menatapku heran. Begitu juga dengan Reo dan Violet. Hallow ingin menyusulku, namun Jeky langsung menghampiri Hallow dan mereka pun mengobrolkan hal yang tidak aku ketahui lagi. Jika berbicara dengan Jeky, Hallow tidak sedikit pun menampakkan senyumannya. Kemudian Belza, sama saja tetap dikepung. Sepertinya dia akan menjadi murid terkenal di sekolah ini.

Melihat cokelat itu, membuatku tidak selera makan.

* * *

Sepanjang pelajaran aku tidak terlalu fokus. Biasanya, aku selalu memperhatikan presentase dari guru dan mencatatnya di buku catatan. Tapi sekarang, aku malah memandang tajam pada sebatang cokelat berbungkus merah itu di laci meja Hallow.

Saat guru itu keluar sebentar dari kelas entah ada urusan apa karena aku tidak mendengarkan, Belza sudah ada berdiri di samping mejaku.

"Aku mau Mocca menjelaskan soal Bahasa ini. Aku sama sekali tidak mengerti dengan yang guru itu sampaikan dan Jeky menjelaskannya begitu amatir." Belza memamerkan isi buku catatannya. Tulisannya begitu rapi, "Seakan aku berbicara dengan makhluk asing dengan bahasa yang berbeda."

"Itu artinya aku harus duduk di kursimu," imbuh Hallow menatap malas kepada Belza, tampak tidak ingin membiarkan kursinya diduduki oleh siapapun, seolah-olah kursi itu adalah singgasananya selain di istana.

"Begitulah," balas Belza seadanya, "Bisakah?"

"Dengan senang hati." Jelas saja dia beranjak dari kursinya tanpa senang hati. Memaksakan dirinya berjalan ke belakang duduk di kursi milih Belza, tepat di samping Jeky.

"Hai, Hallow yang terhormat!" Sapaan dari Jeky terdengar jelas dari sini. Begitu juga dengan helaan napas Hallow, "Kenapa kau ke sini? Ingin membicarakan apa denganku?"

Hallow tidak menghiraukan Jeky dan tetap berkutat pada tangannya yang terus menulis di buku catatannya.

"Diam."

Belza mengamatiku, membuatku sedikit risih tanpa menoleh padanya.

"Mocca marah?"

Aku pun akhirnya menoleh padanya. Melihatnya tersenyum lembut, aku juga ikut tersenyum namun senyumannya jauh lebih lebar.

"Tidak. Kenapa kau bertanya seperti itu? Lalu, bagian mana yang ingin kau tanyakan? Aku akan menjelaskannya sebisaku," jawabku.

"Lupakan soal pelajaran." Lho? Lalu, apa yang ingin dia bicarakan padaku sehingga Hallow harus duduk di kursinya? "Aku lihat dari belakang, kau tidak memperhatikan guru mengajar. Kau tahu kan guru dengan tanpa lelah menjelaskan pelajaran dengan sabar."

Aku tersenyum miris. "Aku senang bisa bersekolah dan belajar di sini. Bertemu dengan guru yang dengan sabar mengajari seluruh muridnya agar menjadi pintar."

"Lalu?"

Aku menatapnya bingung.

"Apa maksudmu dengan lalu?"

Giliran Belza yang tersenyum miris.

"Aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang saat melihat gadis lain memberikan hadiah kepada orang yang kau cintai. Apalagi, orang yang kau cintai menerima hadiah itu dengan senang hati."

Bagus! Sekarang aku tahu apa yang Belza maksud. Mendengar kalimat itu telah membuatku semakin sebal.

"Kenapa kau dan Jeky bersekolah di sini?" tanyaku.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Mocca."

"Jawab dulu kenapa kau dan Jeky bersekolah di Akademi Housran?"

"Itu karena aku dan Jeky ingin melindungimu."

Melindungiku? Dari apa? Aku bisa menjaga diriku sendiri. Mereka berlebihan.

"Yang benar saja," ucapku.

"Kerajaan Daimeldian dan Phrygian bersahabat dengan kerajaan Mixolydian. Wajar saja kami saling melindungi dan membantu sesama lain. Mendengar Ratu Mona sudah meninggal, aku lega sekali. Namun, aku mendapat laporan dari teman hewanku. Mengatakan kalau kelima kesatria vampir itu akan melakukan sesuatu agar Ratu Mona kembali bangkit dari kematiannya. Sihir saja tidak bisa melakukan hal semustahil itu. Benar-benar tidak logis," kata Belza.

"Apa?!" Hanya keterkejutan yang aku rasakan setelah mendengar penjelasan Belza, "Membangkitkan Ratu Mona?! Apa tujuan mereka membangkitkannya dari kematian?"

