Chapter 16 : Kelas

Hallow's PoV

Akademi Housran adalah sebuah sekolah menengah atas yang dibangun 12 tahun yang lalu. Sekolah ini menganut 5 mata pelajaran umum dan sisanya pelajaran sihir. Di samping itu, sekolah ini juga membangun pengembangan diri wajib untuk semua murid, yaitu ekstrakulikuler. Ada beberapa ekstrakulikuler, namun aku malas membaca tentang itu, karena Mocca telah menjelaskan bagian itu padaku sebelum hari ini tiba.

Mocca memilih ekskul kedokteran. Mungkin, aku akan memilih ekskul yang tidak terlalu merepotkan, seperti ekskul memanah atau tidur siang?

Oh iya, kata Mocca ekskul tidur siang itu tidak ada. Hm, memangnya apa yang membuat ekskul sebagus itu tidak diadakan? Ekskul tidur siang bagus untuk tubuh agar tidak merasa lelah akibat terlalu banyak belajar. Anehnya, Mocca tertawa dan menyebutku bego setelah menjelaskan isi pemikiranku terhadap ekskul. Apa yang lucu coba?

Aku, Mocca, dan Reo berjalan menelusuri koridor sekolah. Banyak murid-murid Akademi melihat kami berlalu sambil berbisik-bisik. Ada yang terkagum, ada juga beberapa gadis yang sinis melihat Mocca. Ah, aku lupa bertanya, apakah Mocca mempunyai musuh di sekolah? Atau, apa dia tengah menjadi bahan ejekan? Jika iya, aku takkan segan memberikan mereka hukuman paling berat yang pernah aku berikan kepada orang lain, karena itu berkaitan dengan Mocca.

Sampailah di ruang kepala sekolah, aku melihat seorang pria dewasa berdasi merah, berkumis, dan berjanggut putih tebal menghias atas dan bawah mulut tersebut. Pria yang sudah mulai lanjut usia, namun badannya masih berisi dan mampu berdiri tegak. Kepala sekolah itu menyambut kedatangan kami dengan berlutut hormat di depanku dan Mocca.

"Yang Mulia Raja dan Ratu Mixolydian, saya telah menunggu kedatangan kalian ke Akademi Housran. Segala yang dibutuhkan ada untuk Raja dan Ratu," ucap kepala sekolah itu sambil berlutut hormat.

Mocca yang mendengar kepala sekolah menyebutnya sebagai seorang Ratu, tampak terkejut dan risih karena orang yang lebih tua darinya mau berlutut padanya tanpa dipinta.

"Bangkitlah. Aku dan Ratuku ke Akademi Housran untuk bersekolah sampai hari kelulusan. Bersama pengawal kerajaan, Reo, dia juga akan ikut melakukan kegiatan sekolah seperti seorang murid pada umumnya. Jangan memberitahukan kepada semua murid Akademi bahwa Raja dan Ratu mereka tengah bersekolah di sini. Jaga rahasia ini rapat-rapat. Jika tidak, maka hukuman akan menjadi ketuntasan dari masalah tersebut. Selanjutnya, aku, Ratuku, dan pengawalku akan segera menuju ke kelas. Terima kasih atas kerjasamanya, kepala sekolah Akademi Housran yang terhormat. Ayo, Mocca, Reo, kita menuju ke kelas." Aku menggenggam tangan dan menarik tangan Mocca berlalu meninggalkan ruang kepala sekolah diikuti oleh Reo.

"Laksanakan, Yang Mulia," balas kepala sekolah membungkuk hormat.

Keluar dari ruang kepala sekolah, Mocca menghela napas berat dan menatap tajam padaku.

"Ratu? Bahkan aku belum menikah denganmu, Hallow. Aku belum resmi menjadi Ratumu dan seluruh rakyat Mejiktorn!" ucap Mocca tiba-tiba namun tak begitu keras agar tidak terdengar oleh murid-murid sekitar yang berlalu-lalang.

