Mati Lampu Dan Pertanyaan Itu

Rupanya kali ini beasty sudah tidak lagi menghindari aku, dia sudah bersikap seperti sedia kala--mau berangkat ke sekolah bareng denganku--meski masih malu menatapku. Dan juga, masih ngirit ngomong.

Setelah kemarin sore beasty menceburkan aku ke dalam kolam, ketika malam menjelang, di meja makan, dia melayangkan permohonan maafnya untukku dengan malu-malu.

Mungkin dia merasa konyol dengan tindakannya. Aku sih tidak mempermasalahkan tindakan konyolnya yang sangat tiba-tiba itu. Ya karena aku menyukainya, bagaimana bisa aku marah kalau dia memberikan aku keuntungan meski hanya sebentar...sih.

Oke tinggalkan itu sejenak, mari kita awali hari dengan mengerjakan soal ujian akhir semester terlebih dahulu. Hari ini adalah hari pertama ujian akhir semester, mata pelajaran matematika menjadi pembuka untuk ujian kali ini. Kalau sudah berbicara tentang matematika, aku lebih baik menyerah. Itu bukan bidangku.

"Gila ini ujian apa kencing sih? Gampang banget!"

"Gampang lo kata? Anjir, kepala gue hampir pecah nginget rumus."

"Tauk lo Tom. Kalau nggak inget ini ujian gue nggak bakal ngerjain itu soal, males banget. Mending tidur."

Ya, diantara aku, Cat dan Tom. Hanya Tom yang paling menguasai pelajaran matematika. Bagi Tom, mengerjakan matematika itu semudah membalikkan telapak tangan. Sedangkan untuk Cat, dia adalah spesialis pelajaran Bahasa Inggris. Ya wajar sih, masa kecil Cat bukan di Indonesia melainkan di NYC, tempat kelahirannya.

"Makanya belajar biar bisa kayak gue."

"Mending main game daripada belajar matematika Tom."

"Ah lo mah malesan El."

Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Obrolan kami terhenti ketika Kak Aurora mendekati kami bertiga. Cat yang mengetahui kedatangan Kak Aurora bergegas mengambil tasnya yang berada di dalam kelas. Setelah itu, Cat pamit pulang.

"Gue duluan ya. Daaa."

"Loh kok buru-buru Cat?"

Cat hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ke arah kami, dan pergi meninggalkan kami begitu saja. Sedangkan Kak Aurora berlari kecil untuk mengejar Cat yang semakin menjauh.

"Sebenernya ada apa dengan mereka berdua?"

Tom mengangkat bahunya.

"Gue nggak tau."

++++

Diperjalanan pulang, aku mendapati beasty yang sedang berdiri di pinggir jalan dengan mata yang tidak pernah lepas dari ponselnya. Tanpa pikir panjang, aku mendekati gadis itu.

"Naik gih, balik sama gue."

Aku membuka kaca helm, lalu mengambil helm yang berada di jok belakang.

"Nih, pakai."

Beasty menerima helm itu lalu menaiki si cantik tanpa banyak bicara ataupun menolak.

Tidak dapat ku pungkiri jika hatiku sudah mendaratkan pilihannya kepada gadis yang sekarang sedang duduk di belakangku. Pikiranku tidak pernah tidak untuk memikirkannya. Otakku selalu saja memikirkan gadis ini. Rindupun tidak pernah bisa terbendung ketika gadis itu mengabaikanku.

"Tadi nunggu siapa?"

"Grab."

"Lain kali hubungi aku jika butuh tumpangan. Jangan buang uangmu, lebih baik kamu simpan untuk masa depan."

"Sok bijak."

Mendengar jawaban yang dilontarkan beasty, aku sengaja menarik tuas gas sekencang yang aku bisa. Aku sedikit kesal dengan jawabannya.

Bisa nggak sih berdamai dengan gadis itu untuk barang sejenak saja? Gadis itu kadang-kadang mengeluarkan sikap yang menyebalkan. Entah itu dari perkataan yang dia lontarkan atau dari tindakan yang dia lakukan. Huh.

Sesampainya di rumah, beasty turun dan menatapku dengan tatapan tajam.

"Mending aku pulang bareng grab daripada sama orang yang ngendarain motornya kayak kesetanan!"

Aku mengernyitkan dahi, menatapnya dengan tidak kalah tajam.

"Apa lo bilang? Dasar nggak tahu terima kasih!"

