New

Sepulang sekolah aku langsung meluncur ke kediaman Mama di daerah Jl. Wates km 9. Perjalanan dari sekolah hingga rumah Mama hanya memakan waktu 30 menit. Itupun kalau tidak macet. Sesampainya di rumah baru Mama, aku disambut oleh Pak Kunto. Penjaga rumah.

"Eh Non Lova, apa kabar? Kok baru keliatan?"

Setelah aku memarkirkan motor dengan benar, aku menghampiri Pak Kunto.

"Iya nih Pak. Mama ada?"

"Ada Non di dalem, lagi nyiapin barang-barang."

"Lova masuk dulu ya, Pak."

Aku menghirup sebanyak mungkin oksigen sebelum memasuki rumah. Sudah sekitar 1 bulan ini aku tidak pernah bersua dengan Mama. Aku merasa canggung bertemu dengan Mama.

Setelah aksi diamku, Mama akhirnya mengijinkanku tinggal sendiri. Apa itu tidak mengherankan? Aku sedikit curiga dengan Mama, jangan-jangan aku mau dibawa ke Bogor kota kelahiran Om Jonas, suami baru Mama.

"My Lova, putri kesayangan mama. Mama kangen berat loh, Nak."

Mama memelukku yang masih berdiri mematung di depan pintu. Sejak kapan aku berdiri di sini? Kayaknya tadi masih di depan gerbang.

Aku menikmati pelukan Mama. Sudah lama aku tidak dipeluk seperti ini oleh Mama. Aku merindukan sosok Mama. Aku merindukan kasih sayang Mama. Aku merindukan perhatian Mama. Aku merindukan semuanya. Meski aku merindukan Mamaku, tapi tetap saja rasa egoku mengalahkan rasa rinduku.

"Eh ada Lova. Apa kabar, Nak?"

Aku melepaskan pelukkan Mama, melihat sosok lelaki berbadan tegap, dengan jambang yang tercukur rapi. Rambutnya yang berwarna hitam disisir rapi ke samping, lelaki itu sedang berdiri beberapa langkah di belakang Mama. Om Jonas.

Dia tersenyum ramah, mendekati aku dan Mama. Aku mundur beberapa langkah. Tidak mau didekati lelaki itu. Aku bukan tidak suka dengan lelaki itu. Hanya saja aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sekarang aku memiliki dua papa. Tidak. Bukan. Dia bukan papaku. Papaku hanya ada satu, dan tidak bisa digantikan oleh siapapun.

Om Jonas berhenti melangkah, mama menatapku dengan tatapan memohon agar aku bersikap baik di depan Om Jonas. Aku menghindari tatapan Mama. Aku kesini bukan untuk melihat Mama ataupun Om Jonas. Aku kesini mau mengambil barang-barangku. Iya barang-barangku.

Aku berjalan mendekati koper dan beberapa kardus yang ditaruh di sebelah sofa ruang tamu. Mama mengikuti dari belakang. Om Jonas pergi keluar.

"Lova, Mama mohon jangan bersikap dingin dengan pa--"

"Ma, ini barangku kan? Boleh aku minta kunci rumah baruku?"

Sebelum Mama meneruskan kalimatnya aku memotong dengan cepat. Aku tidak mau mendengar Mama menyebut Om Jonas dengan sebutan 'Papa'. Aku hanya belum siap. Terdengar helaan nafas Mama di belakang ku. Aku memejamkan mataku.

Maafin El ma, El gak bermaksud bikin mama sedih. El belum siap.

"Ini kunci rumah kamu, janji sama mama jangan nakal. Mama percayain rumah itu sama kamu."

Aku menerima kunci dari Mama. Mama menatapku. Ada kesedihan terpancar disana. Aku tidak suka melihat Mama sedih. Aku memeluk Mama dengan erat.

"Ma, makasih udah ngasih El kepercayaan, El janji gak bakal nakal. Maaf kalau sebulan ini El ngediemin Mama sama Papa."