"Cinta."

"Hah?!"

Belza tersenyum tipis. "Bukan kelima kesatria vampir itu. Tetapi Ratu Mona. Dia tidak rela mati secepat itu dan masih menginginkan kehidupan. Tujuan utamanya yaitu meraih cintanya. Itulah yang dikatakan penyihir istana Ferlendian saat aku dan Jeky pergi ke sana untuk melihat makamnya. Sayang sekali kami hanya melihatnya saja, tidak mendo'akan keselamatannya berada di alam baka."

Aku harap Ratu Mona tidak merasuki tubuhku lagi meskipun raganya benar-benar hampa tak terisi jiwa.

Baiklah, aku sudah tahu alasan Jeky dan Belza ikut bersekolah. Selanjutnya, Belza memberikanku beberapa patah kata.

"Kau sedang cemburu."

Wah, dia membuatku semakin kesal.

Aku tertawa hambar, "Cemburu? Kau sedang berbicara dengan siapa? Aku? Hei, kau salah mengatakan itu padaku."

"Tidak mungkin salah." Belza mengambil cokelat batang berbungkus merah di laci meja Hallow, mengarahkan cokelat itu di depan mataku, "Lihat cokelat ini. Bagaimana perasaanmu?"

Aku menepis tangan Belza- ralat, cokelat itu dari hadapan mataku.

"Singkirkan itu dari mataku. Kau membuat mataku pusing," hindarku.

"Tidak, kau marah melihat coklat ini bukannya pusing. Cemburuuuu, Mocca cemburuuu," goda Belza.

"BELZA!"

Dia beranjak cepat dari kursi Hallow. Sebelum itu dia kembali meletakkan cokelat itu di laci meja Hallow. Berjalan ke belakang memanggil Hallow untuk bertukar tempat duduk kembali, dengan alasan dia sudah selesai mendengarkan penjelasan dari catatannya. Pintar.

Padahal aku tidak terlalu berteriak. Cuma sekedar membentak.

Hallow kembali duduk di sampingku seraya menghela napas lega. Aku lihat Belza di belakang, dia nyengir ke arahku. Aku mencekik pensilku sendiri, berusaha merendam rasa kesal yang memuncak karena Belza yang ternyata bisa menyebalkan juga.

"Mocca, kau tidak mencatat satu penjelasan pun?" Hallow melirik catatanku.

Aku mengangkat catatanku dari meja. Menatapnya tak berminat.

"Kalau sudah tahu tidak usah ditanya. Membuang waktu."

Hallow cemberut kayak anak kecil, "Mocca kenapa? Kok jawabnya jutek sekali? Salah Hallow apa? Hallow, kan, sayang sama Mocca, dan Mocca masih sayang sama Hallow, kan?"

Dih. Astaga.

Benar-benar kayak anak kecil. Bicaranya dimanjain, tujuannya tidak salah lagi, biar aku luluh. Haha, tidak lucu. Meskipun dengar itu rasanya senang juga.

"Geli, ah!" Aku mengangkat kedua bahu dan menatapnya semakin tidak berminat.

"Tuh kan jutek lagi."

"Terserah aku."

"Tapi kan dengarnya buat sakit."

"Selama tidak ada darah yang keluar, tidak akan terjadi apa-apa."

"Mocca..."

Aku beranjak dari kursi sambil membawa buku catatanku tanpa memperdulikan kata-kata dia lagi. Berlalu meninggalkan Hallow yang menatapku tidak mengerti. Ya, dia tidak akan pernah bisa mengerti apa yang sedang aku kesalkan. Jadi, lebih baik aku membiarkan kursiku diduduki oleh orang lain.

"Jeky, kau bisa pergi dari kursimu? Aku ingin duduk di kursimu sebentar untuk menanyakan bagian catatan yang tidak aku mengerti dengan Belza. Kau bisa duduk di kursiku," kataku sampainya aku di meja Jeky.

Jeky dengan riang gembira melesat ke kursiku, duduk di samping Hallow. Dia merangkul Hallow, walaupun Hallow berusaha menjauhkan lengan Jeky darinya.

Sedangkan Belza, dia masih saja nyengir. Setidaknya dia tidak terlalu mengesalkan.

"Hehe, cieee cemburu nih cieee, lagi kabur dari kenyataan, cieee." Kata-kata Belza semakin parah.

Aku mengambil buku catatannya dan merampas pensil dari tangannya. Segera mencatat pelajaran hari ini yang sama sekali tidak aku perhatikan.

"Diam."

🎃 TO BE CONTINUE ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top