Chapter 14 : Diam
Hallow's PoV
Hallow.
Sejak dulu Ibuku masih hidup, beliau memanggilku dengan sebutan itu. Nama yang diberikan padaku dari mendiang Ayah dan Ibuku, lebih tepatnya mereka adalah Raja dan Ratu Mixolydian, kerajaan yang sekarang ini aku pimpin dengan jabatanku menjadi seorang Raja Mixolydian yang sekarang.
Raja Mixolydian. Itulah sebutanku yang sekarang sejak dua tahun yang lalu aku dilantik menjadi Raja menggantikan orang tuaku memimpin kerajaan dan kota Mejiktorn. Awalnya, aku malas kalau soal memimpin kerajaan, karena pekerjaan itu masih terlalu berat untukku. Umurku juga masih 16 tahun dan masih pada tahap belajar dalam menjadi seorang bangsawan yang bertalenta dan kompeten.
Walaupun aku telah menjadi seorang Raja, aku tetap merasa seperti seorang Pangeran Mixolydian yang biasanya. Yang berbeda hanya setiap seminggu sekali aku harus memakai mahkota, duduk di singgasana dengan jubah biru panjang kelebaran milik Ayahku yang sekarang telah menjadi milikku, dan pekerjaan lainnya selain menghadiri pertemuan dengan guru-guru privatku untuk belajar materi sekolah.
Pekerjaan lainnya itu adalah mengurus surat-surat penting yang selalu meminta tanda tangan atas persetujuanku, memutuskan hukuman yang cocok untuk orang yang bersalah atas kejahatan yang telah dilakukan, mengesahkan segala hal yang mesti disahkan seperti pernikahan orang lain yang tinggal di kota Mejiktorn, dan pekerjaan wajib membosankan lainnya.
Aku bilang bahwa pekerjaan itu membosankan, karena tidak ada yang menurutku menarik juga menyenangkan jika menjadi seorang Raja yang disegani seluruh rakyat Mejiktorn. Kalian pikir menjadi seorang Raja itu enak? Salah besar kalau menganggap menjadi Raja itu menjalani hidup serba enak mendengar tentang kemewahan istana yang berlimpah harta. Menjadi seorang Raja itu adalah pekerjaan yang berat. Untunglah, aku bisa mengatasi semua itu.
Pekerjaan monoton itu sangatlah tidak mengenakkan. Mau tidak mau, aku harus menjalani semua itu. Bukannya tidak niat mengerjakan, hanya saja aku merasa bosan. Begitulah perasaanku setiap hari. Tak ada hiburan, bosan pun menyerang. Sungguh membosankan.
"Hallow?" Suara seorang gadis yang begitu aku kenali membuatku terhenyak saat pintu ruanganku sedikit terbuka, menampakkan kepala seorang gadis berambut pirang yang tadi menyebut namaku, "A-ah, maafkan aku telah mengganggumu bekerja. Tapi, jam makan siang sudah tiba. Saatnya untuk mengisi perut."
Sejak ada dia di sini, aku merasakan rasa bosanku sedikit memudar. Kehadirannya yang tiba-tiba ke dalam kehidupanku telah mengangkat satu keinginan yang selalu ingin aku laksanakan segera mungkin, agar dia tidak akan direbut oleh orang lain. Menjadi milikku seutuhnya. Dengan kata lain, aku ingin menikahinya.
Satu minggu berlalu sejak aku dan dia bertunangan melalui cincin putih pada jari manis kiri kami, sebagai tanda pertunangan telah dilaksanakan. Mengingat dirinya tersenyum dengan rona merah, aku semakin tak sabar untuk menikahinya. Hanya saja, ada satu masalah yang membuat kami menunda pernikahan dan memilih bertunangan saja terlebih dulu.
"Hallow, kau dengar aku?" katanya yang rupanya telah berada di depan mejaku sambil melambai-lambaikan tangan di depan mataku, "Kenapa kau selalu saja melamun? Itu tak baik untuk matamu."
