Inikah Akhir?

=Y O E L=

Sepulangnya dari Lombok, aku langsung merebahkan tubuh di kasur kesayangan. Rasanya aku sangat merindukan empuknya kasur milikku ini. Belum lama aku memejamkan mata, seorang masuk kedalam kamarku. Tidak perlu membuka mata, aku sudah sangat tahu siapa yang masuk.

Aroma yang sangat aku kenal itu menyapa indra penciumanku. Aku sangat suka aroma ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan aroma manis yang tercipta dari seorang gadis yang sangat aku sayangi itu.

"El, tidur?"

Aku masih tidak ingin membuka mata, hingga aku merasakan kasurku berdecit. Beasty mendekat, berbaring disamping kananku.

"El?"

"Hm?"

"Aku tidur disini ya?"

"Hm."

Tidak lama, aku merasakan tangan beasty yang melingkari perutku, kepalanya dia senderkan di dadaku. Satu kebiasaan beasty jika dia sedang lelah pasti dia akan menghampiri dan memelukku seperti sekarang ini. Dan siang itu kami habiskan untuk beristirahat.

++++

Malam itu, setelah mandi, aku keluar dari kamar dan menghampiri Bi Ani yang sedang memasak di dapur. Ketika aku datang Bi Ani menoleh sejenak lalu melanjutkan aktifitas memotong daging yang sempat tertunda tadi.

"Hai, Bi, nih aku ada oleh-oleh buat Bibi dan Bapak."

Sembari Bi Ani memasukkan daging ayam ke kuah kari, Bi Ani menjawab,

"Taruh situ aja dulu Non, Bibi masih nanggung nih."

Aku mengangguk lalu menaruh tiga buah paper bag yang ku bawa ke atas meja. Aku mendekati Bi Ani, dan menghirup aroma kuah kari yang sedang dimasak Bi Ani.

"Wah enak nih, Bi."

"Hus, kalau mau ngicipin pakai sendok jangan main nyelupin tangan gitu!"

Bi Ani memukul lenganku ketika aku mencelupkan jari ke dalam wajan, hanya sekedar untuk mencicipi kuah kari yang sangat menggoda itu.

Aku terkekeh. "Ya maaf, Bi. Habis menggoda gitu."

"Sana jangan ngerusuhin Bibi, Non Lena mana?

"Belum bangun, Bi."

"Dibangunin sana, bilang bentar lagi makan malam siap."

Aku mengangguk, kemudian melangkah pergi meninggalkan Bi Ani sendirian di dapur. Tadi sewaktu aku bangun, aku melihat beasty tidur terlalu pulas, membuatku mengurungkan niat untuk membangunkannya.

Sekarang jarum jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Beasty belum juga bangun. Secara diam-diam aku berjalan menghampiri ranjangnya.

Posisinya masih sama seperti waktu aku tinggal tadi. Berbaring telentang dengan satu tangan berada diatas perut, satu tangannya lagi memeluk guling. Aku menghampiri, dan duduk disampingnya.

"Heh, bangun."

Aku menepuk-nepuk pipinya secara perlahan. Beasty tidak bereaksi. Sekali lagi aku mencoba menepuk pipinya, kali ini dia hanya mengerang tetapi masih memejamkan mata. Karena gemas dengan ekspresinya, aku memajukan wajahku dan menyapa bibirnya, dengan sedikit kasar aku menggigit bibirnya.

Seketika, beasty membuka mata. Aku tersenyum. Detik berikutnya, beasty melotot dan menjauhkan aku dari hadapannya.

"Apaan sih! Sakit tahu!"

"Makanya bangun, ini udah jam berapa. Bentar lagi makan malam siap."

Beasty mendengus sembari mengusap bibirnya yang aku gigit tadi. Karena kasian, aku meraih bagian belakang kepalanya, dan mendekatkan wajahnya kearahku. Dalam sekali tarikan, aku kembali menyapa bibirnya. Namun sekarang lebih lembut.

