4

Seminggu setelah pembicaraannya di telepon dengan Dean, Oi selalu menyibukan dirinya dengan pekerjaan dan membantu bibi serta paman di kebun.
Dia menganggap kalau Dean hanya becanda saja, karena seingat dia Dean itu paling konyol kalau di luar rumah.

Pagi hari yang sangat panas, seperti hari-hari sebelumnya, Oi yang akan pergi ke sekolah terlihat berjalan kaki menyusuri jalan setapak di pinggiran kebun sayur.

Baju dinasnya terlihat sedikit basah, terkena embun pagi yang masih mengendap di dedaunan.

Oi tidak mempedulikan pakaiannya, karena yang dia pikirkan hanya berjalan secepat mungkin agar segera tiba di jalan besar yang beraspal.

Dengan nafas yang masih ngos-ngosan.Oi akhirnya tiba di pinggir jalan beraspal.
Wajah manisnya bersimbah keringat yang mengucur deras, kulit putihnya tampak kemerahan.

"Yaa Tuhan. Kenapa sepagi ini udara terasa sangat panas. Apa mau hujan lagi ya?" Gumamnya, seolah tengah berbicara dengan seseorang.

Oi membersihkan sepatu yang di pakainya dengan cara menginjak rerumputan yang ada di pinggir jalan.

Selesai membersihkan sepatunya Oi kembali melangkahkan kakinya menyusuri pinggir jalan yang sepi.

Baru beberapa langkah, tiba-tiba dia di kagetkan oleh sebuah kendaraan roda dua yang langsung berhenti di hadapannya.

Oi melihat sekilas wajah si pengendara, orang yang sama! Yang membeli sayuran dari kebun milik pamannya, yaitu Aqmar.

"Maaf Bu Guru," ucapnya dengan sopan.

Oi hanya mengangguk samar, tanpa memberikan jawaban apapun.

"Ehh, Bu Guru. Kalau berkenan saya antar sekalian Bu? saya juga melewati sekolahan tempat Ibu mengajar kok!" Ucap Aqmar dengan canggung.

Oi terdiam sejenak, seolah mencerna ucapan demi ucapan yang kekuar dari mulut pria di hadapannya.

"Sudah dekat kok, saya jalan kaki saja, terima kasih." Dengan tegas Oi mengucapkan kata penolakannya terhadap Aqmar.

Sekilas terlihat raut kecewa Aqmar, tapi Oi tak mau peduli.
Dia sudah berjanji, tidak ingin dekat dengan siapapun apa lagi seorang pria, walaupun hanya untuk berteman.

"Bu Guru yakin gak mau bareng saya? Masih jauh loh Bu!" Aqmar kembali mengungkapkan keinginannya untuk mengantar Oi ke sekolahan.

"Terima kasih banyak, saya jalan saja, sekalian olah raga!" Ucap Oi beralasan, walaupun akan di anggap tak masuk akal oleh Aqmar, dia tak peduli, yang terpenting, dia bisa segera berlalu dari hadapan pria itu.

"Baiklah, kalau begitu saya duluan Bu, permisi." Aqmar langsung menyalakan motor matic yang di kendarainya, dan pergi meninggalkan Oi sendirian.

Oi hanya mendesah, terserah orang mau mengatainya sombong atau apalah karena dia selalu menolak untuk berinteraksi dengan siapapun kecuali paman dan bibinya serta murid-muridnya.

Tatapan matanya menatap tajam pada pria yang baru saja hendak membonceng dirinya. "Namanya Aqmar atau siapa? Kata Bibi bukan itu namanya, di panggilnya itu?"

Dengan langkah kaki gontai, Oi kembali melangkahkan kakinya menuju sekolahan.
Berjalan kaki sejauh beberapa kilo meter, sudah tidak aneh bagi Oi kakinya sekarang sudah terbiasa.
Awalnya mungkin dia sangat tersiksa, tapi itu sudah lama berlalu.

Oi menghela nafas lega setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya gerbang sekolahan tempatnya mengajar terlihat dari kejauhan.
Jauh? Ya, masih lumayan jauh! Oi memaksa kedua kakinya untuk berjalan cepat dan menyebrangi jalan agar segera tiba di sekolahan.

Suara anak-anak sekolah dasar yang tengah bermain terdengar sangat ramai, sebagian dari mereka terlihat berlarian, sebagian lagi hanya duduk dan menikmati jajanan yang di jajakan oleh beberapa penjual keliling.

Kedua bola mata Oi berbinar begitu menatap bangunan yang selama setahun ini menjadi tempatnya mencari nafkah.

"Pagi anak-anak" sapa Oi, pada saat melewati gerombolan murid kelas satu.