Sejak ada dia, aku telah merasa kembali disebut sebagai Hallow, karena dia memanggilku begitu. Aku sangat senang mendengar suaranya memanggil namaku. Suara yang melarutkan tatapanku dalam mata biru malamnya yang penuh cahaya bintang. Kini, mata indah itu telah ada di depan mataku.
"Melamun itu baik untuk mata," balasku padanya, meraih wajah dan mengelus rambutnya yang berdekatan dengan pelipis, "Jika yang aku lamunkan itu adalah dirimu, Mocca." sambungku.
"Hahahahaha," tawanya, dan seketika wajahnya menjadi mengerikan. "Jangan bilang kau merayuku karena tidak mau makan siang?"
Aura gelap terasa mencekamku di sekitar Mocca. Tahu saja, aku tidak terlalu senang makan. Kadang, aku akan makan jika aku benar-benar ingin makan karena lapar. Tapi, pada jam makan siang ini, perutku merasa tak mau untuk diisi apapun. Aku terlalu biasa tidak makan siang sebelum Mocca muncul dalam kehidupanku. Karena banyaknya pekerjaan, aku jadi lupa jadwal makanku sendiri. Tapi, kesehatan tubuhku tidak akan mudah tumbang hanya karena tidak makan. Ini telah menjadi kebiasaanku. Aku lebih suka makan malam.
"Kalau aku makan siang, kau akan membayarku berapa?" Aku memegang ujung dagu Mocca agar aku bisa menangkap matanya melalui tatapanku.
"Jangan bercanda, Hallow. Aku serius. Jika kau tidak makan, kau bisa mengalami maag," ucap Mocca menjauhkan tanganku dari dagunya dan memegang tanganku, "Dan aku tidak mau melihatmu sakit perut hanya karena tidak rutin makan. Kau harus makan. Pokoknya makan. Harus."
"Maag?" ulangku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal, "Apa itu seperti penyakit ringan?"
"Penyakit ringan bisa menjadi besar jika kau tidak terus makan. Walaupun misalnya aku adalah dokter paling andalmu, aku takkan mau mengobatimu, karena kau keras kepala, tidak mau makan. Oke. Kau tidak mau makan, artinya, jangan lagi menampakkan dirimu di hadapanku. Aku tak mau melihatmu lagi."
"Ehh! Baik, baik. Aku akan makan. Tapi, aku ingin kau menyuapiku. Setuju?"
"Kau ingin aku hajar? Apa kau merasa masih kecil, karena ingin disuapi olehku? Jangan bercanda! Aku bukan Ibumu! Cepat kau ke ruang makan atau aku akan menyeretmu sekarang!"
Aku memasang wajah cemberut, tidak ingin beranjak dari kursi. Sedangkan Mocca menghela napas berat sambil memegang dahi. Dia terlihat depresi atas keras kepalaku tidak mau makan siang. Aku ingin melihat, apa dia benar-benar akan menyeretku ataukah tidak.
Mocca berjalan ke kursiku, tempat diriku sekarang duduk. Tangan kanan itu mencengkram lenganku, menarikku sampai aku telah beranjak dari kursi. Tenaganya kuat sekali. Tidak, atau aku yang mengalah karena melihat tingkahnya yang membuatku tersenyum. Hanya dia saja yang bisa memperlakukanku secara biasa. Rasanya begitu menyenangkan.
Dia benar-benar menyeretku dari ruang kerjaku sampai menuju ruang makan. Beberapa pelayan istana melihatku dan Mocca dengan tatapan bingung, namun ada juga yang tersenyum. Astaga, lancang sekali mereka. Kalau tidak ada Mocca, aku sudah menghukum mereka. Aku tak mau Mocca melihatku marah. Dia pernah melihatku marah dan itu membuatnya takut terhadapku. Aku tidak ingin itu terjadi lagi. Aku akan belajar bersikap lembut pada pelayan-pelayanku. Dan aku akan mempelajari itu dari Mocca.