Selang beberapa menit, beasty mengurai ciuman kami. Meski aku masih tidak ingin meninggalkan bibir itu, namun karena mengingat beasty belum mandi jadi aku membiarkan bibir itu menjauhi bibirku.

"Kamu tuh loh kebiasaan mencuri kesempatan dalam kesempitan."

"Sempit apanya?"

"Hiiih! Sana keluar, aku mau mandi."

Aku mengernyitkan dahiku. Ini kan kamarku, kenapa aku yang diusir?

"Ini kamarku betewe."

Beasty mengangkat bahu ringan, lalu melenggang masuk ke dalam kamar mandi. Aku yang melihat itu hanya menggeleng heran. Ada-ada saja tingkah anak itu.

++++

Seminggu setelah kepulangan aku dari Lombok, aku harus kembali lagi ke aktifitasku yang membosankan dan monoton. Tidak terasa sekarang aku sudah duduk dibangku kelas tiga.

Baru tiga hari aku masuk sekolah, rupanya imunku tidak bisa bekerja dengan baik. Sepertinya mereka sedang lelah. Alhasil hari ini aku tidak masuk sekolah karena suhu tubuhku terlalu tinggi. Kepalaku juga terasa sangat sakit, seperti ada ribuan duri yang tertancap didalam sana.

Dan pagi ini aku harus merelakan waktuku untuk berbaring dengan tidak melakukan apapun selain melihat beasty yang sibuk menyiapkan sarapan juga obat-obatan yang harus aku minum.

"Nih makan."

Aku menggeleng. Tidak ada orang sakit yang suka makan. Pasti semua orang sakit merasa makan adalah satu hal yang dihindari, karena lidah terasa pahit, jadi selera makan akan menurun. Seenak apapun itu makanannya kalau lagi sakit tetap saja tidak akan nikmat.

"Kamu harus makan, kamu lagi sakit. Mau cepet sembuh nggak?"

Aku menggeleng lagi. Kalaupun aku harus sakit, yang penting ada beasty disampingku pasti aku tidak akan menolak. Karena sakit demam itu tidak ada apa-apa dibanding dengan harus kehilangan beasty dari hidupku.

"Ih ngeselin deh. Yaudah sana kalau mau sakit. Aku mau berangkat sekolah, terserah kamu mau makan apa enggak!"

Ketika beasty meletakkan mangkuk berisi bubur ayam keatas nakas, dan hendak pergi, aku menahan langkahnya. Aku harus menuruti perkataan gadis manis ini rupanya. Aku harus makan. Meski sebenarnya tidak minat.

"Aku mau makan, jangan pergi gitu aja. Kamu nggak kasian sama aku yang lagi sakit ini?"

Dia mendengus, dan kembali duduk seperti posisi semula. "Ngapain kasian sama orang ngeselin kayak kamu. Nih, aak."

Tiga suapan dan itu sudah sangat cukup untukku. Meski aku suka dengan kegiatan makan, namun jika sakit itu menjadi kegiatan yang sangat tidak aku sukai. Semua terasa hambar.

"Dua suap lagi. Ini baru suapan ketiga dan kamu udah nggak mau?"

"Nggak enak. Oke?"

"Makanya jangan sakit kalau nggak enak. Oke?"

Aku mencibir. Aku sudah pernah bilangkan kalau beasty itu bisa menjadi orang yang menyebalkan?

"Dah mending lo berangkat sekolah sana, ini udah hampir jam tujuh nanti lo telat."

"Iya telat gara-gara kamu nggak mau makan."

"Please deh. Lagi mens, ya?"

Beasty mendengus. "Iya, hari kedua. Makanya jangan bikin aku kesel."

Sudah aku tebak. Gadis manis ini akan menjadi menyebalkan ketika waktunya tiba. Beasty meletakkan kembali mangkuk keatas nakas, lalu mengambil segelas air putih dan dua butir obat berwarna putih. Lalu ketiga benda itu berpindah ke tanganku.

"Minum, cepet."

