Chapter 20 : Reaksi
Hallow's PoV
"Mocca?"
Aku membuka pintu kamar setelah mengetuk pintu. Tak ada jawaban dari Mocca, jadi aku buka saja pintunya. Dia tidak menjawab pertanyaanku, karena aku melihatnya sedang belajar di meja belajarnya sambil mengangguk-angguk. Ah, bukan mengangguk, tapi menahan kantuk.
Tentu saja, ini sudah jam 11 lewat. Aku pun juga mengantuk. Tapi, ada satu hal yang harus aku kerjakan selesai aku mengurus semua surat-surat penting yang sudah aku tanda tangani dengan tambahan stempel dan dikirim oleh pelayan-pelayanku ke tempat asalnya. Selama aku berada di sekolah, tugas-tugas di istana pun menumpuk. Paling cepat, aku akan menyelesaikannya selama 2-3 jam. Rasanya aku ingin membakar semua kertas-kertas itu karena nyaris tak bisa meluangkan waktu untuk Mocca. Untung saja ini kerajaanku.
Kakiku mengendap-endap mendekati Mocca yang masih mengangguk-angguk sambil menulis. Sembari menahan tawa, aku terus mengendap-endap, dan sampailah aku di dekatnya. Lalu ... apa lagi, ya?
"Ya, Hallow? Kau memanggilku, kan? Ada apa?" Pertanyaan dari Mocca salut membuatku hampir kehilangan keseimbangan untuk berdiri. Tanpa mengalihkan pandangan dari tulisannya, dia mampu merasakan keberadaanku telah berada di sampingnya. Hebat.
"Sudah jam 11 malam. Kau harus tidur. Belajarnya lanjutkan besok saja di sekolah," ucapku menutup semua buku yang Mocca buka dan mengambilnya untuk disita.
"Hei, kenapa kau menutup dan mengambil semua bukuku? Kembalikan. Aku masih ingin belajar. Ada banyak soal yang tidak aku mengerti," tolak Mocca berusaha mengambil bukunya kembali, namun aku menarik buku itu tanpa mau mengembalikannya.
"Kalau ada banyak soal yang tidak kau mengerti, aku bisa jelaskan semua soal itu besok agar kau cepat mengerti oleh penjelasanku. Kalau belajar sendiri seperti ini, itu sama saja kau membuang waktumu memikirkan jawaban yang mutlak. Pada akhirnya, soal itu tak terjawab. Kita akan belajar bersama besok saat istirahat. Jadi, ke tempat tidurlah. Kau harus tidur atau kau akan mengantuk di sekolah," suruhku lagi, kali ini dengan tegas.
Mocca memasang wajah cemberut. Kepalanya mengangguk pasrah. "Huh. Baiklah kalau begitu. Aku akan tidur."
Bukannya beranjak dari kursi, dia malah tidur di tempatnya, melipat kedua lengan di atas meja dan merebahkan kepalanya di atas lengan. Aku menepuk jidat.
"Hei, Mocca, bangun. Bukan di sini tidurnya. Di kasur, Mocca. Hihihi," kataku sambil menepuk pelan pundaknya. Aku tertawa kecil, mendekatkan diriku ke salah satu daun telinganya untuk membisikkan sesuatu. "Aku menyuruhmu tidur. Tapi, tidur di kasur. Bukan tidur duduk di kusi dengan posisi yang tidak akan membuatmu nyaman. Astaga, tentu saja kau begitu mengantuk pada jam seperti ini. Apa boleh buat."
Aku kembali meletakkan buku milik Mocca ke meja. Secara perlahan agar tidak mengganggunya, aku menarik kedua pundak Mocca untuk duduk tegak. Melihat ekspresinya tertidur pulas, membuatku kembali tertawa kecil. Kemudian, aku mengangkat kedua kaki termasuk tubuhnya. Setelah berada di dalam gendongan tuan putriku, aku melihat wajah tertidurnya lagi.
"Kalau dia dengar aku mengatakan tubuhnya berat, bagaimana reaksinya, ya? Apa dia akan marah?" pikirku masih melihat dirinya. "Wanita memang sulit sekali ditebak. Tapi, aku bisa menebak hatimu hanya memilih diriku. Benar, kan?"
Aku berjalan menuju kasur. Dengan hati-hati aku merebahkan Mocca di atas kasur. Mengarahkan kepalanya di atas bantal dan menyelimutinya. Aku duduk di sampingnya, menangkupkan tanganku ke wajahnya.
