Senja, Sunset Dan Senyumannya?
=Y O E L=
Aku membaringkan tubuhku diatas kasur setelah pulang dari sekolah, merasakan kenyamanan yang diberikan oleh si kasur sambil memejamkan mata, kembali mengingat kejadian siang tadi waktu diperpustakaan.
Saat pelajaran Bahasa Indonesia, Pak Mika menyuruh kami para murid untuk membaca novel di perpustakaan, aku memang gemar membaca tetapi bukan membaca novel. Terpaksa siang itu, aku harus membaca sebuah novel yang aku lupa apa judulnya.
Sewaktu aku terbawa kedalam dunia fantasi novel, Tom menyenggol lenganku. Aku mendongak. Tom menunjuk manusia berkepala plontos yang sedang melangkah menghampiri meja kami dengan dagunya.
"Dia nyariin lo El?"
Aku mengangkat bahu. Mana aku tau.
Laki-laki yang mirip rapper Saykoji itu duduk didepanku. Aku menatapnya sinis.
"Gue kesini bukan mau ngajak berantem. Gue kesini cuma mau bilang kalau gue udah minta maaf ke Lena, bahkan gue ngasih sekotak coklat sebagai tanda maaf...." Dado terdiam sejenak.
So?
"Emmm... Sebenernya gue suka sama Lena, dari awal gue liat dia, gue merasakan ada hal yang menarik untuk diulik dari gadis itu. Gue cuma nggak bisa nyatain apa yang gue rasa. Gue sadar apa yang gue lakuin itu salah, maafin gue. Gue janji nggak bakal gangguin Lena lagi. Gue...."
Dado menundukkan kepala. Aku masih menunggu kelanjutan kalimatnya.
Hm, terus?
"Gue mutusin buat ikut nyokap ke Kalimantan, jadi gue cuma mau pamit, kalau aja Lena nanyain keberadaan gue, setidaknya lo bisa bilang ke Lena. Sekali lagi, gue minta maaf. Gue pamit dulu." Dado berdiri lalu membungkukkan badan.
Aku tersenyum, "Do, semoga perjalanan lo menyenangkan."
Dado mengangguk lalu melangkah pergi keluar perpustakaan. Cat dan Tom menatapku.
"Tolong jelaskan apa yang sudah terjadi, El."
Aku menyadarkan punggung ke sandaran kursi. Menghela nafas.
"Hmm, ya, jadi...kemarin gue kerumah Dado ngasih sedikit pembelajaran ke dia. Dia udah kelewatan ngebully kokeshi. Menurut gue, sih."
Aku menghela nafas lagi. Cat memiringkan kepalanya menatapku. Tom melipat kedua tangannya didepan dada, menatapku. Oke semua menatapku.
"Lo tu kayak Maleficent tau nggak. Diluar keliatannya jahat tapi didalem sangat baik."
Menghela nafas panjang. Perkataan Tom terngiang dikepalaku. Aku mengambil bantal untuk menutupi muka lalu berteriak sekeras mungkin.
"Aaaaaaaaaaaaaaa!"
++++
Sore itu saat aku keluar dari kamarku, entah dorongan darimana--dan apa yang aku inginkan--kaki ini melangkah memasuki kamar Beasty. Kamar Beasty didominasi warna biru langit dan putih susu. Ruangan ini sama besarnya dengan kamarku, bedanya di kamar ini banyak lukisan sketsa yang tertempel didinding dan lebih rapi.
Aku duduk ditepi kasur, memejamkan mata. Tidak ada yang ingin aku lakukan, aku hanya ingin berdiam di tempat ini untuk beberapa saat, hingga lelahku menghilang. Ketika aku berdiam diri, indra penciumanku merasakan adanya kehadiran aroma coklat yang memenuhi ruangan ini. Aroma ini terlalu familiar untukku.
"El? Ngapain disini?"
Mendengar suara seorang yang sangat aku kenal--yang sudah menyita pikiranku beberapa hari ini. Reflek aku membuka mata.
Beasty?
Dia berdiri tidak jauh dariku, gadis itu masih memakai seragam. Baru pulang? Jika dilihat dengan seksama gadis itu tidak terlalu buruk. Pantas saja Dado menyukainya.
"El?"
Terkejut ketika suara itu mulai mendekat, dia sudah berada didepanku. Sejak kapan dia mendekatiku?
