Sekaten
Hari ini beasty diperbolehkan pulang karena keadaannya yang sudah membaik. Sudah dua hari ini aku sering bolak-balik ke rumah sakit, hanya untuk sekedar mengetahui bagaimana keadaan beasty.
Selama aku di rumah sakit, beasty tidak pernah berhenti bercerita. Dia menceritakan banyak hal. Mulai dari kebiasaan ayahnya yang suka tidur sambil berjalan, kebiasaan bundanya yang kalau makan tanpa kecap itu berasa bukan makan. Coba bayangkan makan rujak pakai kecap. Apa enak?
Beasty juga menceritakaan tentang teman-temannya yang berada di Bogor. Ngomong-ngomong tentang Bogor, kemarin teman beasty datang untuk menjenguk. Namanya Sophia. Gadis kurus dengan tinggi badan melebihi aku. Tatapannya selalu tajam ketika melihat aku. Untuk urusan wajah, jangan ditanya. Dia lebih tampan dari aku. Pfft sial.
Dia adalah kapten basket putri di SMP-nya yang dulu. Hampir semua siswi perempuan menggilai Sophia. Entah apa motifnya dia menjenguk beasty. Padahal kata beasty, dia dan Sophia bukan teman dekat. Bahkan, beasty juga terkejut karena kedatangan Sophia yang tiba-tiba.
Dari semua cerita yang dilontarkan beasty hampir tidak pernah aku merasa bosan. Apa yang diceritakan beasty mampu membuatku terdiam. Bukan. Bukan karena ceritanya, tapi karena aku dapat melihat ekspresi bahagia yang selalu terpancar dari matanya. Aku menyukai itu. Gadis itu benar-benar memukau diriku.
Meskipun sebenarnya aku sangat tidak menyukai perempuan yang berisik. Aku selalu merasa pusing jika mendengarkan ocehan perempuan yang berisik. Tapi sepertinya beasty menjadi pengecualian. Aku menyukai beasty, seberisik apapun gadis itu. Aku tetap menyukainya.
++++
"Wah Non Lena udah pulang. Bibi kangen banget loh sama celotehannya Non." Bi Ani menghampiri kami dan mengambil koper yang aku bawa.
"Aku juga kangen sama Bibi, kangen sama masakan Bibi. Makanan rumah sakit nggak ada yang enak."
Karena tidak mau mendengarkan pembicaraan mereka. Aku lebih memilih untuk bersantai. Kurebahkan tubuhku pada sofa yang sangat nyaman ini, mengambil posisi menyandar pada sandaran sofa, dan mendongakkan kepala serta mencoba memejamkan mata, merasakan rasa capek yang sedikit demi sedikit memudar.
Baru beberapa detik memejamkan mata, aku merasakan pundak kiriku berat. Harum aroma buah apel masuk kedalam indra penciumanku.
"El, makasih udah mau nemenin aku selama di rumah sakit."
"Hm." Aku masih setia memejamkan mataku, tidak ingin membukanya sedikitpun. Aku merasa nyaman ketika aroma apel yang keluar dari rambut beasty menyeruak masuk kedalam hidungku. Dia pakai shampo apa sih?
"El?"
"Hm?" Aku baru membuka mata ketika beasty sudah tidak menyandarkan kepalanya. Dia menatapku. Dulu, aku sangat ingin menampar gadis ini ketika dia menatapku, tetapi sekarang, rasanya aku ingin menggigit gadis ini. Degup jantungku tidak pernah santai berdetak ketika dia melihatku.
"Temenin aku ke Sekaten, yuk?"
Aku mengernyitkan dahiku. Sekaten? Serius?
"Sekaten? Tapi kan kamu baru aja sembuh, masa mau keluar malem? Nanti kalau sakit lagi gimana?"
"Ihhhh, aku pengen ke Sekaten, aku nggak pernah lo ke Sekaten. Aku nggak bakal sakit kok, beneran deh. Aku kuat." Beasty memasang muka yang seimut mungkin. Sesungguhnya tidak perlu dibuat imut pun wajahnya sudah sangat imut.
Pada akhirnya aku hanya bisa menghela nafas pasrah. Mana mungkin aku menolak ajakan gadis seimut dia?
"Oke, tapi kalau lo sampai sakit, gue nggak mau tanggung. Sekarang lo boleh pergi sebelum gue berubah pikiran."
Mendadak beasty terlihat sangat sumringah. Seperti anak kecil yang mendapatkan berbungkus-bungkus coklat di hari ulang tahunnya.
"Oke, nanti jam empat aja ya perginya?"