Mama mengangguk, aku menahan air mataku agar tidak turun. Bagaimanapun juga aku hanya anak gadis yang masih membutuhkan kasih sayang dan kehadiran Mama. Tapi aku harus bisa memilih jalan hidupku sendiri. Meski bukan jalan seperti ini yang aku impikan.

Untuk kedua kalinya aku melepaskan pelukan ini, aku harus segera pergi dari tempat ini.

"Udah mau pulang, Nak? Nggak mau nginep aja?"

"Enggak Ma, El harus pulang. Rumah El bukan disini."

"Mau Mama anter?"

Aku menggeleng. Tadi saat di sekolah aku sudah menyuruh Cat dan Tom untuk menjemputku. Tidak mungkin dong aku bawa barang sebanyak ini naik motor sendirian? Kasian si cantik dong kalau gitu.

Om Jonas masuk bersamaan dengan dua manusia yang baru saja aku singgung dalam pikiranku. Cat dan Tom.

"Lova, mereka temanmu?"

Aku tidak menggubris pertanyaan Om Jonas. Hanya Pa-Ma, Bi Ani dan Pak Anu yang boleh memanggilku Lova.

"Ma, El pamit ya?"

Mama memelukku untuk yang terakhir kalinya. Hanya beberapa detik. Setelah itu aku mengambil koper dan menyuruh Tom mengambil beberapa kardus. Begitu juga dengan Cat. Sesudah semua barang masuk ke dalam bagasi mobil, aku menyuruh Tom membawa si cantik. Sedangkan Cat dan aku mengendarai mobil.

++++

Dengan berbekal alamat yang ditulis oleh mama dan tentunya dengan bantuan Waze. Kami tiba di rumah dengan gaya vintage-dengan sedikit sentuhan modern-yang berada tidak jauh dari pusat Kota Yogyakarta. Daerah yang strategis. Aku suka.

Rumah berwarna cream dengan halaman depan yang tidak begitu luas, di samping kanan kiri jalan setapak ditumbuhi rumput hijau yang nampak segar. Cat memarkirkan mobilnya didepan car port yang berada tepat di samping rumah.

Aku turun dari mobil, menatap rumah di depan ku dengan takjub. Rumah ini terlalu besar untukku. Suara deru si cantik tertangkap oleh pendengaranku. Aku menoleh ke kiri. Tom baru saja datang.

"Woaaa, Lova rumah ini keren."

Aku menoleh kekanan, ada Cat disamping ku. Sejak kapan dia berada disamping ku?

"Please don't call me Lova!"

Aku meninggalkan Cat yang masih terkekeh.

Aku mengambil kunci rumah di saku rok. Pintu telah terbuka. Aku semakin takjub dengan isi rumah ini. Benar-benar seperti yang aku inginkan.

Begitu memasuki rumah, aku disambut dengan suara gemericik air kolam ikan. Aku bahkan baru tau kalau rumah ini ternyata dua lantai, dari luar tidak seperti rumah berlantai dua. Waow.

Dibagian sisi kanan di dalam rumah ini, terdapat piano yang berada di pojokan belakang ruang santai. Aku menghampiri piano itu. Sejenak aku berpikir. Aku memang bisa bermain piano tapi aku tidak begitu menyukainya. Pa-Ma tau itu. Jadi pertanyaannya, untuk apa piano ini?

Tidak mau terlalu memikirkan itu, aku melanjutkan perjalananku. Aku melihat dapur yang bersih dan tertata rapi. Karena penasaran dengan pintu yang tidak jauh dari dapur, aku menghampiri pintu itu dan membuka pintu ruangan itu. Dan betapa terkejutnya aku, ruangan ini adalah home theater. Aku hampir menangis melihat ruangan ini. Home Theater Mini yang modelnya seperti di movie box. Sangat-sangat seperti yang aku inginkan.

Setelah puas mengagumi home theater mini, aku keluar dan menghampiri ruangan yang tidak jauh dari home theater. Aku membuka knop pintu ruangan itu. Aku dibuat terkejut lagi dan lagi. Di dalam ruangan ini ada meja yang di atasnya ada dua layar computer dilengkapi dengan speaker dolby yang berada di samping kanan kiri. Ini pasti private room-ku. Ruangan ini sedikit lebih luas dari dapur dan home theater, ada background berwarna RGB dan hitam yang digantung disisi kiri ruangan. Rupanya ruangan ini dilengkapi dengan studio mini. I like this room. Really really like.