"Ah...itu...emm..." Mendadak aku menjadi gagap. Berusaha mencari jawaban yang tepat untuk menjawab kenapa aku bisa berada disini, tetapi ternyata benda keriting didalam kepalaku tidak dapat merangkai kata yang aku butuhkan sebagai alasan.
Ah kenapa tidak ada alasan yang muncul di kepalaku? Kenapa aku bisa berada disini?!!!
"Ah lupakan, cepat ganti baju mu. Ayo ikut aku." Aku berdiri, dan melangkah keluar dari kamar gadis itu. Seketika aku tersadar. Sejak kapan aku ber-aku kamu dengannya? Dasar bodoh!
++++
Didalam mobil, aku lebih memilih diam. Aku masih merutuki kebodohanku yang sok bersikap baik sewaktu di kamar Beasty. Aku tau daritadi Beasty sedang menatapku. Aku tau pasti dia ingin bertanya kemana aku akan membawanya pergi.
"Kalau mau ngomong, ngomong aja kali. Nggak usah ngeliatin terus. Lo kira gue lukisan?"
Aku menatap gadis itu sejenak lalu kembali menatap jalanan.
"Emm...ini...mau kemana?"
"Jalan-jalan, sekedar melihat Jogja di sore hari."
Yah memang dari pagi aku melihat beasty tidak menampakkan wajah yang ceria. Dari pagi wajahnya terlihat sendu. Aku rasa dia sedang bersedih. Jadi tidak ada salahnya aku mengajak dia jalan-jalan. Rencananya dia mau aku bawa ke pantai Parangtritis, katanya sunset disana terlihat cukup bagus. Siapa tau gadis itu menyukainya.
Hei tunggu dulu, tunggu dulu. Kenapa aku mendadak peduli dengannya?
++++
Sesampainya di pantai, aku melihat beasty tersenyum sangat lebar. Seperti seseorang yang tidak pernah melihat hamparan air yang membentang luas. Tetapi aku suka senyuman itu. Rasanya aku ingin terus melihatnya tersenyum. Eh?
Duduk disalah satu tikar yang sudah disediakan disana, merasakan hembusan angin pantai yang sepoi-sepoi. Aku mengambil Sevendii, lalu membidik seorang penjual makanan ringan yang sedang duduk dipinggir pantai.
Hampir semua kegiatan di pantai ini sudah terbidik oleh sevendii. Hanya ada satu objek yang belum sempat aku bidik. Seorang yang tidak jauh dari pandanganku, seorang gadis yang sedang merentangkan kedua tangannya dan menengadahkan kepala melihat langit. Gadis itu terlihat sangat menikmati terpaan angin pantai.
Beasty.
Aku mengangkat sevendii lalu mengarahkan bidikanku kearah gadis itu. Tepat disaat aku ingin membidik, sang penguasa langit siang terlihat mulai turun secara perlahan membelah cakrawala, senja mulai memudar.
Lewat view finder, beasty terlihat--sangat--cantik dan mempesona apalagi ditunjang dengan background sunset yang indah. Itu sungguh sangat luar biasa menakjubkan.
Rambutnya yang digerai diterpa oleh angin menyebabkan tatanan rambutnya menjadi berantakan, sesekali dia akan merapikan rambutnya dengan jari jemarinya. Melihat hal itu dari view finder, mendadak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku terpesona dengan gadis itu. Merasa ada yang janggal dengan sikapku, aku menghentikan aktifitasku.
Apa yang terjadi padaku?
Aku menurunkan sevendii, lalu mencoba mereview hasil dari bidikanku. Satu persatu aku melihat hasil bidikanku, aku terhenti ketika melihat foto beasty. Senyumannya, wajahnya. Kenapa dia sangat...mempesona?
"Ihhh bagus banget ituuu, buat aku ya El?"
Hampir saja sevendii terjatuh dari genggamanku. Suara beasty sangat mengejutkanku.
Sejak kapan gadis ini berada di sampingku? Gadis ini jelmaan siluman ya?
"Lo hampir aja bikin my babe sevendii jatuh tau nggak. Kalau jatuh terus rusak lo mau ganti ha?"
Beasty menundukkan kepalanya, takut jika aku makin murka. Aku menghela nafas. Sepertinya aku memang terlalu jahat.