"Kita sudah bertunangan. Tentu saja kau harus diberi gelar Ratu Mixolydian untukmu, Mocca," balasku memperlihatkan cincin putih mengelilingi jari manis kiriku dan meraih tangan kiri Mocca. "Lihat. Kau sudah terikat padaku. Itu artinya, kau telah menjadi Ratu Mixolydian walaupun kita belum menikah. Kau mengerti, sayang?"

"Oke, jangan memanggilku sayang. Aku mengerti, sudah cukup. Mari menuju kelas. Sebentar lagi pelajaran kelasnya dimulai," jawab Mocca melepaskan tangannya dari tanganku dan berjalan lebih dulu.

Aku berusaha menyamakan langkah kakiku dengan Mocca agar bisa kembali berbincang sambil menempuh perjalanan menuju kelas. Diikuti Reo, dia sedang asik melihat sekitar sekolah. Banyak murid-murid perempuan yang memperhatikan Reo. Kadang, Reo melambaikan tangan ke arah murid perempuan yang dia lihat, membuat murid perempuan itu salut berteriak histeris.

"Mocca, kau marah padaku?" tanyaku melihat wajah Mocca tampak merengut kusut.

"Aku tak marah padamu. Aku hanya berusaha menerima kenyataan bahwa usia sepertiku harus menerima julukan terhormat seperti itu. Kau tahu, itu terlalu cepat didapatkan oleh orang sepertiku," jawab Mocca tanpa menolehkan ataupun melihat ke arahku.

"Itulah kenyataannya. Karena hanya aku seorang yang tersisa untuk mempertahankan kerajaan Mixolydian, menggantikan kedua orang tuaku, lalu kau juga ikut menggantikan Ibuku. Apa kau keberatan dengan hal itu? Apa dengan jabatanmu sekarang, membuatmu tidak merasa nyaman?"

Mendengar perkataanku, Mocca hanya membalas dengan menatapku sebentar, setelah itu mengarah ke depan, hanya fokus pada jalannya. Mungkin dia harus menerima hal itu dengan sedikit memberinya waktu. Hanya sedikit, setelah itu dia tak akan merasa risih lagi saat dia dipanggil Ratu oleh banyak orang.

Sampainya di kelas, lebih tepatnya di kelas 2-3, semua yang ada di dalam kelas itu menoleh ke arah siapa yang berkunjung. Murid-murid perempuan tampak tersenyum lebar, sedangkan sebagian para laki-lakinya hanya memandang biasa. Beberapa namun jelas, ada yang menatap sinis ke arah Mocca. Mungkin ada alasan khusus kenapa hanya mereka berdua yang menatap sinis. Dan aku harus mengetahui itu secepatnya.

Guru pengajar itu telah mengetahui kedatanganku. Dia mempersilahkan kami bertiga masuk. Mocca duduk di kursinya, sedangkan aku dan Reo disuruh untuk memperkenalkan diri dulu di depan mereka semua sebelum memilih tempat duduk. Merepotkan. Aku ingin cepat-cepat duduk di samping Mocca, kebetulan dia duduk sendirian, tidak seperti yang lain mempunyai pasangan duduknya masing-masing.

"Hai! Perkenalkan, namaku Reo!" ucap Reo memperkenalkan diri lebih dulu.

Semua murid perempuan bersorak dan membalas sapaan Reo. "Hai juga, Reo!!!!!"

"Panggil saja Hallow. Mohon bantuannya," ucapku sembari berusaha tersenyum tapi ternyata sulit sekali. Namun tetap saja ada yang menyorakku seperti saat Reo telah memperkenalkan diri.

"Hai juga, Hallow!!!!!!" Aku hanya membalas mereka dengan lambaian tangan, itu sudah membuat mereka bersorak riuh lagi.

Mereka aneh, menurutku.