"Lova keluar liat kamarmu ini!"

Aku keluar dari private room saat Cat berteriak memanggilku. Aku melihat Tom yang sedang duduk di pinggir kolam ikan. Tom menoleh kearahku, mengisyaratkan aku agar naik keatas.

Aku naik keatas. Di atas ada tiga ruangan. Yang aku tidak tau itu ruangan apa aja. Mungkin salah satunya adalah kamarku. Aku mendekati ruangan kedua karena pintu ruangan itu sedikit terbuka. Sedangkan pintu yang lainnya tertutup. Berarti Cat berada dibalik pintu kedua. Aku mendekati pintu itu, membukanya perlahan.

Ruangan bernuansa merah hitam dengan sedikit sentuhan warna toska ini pasti kamarku. Cat duduk di kasur berbentuk setengah lingkaran dengan sprei berwarna biru toska. Di samping kiri kasur ada meja belajar yang berhadapan dengan jendela. Sedangkan di samping kanan kasur ada lemari pakaian.

"Ini kamar sesuai banget sama lo. Lo mikir nggak sih kalo ini aneh?"

Aku menatap Cat. "Maksud lo?"

Cat menepuk-nepuk sisi kosong di sampingnya, menyuruhku agar duduk disana. Aku menghampirinya.

"Semua fasilitas rumah ini persis seperti yang lo mau. Rumah ini juga gede, terus ada piano di ruang santai. Emang lo bisa main piano? Dan anehnya Nyokap yang begitu kekehnya nggak mengijinkan elo tinggal sendiri sekarang lo dibolehin. Kan aneh."

Mendengar ocehan Cat yang panjang dan lebar, aku jadi berpikir kembali. Perkataan Cat ada benernya.

"Gue bisa main piano, tapi gue nggak begitu suka. Gue tadi juga sempet mikir kek gitu. Aneh memang. Ada apa ya?"

Cat mengangkat bahunya. Dia tidak tahu. Apalagi aku.

Tom menghampiri aku dan Cat, berdiri di depan kamarku. Menatap Cat dan aku secara bergantian.

"Pulang yuk babe, capek nih gue."

"Gue mau nginep sini Tom."

Aku menoleh kearah Cat, terkejut. "Loh kok lo nggak bilang? Emang lo bawa ganti?"

"El sayang, aku udah bawain baju-baju kamu yang ada di apartemen yang lupa kamu ambil. Lagian ukuran badan kita hampir sama. Nggak masalah dong aku pakai punya kamu."

Cat berkata seolah-olah dia itu putri Solo. Dilembut-lembutin. Aku jijik mendengarnya.

"Jijik gue sama lo. Oke lo boleh nginep tapi jangan tidur sama gue!"

Cat mengagguk senang.

"Terus gue gimana dong? Kan gue tadi bareng sama lo Cat! Ih ngebetein deh!"

Keluarlah sisi kewanitaan Tom. Aku heran kenapa gitu aku bisa kenal dengan dua mahluk aneh ini.

"Minta jemput bebeb Alfon dong."

Ya, aku dan Cat tau hubungan terlarang antara Tom dan Alfon--si kapten basket sekolah sebelah.

"Nggak ah lagi marahan, Alfon ngeselin sih orangnya."

Aku paling tidak suka kalau Tom menjelma menjadi gadis seperti sekarang ini. Dia benar-benar memiliki hati dan sikap yang lebih wanita dari aku yang sesungguhnya wanita.

"Yaudah nanti gue anter, sekalian beli makan. Tapi mandi dulu ya?"

Setelah sepakat, aku Tom dan Cat mandi. Nggak. Nggak mandi bareng kok.

Makasih ya ma buat semuanya. El sayang sama mama.

Makasih ya pa buat semuanya. El sayang sama papa.

=============

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top