"Aku ingin sekali tidur denganmu, Mocca. Tidur di sampingmu membuatku selalu bermimpi indah tentangmu dan orang tuaku. Kau tahu, di mimpiku itu, kau sangat cantik. Tapi, lebih cantik jika aku lihat secara nyata seperti ini." Aku mengelus rambut pirangnya. "Sayang sekali, malam ini aku tidak bisa tidur denganmu dulu. Ada satu hal yang harus aku kerjakan malam ini juga. Aku tak akan lama. Jika sudah selesai, aku akan kembali ke sini, tidur bersamamu. Memeluk tubuhmu yang selalu saja mengalihkan posisi tidurmu padaku. Mimpi yang indah, Mocca. Selamat malam. Aku mencintaimu."
Sebelum pergi, aku mencium punggung tangan dan keningnya. Setelah itu, aku pun keluar dari kamar dan menutup pintu dengan pelan. Aku membalikkan badan dari pintu. Terlonjak kaget melihat Beethov dan Greethov sudah ada saja di depanku.
"Kalian mengangetkanku," kataku dengan dingin.
"Ampuni kami, Yang Mulia. Kami hanya ingin mengatakan pada Anda bahwa kereta kuda Anda sudah siap di depan istana," balas Beethov berlutut di depanku termasuk Greethov.
Sebenarnya, aku selalu bersikap dingin dan sedikit kejam dengan semua pelayan-pelayanku. Sedikit saja kesalahan yang mereka perbuat, aku akan menyumpah mereka atau memberikan mereka hukuman. Tapi, sejak Mocca ada di sini, aku memutuskan untuk sedikit berubah agar tidak terlalu menakutkan di depan mereka. Aku jadi teringat waktu aku memarahi Beethov dan Greethov karena mereka menggunakan sihir saat bekerja, Mocca langsung memandangku ngeri dan ingin menjauhiku. Aku pun sadar dan ingin mengubah sikap serta sifatku menjadi lebih baik. Tunggu. Rasanya aku pernah mengatakan hal ini.
"Ah, benarkah? Kalau begitu aku akan menuju ke sana. Apa Reo juga sudah ada di luar istana?" tanyaku dengan hangat, tak lupa dengan senyum.
"Reo telah menunggu Anda di luar istana," jawab Greethov masih berlutut.
"Baiklah. Jaga istana. Terutama Mocca. Jangan sampai tidurnya terganggu," titahku.
"Laksanakan, Yang Mulia."
Aku berjalan pergi meninggalkan Beethov dan Greethov. Kemudian, aku menemukan Colla dan Hella membawakan jubah panjang kerajaanku serta mahkotaku.
"Mahkota Anda, Yang Mulia," ucap Hella berjalan ke depanku untuk memakaikan mahkota Raja padaku.
Aku menundukkan sedikit kepalaku untuk Hella pasangkan. Hella meletakkan mahkota itu di atas kepalaku. Setelah itu, Hella membungkuk dan berjalan mundur. Giliran Colla yang maju ke depanku untuk memberikan jubah kerajaanku.
"Jubah Anda, Yang Mulia," ucap Hella lalu menyibak jubah biru kebesaran berlogo kerajaan Mixolydian ke belakangku.
Aku menerima jubah itu menyelimuti belakangku. Setelah jubahku terpasang mengikat rapi di depan dadaku, aku kembali melanjutkan jalanku meninggalkan Hella dan Colla yang membungkuk hormat untukku. Tak lama, kakiku telah berjalan di atas karpet biru, lambang warna kerajaanku. Di sisi kanan dan kiriku telah berjejer semua prajurit dan pelayanku sampai di luar istana membungkuk hormat padaku.
"Yang Mulia Raja Hallow Mixolydian," ucap mereka bersamaan dalam bungkukan.
Aku berhenti melangkah di tengah karpet memanjang yang aku pijak. Tangan kananku mengangkat, pertanda aku akan memberikan mereka semua perintah.
"Aku, Raja Hallow Mixolydian, memerintahkan kalian semua untuk menjaga Ratu Mocca! Termasuk istana ini!" titahku lantang menggema di dalam istana. "Malam ini, aku ada urusan di luar yang mesti dikerjakan sekarang. Jangan sampai ada yang tidur sebelum aku kembali!"