Guru pengajar itu mempersilahkan kami berdua memilih kursi yang kosong. Mereka tampak menggeser diri, terlihat bermaksud memberi kami tempat duduk padahal sudah tak bisa ditempati lagi karena tidak cukup untuk tiga orang. Lagipula dua pasang meja menyatu diberi sepasang kursi, bukan tiga kursi.

Percuma mereka memberikan kami tempat duduk, karena aku akan memilih kursi di sebelah Mocca— tentu saja. Mereka menghela napas kecewa melihat keputusanku memilih di sebelah Mocca. Aku lihat, Reo memilih di belakangku, sekursi dengan seorang murid perempuan yang berada di belakang Mocca.

"Mohon bantuannya," kata Reo kepada teman sekursinya itu.

"Ah, i-iya, tentu saja," balas gadis berambut kepang dua itu sambil menaikkan kacamata lingkarannya dengan kikuk.

Sepanjang pelajaran, aku sama sekali tak memperhatikan, karena yang dipelajari sama persis dengan pelajaran yang pernah aku pelajari di istana. Semua aku ingat di luar kepala. Penjelasan dari guru pengajar itu membuatku menguap kecil. Mocca tiba-tiba memukul tanganku dengan pensil.

"Awas kalau sampai ketiduran," ancam Mocca, membuatku tersenyum. Aku pikir dia sedang marah padaku karena pembicaraan kami waktu di depan ruang kepala sekolah.

"Tidak akan," balasku memegang tangannya. "Aku telah mengetahui semua yang dia jelaskan. Rasanya membosankan, jadi aku merasa sedikit mengantuk. Aku harap ekskul tidur siang benar-benar ada."

"Bermimpilah terus. Ekskul tidur siang tidak akan pernah ada. Tidak akan ada. Oh, benar juga. Kau harus memilih ekskulmu secepatnya. Jika tidak mengikuti satu ekskul apapun, kau bisa tinggal kelas."

"Kalau begitu, ekskul apa yang cocok denganku?"

"Hmm," Mocca bergumam, setelah itu kembali bicara. "Basket."

"Basket?" ulangku. "Itu terlalu melelahkan dan pasti memakan waktu yang banyak untuk latihan basket. Dan aku tidak akan bisa menghabiskan waktu denganmu hanya karena ekskul."

"Tidak mungkin. Ekskul akan dimulai jam 1 siang setelah pelajaran umum selesai. Sampai jam 3 sore, baru semua ekskul diistirahatkan dan dilanjutkan besok."

Aku berpikir keras. Membuka otak terdalamku untuk mengambil keputusan yang bagus. Jika aku memilih basket, aku suka saja dengan basket. Memahami jam ekskul hanya memakan waktu dua jam, baiklah, aku setuju.

"Baiklah, aku akan memilih ekskul basket. Hei, Reo, kau akan memilih ekskul apa?" Aku menolehkan sedikit kepalaku ke arah Reo yang sedang menulis sesuatu di buku tulisnya.

"Ekskul memasak," jawab Reo.

Sudah diputuskan. Kami pun kembali diam dan memperhatikan sang guru pengajar sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Kata Mocca, semua murid harus menghormati seorang guru yang sedang mengajar, walaupun kita sudah pernah mendengar pelajaran itu, kita tetap harus memperhatikan sampai jam istirahat pun tiba.

"Mocca! Di mana buku PRku?? Kau sudah menghilang tiba-tiba beberapa minggu, dan itu membuat kami tak bisa mengerjakan PR karena buku PR kami ada padamu!" ucap seorang gadis berambut pendek kuning langsung menghampiri Mocca dan memukul meja Mocca dengan kedua tangannya.

"Kembalikan buku kami sekarang juga! Atau aku akan memberimu pelajaran!" ikut seorang gadis berambut keriting kehitaman ingin meraih rambut merah Mocca, namun dengan sigap aku menepis tangan itu agar tidak menyentuh rambut Mocca sehelai pun.

Mata Mocca terpejam kuat, seolah telah tahu dengan apa yang akan murid perempuan berbedak tebal itu berikan padanya.