Gadis itu menyibakkan rambutnya hingga mengenai wajahku lalu pergi meninggalkanku. Aku makin geram dengan kelakuannya. Kalau bukan karena aku menyayanginya, pasti sudah dari lama aku mengusirnya dari rumah ini bahkan dari kehidupanku.

Gadis itu benar-benar dapat memikat sekaligus mengikat hatiku. Entahlah, makin lama aku makin menginginkan dirinya, makin lama makin ingin terus berada didekatnya, meskipun akhir-akhir ini kelakuannya sangat menyebalkan.

++++

Di sore menjelang malam yang dingin, aku keluar dari persembunyianku, menghampiri dapur yang sudah memanggil-manggil namaku daritadi. Memang tidak ada yang bisa menolak panggilan dari dapur jika perut sedang kosong.

Aku membuka kulkas dan mengambil jus jeruk dan dua buah telur. Setelah menutup pintu kulkas, aku mengambil satu mangkuk kecil dan satu gelas berukuran sedang. Aku menuangkan jus jeruk ke dalam gelas itu, kemudian memecah dua telur tadi ke dalam mangkuk, lalu mengocoknya searah jarum jam.

Setelah itu, aku mengambil teflon dan menghidupkan kompor.

Ceklek....

Setelah kompor menyala, aku menuangkan telur yang sudah aku kocok tadi kedalam teflon.

Cesss....

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya telur dadar yang aku goreng telah matang. Aku mematikan kompor, lalu mengambil piring dan juga nasi. Setelah itu aku berjalan menuju ke meja makan.

Saatnya makan.

Sembari makan, aku mengedarkan pandanganku ke seisi ruangan. Hanya satu kata yang terlintas dikepalaku. 

Sepi.

Ya, memang rumah ini nampak sepi. Karena hanya ada aku dan juga beasty. Bi Ani dan Pak Anu sedang tidak berada dirumah karena harus menemani anak laki-lakinya, Seto--yang kemarin berteriak memanggil namaku--dia sekarang sedang sakit.

Setelah selesai dengan jus jeruk dan telur goreng, aku mencuci piring lalu kembali ke kamar untuk mandi. Sekarang pukul enam petang. Dari semenjak pulang sekolah beasty belum juga keluar dari sarangnya, mungkin dia sedang mengasingkan diri. Padahal aku ingin melihatnya, aku sangat merindukan senyumannya.

Setelah selesai mandi, aku membaringkan tubuhku di atas kasur, sambil menatap langit-langit kamar. Tidak ada yang ingin aku lakukan sekarang, aku hanya ingin berdiam diri tanpa mau melakukan apapun. Menikmati kesunyian yang tercipta.

Detik berganti menit, aku mulai bosan. Aku meraih iPhone yang berada di atas nakas. Berselancar di dunia maya adalah opsi paling terakhir jika tidak ada yang ingin dilakukan. Seperti saat ini.

Selang beberapa menit, saat aku sedang membaca berita tentang pejabat pemerintah yang ketahuan korupsi, lampu di kamarku mati. Ruangan yang tadinya terang benderang kini berganti menjadi gelap gulita. Lengkap sudah kesunyian yang aku alami.

Tidak lama dari kejadian mati lampu, suara beatsy yang melengking memecahkan keheningan yang aku rasakan.

"El!! Sini!! Cepet!!!"

Aku menghela nafas. Kenapa lagi itu anak. Dengan langkah malas, aku berjalan menuju ke kamar beasty.

"El!! Sini!!!"

"Iya otw ini, berisik!"

Karena mati lampu aku menghidupkan flash untuk membantuku melihat ke sekeliling. Di dalam kamar beatsy, aku terkejut karena tidak menemukan gadis yang berteriak tadi.

Saat aku memutuskan untuk keluar, aku mendengar suara isak tangis yang bersumber dari dalam kamar mandi. Oke aku mulai takut karena di dalam kamar ini tidak ada penghuninya, dan sekarang aku mendengar suara isakan seorang gadis.

Dengan ragu-ragu, aku membuka pintu kamar mandi karena sumber suara berasal dari sana.

Ceklek....

Kriettt....

"Oh God!"

Aku terkejut, benar-benar terkejut ketika melihat beasty yang sedang duduk di atas bathup dengan kedua tangan yang memeluk kedua kakinya. Aku pikir dia hantu.

"El?!"

Dengan tidak berkutik, aku hanya berdiam diri, tidak tahu harus merespon apa. Pasalnya sekarang beasty sedang memelukku dengan tubuh yang tidak tertutup sehelai benangpun. Ketika beasty melihat kedatanganku, dia langsung bangkit dari bathup dan melompat ke arahku untuk memelukku dengan erat.