Secara serempak, mereka berlutut sambil menunduk. "Laksanakan, Yang Mulia Raja."
Aku mengangguk. Kembali berjalan melalui mereka dan sampai di luar istana, aku menemukan kereta kudaku yang telah siap, termasuk Reo. Dia sudah siap di depan pintu kereta kuda. Membukakan pintu kereta kuda itu untuk aku masuki.
Kereta kuda kerajaan Mixolydian berjalan tenang keluar dari wilayah istana. Mengibarkan bendera kecil kerajaan Mixolydian di puncak atap kereta kuda. Sudah jam 11 malam lebih, artinya kota Mejiktorn telah sepi. Para penduduk kota pasti sudah tidur di dalam rumah mereka masing-masing. Ini waktu yang bagus untuk mencari tahu tanpa adanya suara gaduh.
"Yang Mulia, kenapa Anda ingin mencari tahu di tengah malam ini?" tanya Reo memecahkan keheningan.
Aku menoleh pada Reo dari jendela luar. Menampilkan keseriusanku untuk menjawab pertanyaannya.
"Tidak ada waktu yang pas lagi untuk melakukan misi ini, Reo. Ini waktu yang tepat untuk mencari tahu. Jika besok, tak ada waktu lagi karena besok itu kita akan ke Akademi lagi dan lagi sampai 1 tahun ke depannya. Secepatnya, kita harus mengetahui tentang dan alasan mereka .." ucapku gantung, merasa tak sanggup untuk mengatakan kata-kataku yang selanjutnya. Aku sampai menggigit bibirku. Namun, aku pun melanjutkan. ".. membuang Mocca dari keluarga mereka sendiri, keluarga Lixadian."
Ya, keluarga Lixadian, keluarga dari Mocca. Sejak aku mengetahui nama belakang Mocca, aku pun berkeinginan mencari tahu informasi mengenai keluarga Lixadian dan ingin menemui Ayah serta Ibunya Mocca. Aku ingin meminta penjelasan dari mereka.
"Bukankah Ratu pernah mengatakan pada Anda bahwa Ratu dibuang dari keluarga Ratu sendiri karena tidak memiliki sihir?" kata Reo lagi, membuatku teringat perkataan Mocca sejak pertama aku bertemu dengannya.
"Aku tahu itu. Tapi, jika mereka tahu bahwa anak mereka sudah memiliki sihir, mereka akan berpendapat apa? Reaksi apa yang akan mereka timbulkan setelah mengetahui itu? Dan, reaksi mereka melihat Raja mereka akan menikahi anak mereka yang telah mereka buang tanpa berpikir panjang?" ucapku sedikit keras dan emosiku rasanya ingin meledak.
Mereka, mereka, dan mereka. Oke, aku sadar kata-kataku terlalu banyak mengatakan kata mereka.
"Yang Mulia-"
"Tentu saja, mereka akan bersikap egois. Selain itu, keegoisanku tidak sama dengan mereka. Jika mereka egois, aku akan memilih memberikan mereka ampun dengan cara mengakhiri hidup mereka, agar hidupku dengan Mocca berjalan dengan tenang dan damai," potongku.
"Mohon ampun, Yang Mulia, tapi, sebaiknya Anda jangan membunuh orang tua Ratu. Mungkin jika Ratu mengetahui orang tua Ratu telah tiada dan yang membunuh adalah Anda, Ratu akan bersedih." Reo menunduk.
Aku ikut berpikir. Jika aku membunuh orang tuanya, apa yang akan Mocca katakan padaku? Pembunuh? Lalu, reaksinya mendengar bahwa orang tuanya telah tiada? Sedih? Aku tersenyum penuh rencana.
"Itu mudah. Jika aku membunuh kedua orang tua Mocca, jangan sampai Mocca mengetahui kalau orang tuanya telah tiada dan aku yang telah membunuh orang tuanya. Selesaaaiii."
Reo yang mendengarku berkata, melihatku dengan ekspresinya yang tegang dan takut.
"A-Anda yakin dengan rencana itu, Yang M-Mulia?"
Aku tertawa kecil, sedang, keras, dan berakhir dengan senyuman. Mendengar pertanyaan Reo, rasanya lucu sekali. Bersyukur sekali aku memiliki pelayan seperti Reo.
"Entahlah. Lihat saja nanti."
🎃 TO BE CONTINUE ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top