Aku mengangguk, kemudian beasty berlari dengan riang menaiki tangga menuju ke kamar. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil. Aku hanya bisa menggeleng melihat tingkah lakunya.
++++
Seperti kata beasty, jam empat sore aku sudah siap untuk berangkat ke Sekaten. Aku menunggu di ruang santai sambil menonton televisi. Sepuluh menit menunggu, beasty belum juga turun. Aku mulai kesal. Gadis itu benar-benar lama.
Beberapa menit telah aku lalui dengan sabar, beasty belum juga menampakkan dirinya. Sebenarnya gadis itu tidur atau pingsan?
Satu jam telah berlalu. Tepat pukul lima sore, beasty turun dan menghampiriku. Dia mengenakan t-shirt berwarna putih dengan gambar muka Taylor Swift yang memakai lipstik merah dipadukan dengan celana jeans dan sepatu sneakers Adidas berwarna senada dengan t-shirtnya.
Melihatnya yang sangat cantik dan imut membuatku mengurungkan niat untuk marah-marah. Tidak baik memarahi seorang gadis yang terlihat sangat bersemangat untuk datang ke Sekaten.
"Maaf kelamaan, tadi luluran dulu. Yuk berangkat."
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Meski hati sedikit dongkol karena dia seperti tidak ada salah telah membuat aku menunggu lama.
Suasana didalam mobil sangat hening, aku maupun beasty tidak ada yang mau membuka suara. Mungkin karena sudah terbiasa didalam mobil tanpa suara.
++++
Sore itu Alun-Alun Utara kota Yogyakarta sudah sangat ramai. Pasar Malam Perayaan Sekaten, adalah acara yang sangat ditunggu oleh kebanyakan orang.
Ini kali kedua aku datang ke Sekaten. Pertama kali aku datang ke sini, ketika umurku masih lima tahun. Tentunya saat orangtuaku belum bercerai. Saat keluargaku masih baik-baik saja.
Dengan sangat antusias beasty mengajak aku untuk menaiki wahana komidi putar. Aku mengiyakan ajakannya.
"Ayo naik itu." Beasty menarik lenganku untuk mendekati wahana komidi putar. Setelah selesai dengan komidi putar, dia mengajak aku untuk menaiki wahana bianglala.
Selesai dengan sangkar burung berputar, dia mengajak aku menaiki wahana ombak banyu. Selesai dengan ombak banyu, dia mengajak aku melihat atraksi di Tong Stand. Di wahana ini kalian akan diajak untuk melihat aksi para pemberani yang mengendarai motor di dalam sebuah tong besar yang terbuat dari papan kayu. Dari atas, kalian bisa melihat atraksi para pemotor yang berputar-putar dalam sisi-sisi tong yang miring dengan kecepatan yang diatas rata-rata orang normal.
Puas melihat atraksi di tong stand, kemudian beasty mengajak aku memasuki rumah hantu. Aku pikir beasty orang yang pemberani. Tetapi ternyata pikiranku salah. Dia bukan orang yang pemberani.
Saat di dalam rumah hantu, tangan beasty tidak pernah melepaskan genggamannya. Tangannya sangat erat menggengam tanganku. Sesekali ketika para hantu palsu itu menakut-nakuti para pengunjung, beasty akan berteriak dan memelukku. Ketika sudah bisa keluar dari rumah hantu dengan selamat, gadis itu terlihat sangat puas dan senang.
Ku pikir setelah itu beasty akan mengajak berhenti dan beristirahat, tetapi ternyata rasa lelah tidak ada di dalam kamusnya. Beasty masih mengajak aku untuk menaiki wahana kora-kora. Untuk yang satu ini aku menolak dengat sangat.
Pasalnya, wahana kora-kora yang berada di Sekaten ini tidak safety. Itu menurutku. Rantai yang menahan kapal dengan tiang penyangga kondisinya sangat mengenaskan, seperti--hampir--mau putus. Ditambah tidak adanya sabuk pengaman untuk para penumpang.
Aku membayangkan jika kapal itu berayun dari kanan kekiri dengan kecepatan penuh lalu rantai itu putus. Bisa dibayangkan, pasti kapal itu akan terplanting jauh dan jatuh dengan tidak santai. Ah negatif sekali pikiranku.
"Ah cemen banget sih, masak naik kora-kora aja nggak berani. Yaudah aku sendiri aja kalau gitu."
Aku hanya mengangkat bahu ketika dia berkata seperti itu. Karena sebenarnya bukan aku tidak berani, hanya saja aku terlalu sayang nyawaku. Aku tidak mau mati diusia muda.