"Kenapa lama banget? Aku takut...."

Aku menelan ludahku dengan susah payah. Oh Tuhan kenapa cobaan-Mu tiada habisnya untukku? Bagaimana aku bisa bertahan dengan gadis seceroboh ini?

"Emm ... tolong ... lepaskan...."

"Ahhh! Maafkan."

Beasty melepaskan pelukkannya lalu menutupi semua bagian privasinya dengan kedua tangan.

"Pakai bajumu cepat. Aku tunggu diluar."

Aku membalikkan tubuh, tanpa mau menatap beasty. Ini kali kedua aku melihat tubuhnya tanpa sehelai benangpun. Untung sedang mati lampu, hanya ada flash ponselku yang menjadi penerangan, jadi aku tidak bisa melihat tubuhnya dengan jelas.

Saat hendak membuka pintu, beasty menahanku. Dengan tanpa membalikkan badan, aku mendengarkan perkataannya.

"Tolong jangan tinggalin aku sendirian. Aku takut. Tetaplah berdiri disitu. Aku tidak akan lama."
Aku memejamkan mata, lalu menarik nafas panjang.

Tuhan beri aku kekuatan. Jangan sampai goyah imanku.

++++

"Udah nggak gelap kan? Boleh aku keluar?"

Beasty menggelengkan kepala. Aku menghela nafas pasrah. Mau sampai kapan aku berada disini? Bisa gila aku lama-lama menahan imanku yang mulai goyah.

"Temenin aku, jangan pergi, aku takut gelap."

"Kan udah nggak gelap. Udah ada lilin yang nemenin."

"Masih gelap El." 

Aku kembali menghela nafas. Ini remang-remang namanya bukan gelap.

Bagiku ruangan ini tidak ada gelapnya sama sekali, karena disetiap sudut ruangan ini sudah aku beri lilin-lilin kecil yang menyala, sesuai perintahnya. Aku heran dengan gadis itu, kenapa dia bisa memiliki lilin-lilin kecil yang jumlahnya sangat banyak.

Sekarang gadis penakut itu sedang duduk bersandar di atas kasur dan terus menatapku secara intens. Aku merasa seperti sedang diintai oleh binatang buas yang kelaparan. Tadi beasty sempat menawari aku untuk duduk bersebelahan dengannya, tetapi aku tolak dengan sangat. Mana mungkin aku bisa tahan duduk bersebelahan dengannya di atas kasur yang sama? Sangat tidak mungkin. Aku lebih memilih untuk duduk di sofa dengan berpura-pura memainkan ponsel.

"El, sini...."

Aku menatapnya, dengan diterangi cahaya yang remang-remang, aku dapat melihat wajah beasty yang semakin hari semakin menarik.

"Nggak ah, gue disini aja. Gue tungguin sampai lo tidur."

"El...."

Aku kembali menatapnya. Beasty menatapku dengan mimik wajah yang sangat memelas, seperti anak kecil yang sedih karena tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Aku menarik nafas panjang, tidak bisakah gadis itu memberikan aku pilihan?

"Aku nggak gigit kok El, sini deh."

Emang nggak gigit, tapi mengkaburkan imanku.

Dengan sangat terpaksa, aku menghampirinya. Dia tersenyum sambil menepuk-nepuk sisi kanan kasur, bermaksud agar aku duduk di situ. Di samping nya. Tepat di samping nya.

Akhirnya, aku menuruti permintaannya. Dengan sangat terpaksa aku menghampiri dan duduk di sampingnya. Disaat aku sudah duduk di sampingnya, harum aroma coklat menyapa indra penciumanku. Aku merasakan detak jantungku kembali berulah. Sama sekali aku tidak berani menggeser posisi dudukku.

"El?"

"Hm?"

"Lihat aku."

Untuk kedua kalinya--dengan terpaksa--aku mengikuti apa yang dia perintahkan. Gadis ini benar-benar telah menutup otakku untuk berpikir secara normal. Tatapannya masih sama, intens. Aku merasa ditelanjangi ketika ditatap olehnya seperti itu.

"Apa kamu benar-benar mencintai aku?"

DEG....

Seperti tersiram ribuan tong berisi air dingin, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, lidahku terasa kelu. Detak jantungku semakin terpompa dengan cepat. Aku merasakan rohku pergi meninggalkan jiwaku. 

Apa yang barusan dia tanyakan?

=============

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top