"Duduk dan makanlah sampai kenyang!" Mocca memaksaku duduk di kursi. Menyiapkan makanan berat untukku. Aku bingung di mana Reo sekarang. Seharusnya dia yang menyiapkan makan siang, "Aku menyuruh Reo istirahat. Dia sudah bekerja sejak pagi sebelum matahari terbit. Makanlah dan jangan banyak mengeluh."
Demi Mocca, aku berusaha menyuap sesendok makanan. Hasilnya, aku mengunyah sesendok makan siang pertamaku tanpa selera sama sekali dan menelannya dengan dorongan paksa. Sendok makan yang kedua, aku mendaratkan sendokku ke atas piring yang masih terdapat banyak makanan. Aku membungkam mulutku sendiri menggunakan tangan sambil menggeleng, bertanda aku menyerah.
"Sebenarnya, ada apa dengan selera makanmu itu, Hallow? Ayolah, kau harus makan sampai tak ada yang tersisa di piring itu," ucap Mocca mengambil piringku dan mengangkat sendok yang tadi aku gunakan. Mengarahkan sendok itu di depan mulutku, "Apa boleh buat. Ayo buka mulutmu."
Kepalaku menggeleng-geleng menolak sendok itu akan menuangkan sesendok makanan berat yang membuatku mual. Sekali lagi, Mocca menghela napas. Meletakkan piring itu kembali ke meja.
"Sepertinya kau kekurangan vitamin. Selera makanmu sungguh buruk. Ini pertama kali aku melihat ada orang yang menderita tak selera makan separah ini. Aku akan membuatkanmu obat. Jadi, setelah kau meminum obat itu secara rutin, selera makanmu tidak akan seperti ini lagi."
"Apa rasa obat itu? Pahit, kan? Aku tidak mau minum obat!"
"Kau harus minum obat. Kau ingin jatuh sakit tidak makan secara teratur? Tidak, kan? Aku juga tidak mau kau sakit! Pokoknya turuti apa yang aku katakan jika kau ingin tetap hidup."
"Ahh, sudah jam satu siang. Waktunya pelajaran Matematika dimulai. Kau harus ikut denganku belajar privat. Ayo kita menuju ke ruan-"
"Aku tidak mau."
Aku menatap mata biru malamnya. Berusaha mengertikan alasan dia tak mau mengikutiku belajar materi umum melalui matanya.
Sesuai jadwal, aku harus mengikuti kelas privat agar aku tidak menjadi seseorang yang bodoh. Dan materi pembelajarannya adalah materi umum yang ada di sekolah. Aku telah merencanakan, Mocca juga mengikutiku belajar dengan guru privatku. Hanya saja, aku masih belum mengetahui alasan dia tidak ingin ikut belajar bersamaku. Dari matanya, aku bisa tahu bahwa ada sesuatu yang belum aku ketahui.
"Dari kemarin dan kemarin, kau selalu menolak ajakanku untuk mengikuti kelas belajar. Kenapa, Mocca? Apa alasanmu? Katakan padaku. Kau tak boleh menyembunyikan sesuatu padaku. Keluarkan rasa keluhanmu itu padaku melalui kata-katamu. Apapun keluhanmu itu, aku akan dengarkan dan terima itu. Katakanlah." Aku meraih wajahnya, mengelus rambut pirangnya yang terurai panjang.
Wajah Mocca sedikit menunduk, membuang kontak mata dariku. Aku melangkah sekali lagi mendekat padanya. Kini sebelah tanganku yang satunya juga ikut meraih wajahnya. Mengangkat wajahnya perlahan sampai aku mampu kembali menangkap langit malam itu. Aku tersenyum.
Tak ada balasan. Kami berdua hanya bergeming dalam tatapan. Matanya yang seindah itu membuatku tak sudi untuk berkedip. Namun, yang membuatku risih, ada keraguan pada matanya. Aku benar-benar ingin tahu, apa yang sedang dia pikirkan sekarang.
"Mocca, kenapa kau diam? Jawablah. Aku mohon."
🎃TO BE CONTINUE ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top