"Aku penasaran, pelajaran apa yang ingin kau berikan pada Mocca. Tapi, sepertinya aku tahu apa yang akan kau lakukan." Aku menatapnya tajam, tak peduli bagaimana semua penghuni kelas ini memandangku dengan cara apa, yang paling penting sekarang adalah keselamatan Mocca.

Mendengar itu, Mocca membuka kedua matanya kembali, masih memandang takut pada kedua gadis itu.

"Ah, ini dia, pahlawan akhirnya datang juga padamu, Mocca. Kau menang. Tunggu saja pembalasanku. Ini belum berakhir." Gadis berambut keriting itu berlalu pergi keluar dari kelas. Sedangkan gadis berambut pendek masih diam di depan meja Mocca, melihatku takut.

Reo berdiri dari kursi dan berjalan menghampiri gadis berambut pendek itu dengan tampang tak kalah sangarnya denganku. Menghalanginya dari hadapan Mocca. Dia berjalan maju, membuat gadis itu berjalan mundur dan menabrak meja di belakang.

"Mau apa kau dengan Mocca? Ingin menyentuh rambutnya juga? Namun, dengan cara apa? Ingin menyisir rambutnya? Oh iya, rambut Mocca memang indah. Tapi, apa yakin orang sepertimu akan menyisir rambutnya dengan senang hati? Aku rasa kau akan memilih memotong rambutnya dibading merapikan. Benar, kan?"

Aku dan Mocca tercengang mendengar Reo berkata seperti itu. Lebih mengerikan sekaligus menakjubkan dibandingkan kata-kataku. Aku sampai merinding, seolah aku juga ikut diancam.

"A-aku tidak ingin berurusan denganmu. Aku permisi," ucap gadis itu berjalan cepat menghindari Reo, keluar dari kelas.

Semua murid kelas 2-3 yang belum keluar dari kelas untuk istirahat, terdiam dari aktivitas melihat kami. Setelah itu, mereka kembali melakukan aktivitas masing-masing. Aku tertawa setelah mereka pergi begitu pengecut sekaligus bangga dengan apa yang Reo lakukan tadi.

"Bagus sekali! Itu luar biasa! Kerja bagus, Reo!" kataku sambil merangkul Reo. Setelah itu aku kembali duduk di samping Mocca. "Sebelum aku muncul, apa kau ada masalah di sekolah? Terutama dengan kedua gadis brengsek barusan?"

Mocca terdiam sebentar dalam tundukannya. Namun setelah itu, dia pun berkata. "Aku hanya ditindas. Itu sudah biasa."

Aku dan Reo terkejut.

"Sudah biasa katamu? Kau sama sekali tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu!" protesku sedikit kencang.

"Apa boleh buat. Begitulah kenyataannya. Tinggal diriku yang harus menghadapi cobaan ini dengan caraku sendiri," balas Mocca menatapku sayu.

"Tidak! Aku akan berbuat sesuatu untuk mereka yang sudah menyakitimu! Tidak akan aku biarkan mereka menginjak-injakmu! Aku sama sekali tidak menerima itu! Mereka harus merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan dibandingkan terluka. Jangan khawatir, Mocca. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal."

Mocca menghela napas. "Mereka memang sudah keterlaluan padaku. Mungkin, mereka memang harus diberi sedikit pelajaran agar tidak menggangguku lagi."

"Setuju." Reo mengangguk-angguk.

Aku tersenyum penuh rencana. "Lihat saja. Mereka akan merasakan bagaimana seorang Raja sepertiku memainkan sebuah permainan yang tidak bisa dimainkan oleh orang-orang tertentu sepertiku."

"Aku harap, kalian tidak akan berlebihan dalam memberikan pelajaran pada orang lain," ucap Mocca.

Kami berdua tersenyum seraya mengangguk. Tentu saja, kami tidak akan berlebihan. Mungkin.

🎃TO BE CONTINUE ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top