"Sori gue reflek bentak lo. Oke, oke, nanti gue kasih salinannya buat lo."
"Bener?"
Aku mengangguk. Meski aku tidak yakin. Seketika wajah beasty berubah menjadi sumringah, senyuman itu, lagi-lagi tercetak manis diwajahnya.
Uhhh bisa nggak sih jangan tersenyum seperti itu? Rasanya aku ingin menggigit gadis ini. Oh Tuhan kenapa dengan aku ini?
Disela keheningan yang tercipta, hanya suara debur ombak dan gelak tawa para pengunjung yang terdengar. Aku sangat menikmati suasana sore menjelang malam ini. Aku menatap wajah samping beasty yang duduk disebelahku.
Kenapa aku tidak mengusir mu menjauh dariku? Biasanya kan aku tidak suka kalau kau dekati. Lihat dirimu. Sangat memanjakan mataku. Semua kalimat yang terangkai itu tidak bisa aku keluarkan dengan suara, hanya bisa aku katakan dalam hatiku.
"El?"
Aku kembali memandang view pantai saat beasty menatapku.
"Hm?"
"Kenapa ngajak aku kesini?"
"Emang harus banget ada alasannya?"
Sejujurnya, aku memang tidak mempunyai alasan yang kuat kenapa aku bisa mengajak beasty ke sini. Hanya saja, aku tidak ingin melihatnya bersedih.
"Emmm....mungkin."
Kami kembali terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sang rembulan telah menampakkan wujudnya. Angin pantai yang berhembus mulai dingin menusuk kulit. Beasty mengusap-usap kedua lengannya, kedinginan.
Ya wajar aja kedinginan, gadis itu memakai baju yang kurang bahan. Kaos tanpa lengan, celana hotpant.
Hah, gadis ini benar-benar mengundang nafsu para lelaki yang melihatnya. Aku melepas jaketku, lalu menyampirkannya keatas pundak beasty . Beasty menatapku, tatapan kami bertemu. Seketika aku menjadi salah tingkah.
Ah kenapa aku melakukan hal semanis ini? Seharusnya aku tidak boleh seperti ini. Ingat, aku ini membencinya dengan sangat.
"Ini?" Beasty menatapku dan menujuk jaket yang aku berikan tadi dengan jari telunjuknya. Tidak mau terlihat salah tingkah aku memalingkan wajahku. Aku menghela nafas panjang. Didalam hatiku, aku merutuki kebodohanku yang terus saja aku ulangi.
Dasar bodoh, kau bodoh El. Sangat bodoh.
"Pakai aja, ayo balik. Udah malem." Aku berdiri, lalu melangkah meninggalkan beasty yang menatapku dengan tatapan kebingungan.
Baru beberapa langkah, aku menyadari bahwa beasty masih setia duduk ditempatnya. Aku menghela nafas panjang untuk kedua kalinya. Kenapa gadis ini begitu merepotkanku? Aku membalikan badan, menatap kesal kearah beasty yang masih terdiam.
"Heh pettite, lo mau pulang apa enggak? Gue tinggal nih!"
Mendengar teriakanku, gadis itu baru berdiri dan menghampiriku.
"Ihh kok pettite sih? Kan aku punya nama!"
Ya kau memang pendek, beasty , lagipula aku tidak tau siapa nama aslimu.
"Lo emang pendek. Lo ngomong sama gue aja pakai ndangak gitu. Dasar pendek."
Beasty mengerucutkan bibirnya. Sungguh itu sangat menggemaskan. Tolong jangan seperti itu, aku tidak tahan, rasanya aku ingin mencubitmu.
Oh tolong beri aku kekuatan Tuhan.
Sore itu, aku menjadi benar-benar menyukai senja, sunset, dan
.
.
.
.
.
.
Senyumannya?
Rasa benci yang telah aku tanam sejak pertama kali bertemu dengannya, kini sedikit demi sedikit telah menghilang. Rasa benci setiap melihat dirinya telah berganti dengan rasa ingin terus melihatnya. Senyumnya. Ya, senyumannya, itu alasan paling utama kenapa aku mulai ingin terus melihatnya. Senyuman itu bagai candu untukku.
Sekarang peran villain telah menjelma menjadi good guy, huh?
======================
"Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita, semakin adil pertimbangan kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang. Tiada mendendam, itulah bahagia." -R.A Kartini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top