Setelah beasty meninggalkan aku sendirian, aku memilih untuk melangkahkan kaki ke stand penjual bakso dan sosis bakar yang tidak jauh dari tempat wahana kora-kora. Disana aku menunggu beasty sambil memakan sosis bakar yang telah aku pesan.
Dari sekian banyak penjual makanan, aku hanya mempercayakan diriku untuk membeli bakso dan sosis bakar ini. Karena sepertinya hanya stand makanan ini yang paling bersih. Ya, aku memang memperhatikan ke higenisan makanan yang aku makan.
Selesai menaiki kora-kora, beasty menghampiriku dengan senyum yang merekah. Aku bergeser sedikit ketika dia duduk di sampingku. Dia mengambil plastik mika yang menjadi wadah untuk sosis dan bakso bakar yang aku pegang, lalu mengambil satu tusuk bakso bakar dan memakannya dengan lahap.
Aku menatap sedih bakso dan sosis bakar yang hampir habis dilahap oleh mulut mungil milik beasty. Oh bakso ku sayang, sosisku malang.
"Kamu tadi harusnya ikut naik kora-kora, El. Kan lumayan bisa buat melepas penat."
Kini dia menghadap kearahku. Plastik mika yang tadinya penuh dengan sosis dan bakso bakar telah benar-benar kosong.
Kenapa gadis ini dengan tanpa dosa menghabiskan makanan yang aku beli? Tidak taukah dia kalau sang empunya makanan baru memakan satu tusuk sosis bakar?
"Melepas penat itu banyak caranya, nggak harus naik kora-kora." Aku memalingkan pandanganku dari hadapannya. Rasanya sangat malas melihat gadis itu karena dia sudah menghabiskan makananku dengan tanpa dosa.
Ketika hati ini masih terasa dongkol, mataku bergerak mengikuti gerak-gerik seorang anak perempuan berumur kira-kira lima tahunan yang sedang berlari mendekati penjual arum manis. Saat anak itu mendapatkan arum manisnya, dia kembali berlari mendekati ayahnya. Karena larinya yang tidak seimbang, anak itu terjatuh dan menangis sesenggukan. Dengan sigap ayah dari anak perempuan itu mendekati dan menggendongnya, mengusap-usap punggungnya mencoba menenangkan.
Melihat hal itu, memori yang sudah lama tidak pernah ingin aku ingat, kembali terputar dengan jelas dikepalaku. Memori tentang masa kecilku yang menyenangkan.
Aku menundukkan kepala ketika mataku terasa panas dan terbakar. Aku tidak boleh menangis. Ini bukan waktu yang tepat.
"El, aku mau arum manis."
Aku mendongakkan kepala tanpa mau menoleh menatap beasty.
"Ya sana, aku tunggu sini."
"Ah ayo temenin, El."
Beasty menarik lengan bajuku, membuatku menghela nafas.
"Oke, oke."
Dengan terpaksa aku mengikutinya. Kalau sudah seperti ini, aku benar-benar seperti kakak yang baik untuk adiknya. Kenapa nggak dari dulu aja aku berdamai dengan gadis ini? Kenapa baru sekarang?
++++
Malam itu, aku benar-benar merasa nyaman berada disamping beasty. Aku suka melihatnya terseyum dan tertawa. Setelah menghabiskan satu bungkus arum manis berukuran jumbo, beasty mengajakku pulang. Sepertinya dia sudah benar-benar lelah.
Pukul sembilan malam, kami sampai dirumah. Aku maupun beasty tidak ada yang berniat untuk turun dari mobil. Aku melepas safety belt lalu menatap beasty. Dia membalas tatapanku.
"Makasih ya El buat malam ini. Aku seneng."
Aku mengangguk. Untuk beberapa detik, aku masih dengan setia menatap manik mata miliknya. Lalu entah dorongan darimana, aku memajukan wajahku mendekati wajahnya. Jarak antara kami hanya beberapa jengkal. Beasty memejamkan matanya.
Drrrttt... Drrrtttt... Drrrtttt....
Getaran dari ponsel yang tercipta membuat aku maupun beasty tersadar. Dia memalingkan wajahnya, lalu mencari ponselnya yang bergetar. Sedangkan aku hanya menatap kosong kedepan, lalu merutuki kebodohanku sendiri. Tidak seharusnya aku melakukan hal itu.
Apa yang kau pikirkan El? Kenapa kau mau mencium gadis itu? Hei ingat, dia adalah adik tirimu.
Versi mini diriku mulai menasehati. Oke, aku akan mendengarkan.
==============
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top