"Pagi bu Challia" suara serempak anak-anak yang menjawab sapaannya terdengar riuh dan saling bersahutan.

Mereka saling berebut untuk bersalaman.
Oi tersenyum bahagia, rasanya hati dan jiwanya begitu sangat bahagia, melihat murid-muridnya yang datang menghampirinya dan menyambut kedatangannya.

Oi langsung menuju ruangan guru, bukan ruangan mewah dengan isi serba wah, tetapi, hanya ruangan sederhana, berisi beberapa meja dan lemari yang terlihat sudah agak lapuk.
Jangan berharap akan melihat komputer atau air conditioner, karena televisi atau sekedar kipas angin saja tidak ada di sana.

Lemari tua tempat menyimpan data-data para murid dan buku-buku pelajaran yang sebagian sudah robek sampulnya.

Ruangan terlihat sepi hanya ada seorang rekan kerjanya yang terlihat tengah memilah beberapa buku dari dalam lemari.

"Pagi Bu Sri" Oi menyapa rekan sejawatnya, yang masih terlihat fokus dan tidak menyadari kehadirannya di sana.

"Ohh, pagi Bu Challia, punten atuh nya gak tau kalau ada Ibu di situ!" Ucapnya sambil tertawa konyol.

Oi hanya tersenyum melihat tingkah Sri.

"Iya Bu Sri, gak papa!"

"O iya, Chall hari ini pulang sekolah, kita jajan bakso yuk?" Sri yang sedari tadi terlihat serius memilah buku, menghampiri Oi dan mengajaknya pergi.

"Aduh, saya gak janji Sri. Memang di mana tempat yang jualannya?"

"Di perbatasan desa, nanti kita jalan saja ke sana, kata orang-orang, baksonya enak pisan, Sri teh jadi pengen nyobain!" Lanjutnya lagi.

"Tapi saya gak janji ya Sri, kan kamu tau sendiri, saya jarang kemana-mana kalau pulang dari sekolah."

"Makanya, kamu teh harus ikut, biar tau. Aku teh suka kagok kalau nyebutin nama kamu!" Sri menatap Oi dengan tatapan aneh, seolah sedang menebak-nebak. "Enaknya manggil kamu apa ya? Lia, Challi, Cici, aduuh meni riweuh pisan."

Oi tertawa mendengar ucapan Sri, yang tengah mencari nama panggilan untuk dirinya.

"Terserah kamu, mau panggil saya apa Sri, saya duluan ya, anak-anak sudah pada masuk tuh!"
Oi melirik Sri yang masih menatap dirinya, Oi berpikir sejenak, mungkin tidak masalah, jika sesekali dia keluar dan menerima ajakan Sri.

Sri hanya mengangguk dan mempersilahkan Oi.

Oi memasuki ruang kelasnya, anak-anak kelas satu yang sebagian terlihat masih takut-takut pada saat melihat dirinya.
Oi tersenyum, dan menyuruh beberapa murid yang berlarian untuk duduk
Kemudian dia mengeluarkan buku besar, yang berisi daftar nama-nama muridnya.

Oi dengan cepat mengabsen murid-muridnya.
Dan membimbing para murid untuk membuka buku bergambar mereka.
Hanya pelajaran ringan atau pengenalan warna-warna dan angka saja yang di ajarkannya, dan Oi harus berlarian menuju kelas 2, yang juga menjadi tanggung jawabnya.

Memanglah mata pelajarannya sangat mudah, akan tetapi tanggung jawabnya tidaklah semudah yang di bayangkan orang lain.

Oi harus memiliki sejuta kesabaran menghadapi sifat dan tingkah ajaib setiap anak didiknya.
Belum lagi kalau ada anak yang ribut dan berkelahi, dia juga harus jadi penengah.
Oi pun harus menjelma menjadi pengganti orang tua mereka.
Bahkan jika ada murid yang tiba-tiba sakit, dia pun harus dengan suka rela mengantarkannya pulang. Karena di desa setiap murid yang berangkat sekolah tidak pernah di antar jemput orang tuanya mereka benar-benar melepas anaknya dan tidak pernah ikut campur selama proses belajar mengajar.
Dari pukul tujuh pagi sampai pukul sepuluh atau sebelas siang.

Memang hanya sebentar saja, tapi mengawasi puluhan anak bukanlah hal mudah.

Walaupun melelahkan, tapi Oi sangat bahagia.

Punten atuhnya/maafin ya
Meni riweu pisan/ribet sekali

Di tempat aku ngajar dulu, pada saat melihat guru, para murid dengan kompak menghampiri dan menyalami guru.
Bukan hanya sekedar salaman biasa, tapi sun tangan gitu. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top