Setelah aku meminum obat itu, beasty akhirnya meninggalkan aku. Sekarang dikamar ini hanya ada aku seorang. Dan kantuk pun mulai menyerang.

++++

=L E N A=

"Pulang sama siapa Len?"

Sambil memasukkan alat tulis dan buku, aku menjawab pertanyaan Debby. "Paling kalau nggak dijemput Pak Anu, ya naik ojek online."

"Aku anter pulang mau?"

Aku mendengus, aku tau ada niat lain dalam niat baiknya.

"Bilang aja mau jenguk Kak El."

Debby terkekeh sambil mencolek daguku gemas. "Tau aja sih kamu."

"Yaudah, ayok. Sebelum aku berubah pikiran."

Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan jika Debby ingin menjenguk Kak El, tapi rupanya hari kedua datang bulan membuat suasana hatiku sedikit tidak stabil. Masa aku cemburu dengan temanku sendiri?

Sesampainya dirumah, aku mengernyitkan dahi ketika melihat ada kendaraan lain yang terpakir di depan car port.

"Itu mobil siapa Len?"

Aku menggeleng, aku tidak pernah melihat mobil swift berwarna merah itu. Setahuku kendaraan Kak Tom dan Kak Cat bukan swift.

Tidak mau mempermasalahkan kendaraan misterius itu, aku mengajak Debby untuk masuk ke dalam rumah. Didalam rumah, aku tidak menemukan keberadaan Bi Ani. Padahal aku ingin menanyakan perihal mobil yang terparkir diluar sana.

"Deb, mau langsung ke kamar Kak El atau mau minum dulu?"

"Langsung aja, minumnya nanti nggakpapa."

"Oke."

Tanpa berganti pakaian terlebih dulu, aku langsung mengantarkan Debby ke kamar Kak El. Ketika kaki menginjak anak tangga terakhir, aku melihat pintu kamar Kak El terbuka sedikit. Tidak biasanya Kak El membiarkan pintu kamarnya terbuka meski barang sedikitpun. Kak El tidak suka privasinya terusik.

Ketika aku membuka pintu kamar Kak El secara lebar, yang aku temukan bukan Kak El yang sedang tertidur pulas dengan selimut hangat yang menutupi tubuhnya, tetapi pemandangan lain itu membuat mataku sakit.

Bukan, sepertinya bukan mataku-lebih tepatnya-hatiku. Teramat sakit. Sampai-sampai aku melupakan kenyataan bahwa ada Debby disampingku.

"Kak El!"

Tanpa menunggu lebih lama lagi, buliran air yang belum sempat aku bendung turun begitu saja. Tanpa mau berucap lagi, aku memutuskan untuk berlari meninggalkan ketiga manusia itu.

Aku sudah tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi, teriakan Debby, teriakan Bi Ani, teriakan semua orang aku hiraukan. Yang aku inginkan saat ini hanya berlari dan terus berlari, mengikuti kemanapun kaki ini mengajakku. Hingga pada akhirnya, yang terdengar di telingaku hanya suara debuman dan teriakan semua orang.

Pandanganku memburam, orang yang terakhir aku lihat adalah Kak El. Aku merasakan lengan kuatnya menopang kepalaku.

"Sayang, hei, lihat aku. Jangan tutup mata kamu. Tolong, hei--"

Aku merasakan tepukan tangannya di pipiku, namun semua terasa berat. Suara Kak El teredam oleh suara riuh ramai jalanan. Hingga akhirnya aku benar-benar tidak bisa mendengar apapun. Pandanganku pun menggelap. Dan secercah cahaya putih itu mulai menghampiriku.

Inikah akhir perjalananku?

Tuhan jika ini akhir perjalanan ku, tolong sampaikan sayangku pada Kak El. Aku sungguh sangat menyayanginya.
Dan juga tolong sampaikan salamku untuk Ayah.
Tuhan, tolong jaga orang-orang yang aku sayangi.
Tuhan, ampuni aku.

===============

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top