Hanya Mimpi

Pagi ini, kantin terlihat masih sepi, hanya beberapa gelintir anak yang menyambangi kantin. Tidak seperti biasanya aku kembali memesan segelas kopi hitam untuk aku seduh pagi ini.

Ingatan tentang kejadian tadi malam saat di dalam mobil kembali terputar. Aku berulangkali merutuki kebodohanku sendiri, tetapi ada yang membuatku sedikit heran, yaitu; kenapa beasty tidak menghindar tetapi malah menutup matanya? Apa yang sebenarnya dia pikirkan malam itu?

"Morning, El. Ngopi lagi?"

Aku mendongakkan kepala dan mendapati Tom yang sedang tersenyum. Dia mengambil tempat duduk di depanku, lalu memesan coklat panas ke Pak Gito.

"Lagi ada pikiran, El?"

Aku menggeleng. Pak Gito datang dengan membawa pesanan Tom. Sebelum Pak Gito pergi, Tom kembali memesan satu porsi nasi goreng. Pak Gito mengangguk lalu pergi kembali ke standnya.

"Cat mana?"

Aku menatap Tom yang sedang menyeduh coklat panasnya. Dia mengangkat bahu.

"Nggak tahu, tasnya ada di kelas tapi orangnya nggak ada. Gue pikir lagi sama lo, makanya gue nyamperin kesini. Eh ternyata nggak ada."

"Gue daritadi nggak liat dia. Tumbenan dia ngilang gitu."

Obrolan kami terhenti ketika Pak Gito kembali datang dengan membawa sepiring nasi goreng pesanan Tom. Tom berterima kasih lalu menyantap nasi gorengnya.

"Mau nggak El?"

Aku menggeleng.

"Yaudah kalau gitu." Tom kembali melanjutkan aktifitasnya.

Aku menatap kopi hitamku yang mulai dingin--tanpa ada niatan untuk meminumnya. Otakku terus saja memikirkan beasty. Tadi pagi aku berangkat dengannya, dan tidak ada obrolan yang terjadi diantara aku dan dirinya. Seakan kami ini saling bermusuhan. Eh, bukankah dia memang musuhku?

"El, itu bukannya kurcaci lo? Tumben dia ke kantin sendirian."

Mendengar nama kurcaci disebut, aku mendongakkan kepala mencari dimana keberadaan orang itu.

Gadis itu berjalan dengan menundukkan kepala, melewati beberapa kakak kelas. Tanpa dia sadari, dia telah melewati meja tempat aku duduk.

"Woy, kalau jalan itu liat depan. Emang tanah lebih menarik daripada manusia?"

Aku yang kesal karena tidak dilihat oleh beasty hanya bisa memarahinya. Dia menoleh ke arahku sekilas dan berlalu begitu saja. Tanpa mau membalas ucapanku ataupun sekedar menyapa.

Kenapa sih? Apa salahku? Kenapa dia jadi bersikap seperti itu?

Aku mendengus kesal, lalu meneguk kopi hitamku dalam sekali teguk. Tom memandangku dengan heran.

"Kenapa sih lo, El? Aneh banget sikap lo."

Aku menggeleng. Tom tidak tahu betapa kacaunya pikiranku. Jadi seperti ini rasanya diacuhkan oleh seorang yang aku suka?

"El, gue tau lo nggak lagi baik-baik aja. Cerita deh sama gue."

Belum sempat aku berbicara, Cat datang dengan muka yang ditekuk. Dia menghempaskan dirinya, duduk di sampingku.

Aku dan Tom saling pandang. Bibir Tom bergerak, mengucapkan kalimat tanya 'kenapa dia?' tanpa bersuara. Aku mengangkat bahu, pertanda tidak tahu. Baru kali ini aku melihat Cat sebete itu.

Baru saja aku ingin bertanya, seorang bidadari datang menghampiri meja kami. Aku terkejut mengetahui Kak Aurora sudah duduk di samping Tom. Tom dan aku kembali saling pandang. Ini bukan pertanda baik.

"Catherine, please dengerin penjelasan aku dulu."

Cat masih menundukkan kepala, tidak bergeming.

"Catherine, look at me."

Cat menghela nafas, lalu menggebrak meja dengan sangat keras. Seketika seisi kantin menatap ke arah meja kami. Aku dan Tom bergeser. Cat tidak pernah semarah ini.

"Pergi! Gue gue nggak butuh penjelasan dari lo. Sekarang lo pergi dari hadapan gue sebelum gue bener-bener pengen bunuh lo!"

Bukannya ingin melerai atau menenangkan Cat, aku dan Tom hanya saling pandang. Apa yang harus aku perbuat?

Tanpa berkata lagi, Kak Aurora berdiri dan memandang Cat dengan tatapan kecewa, sedangkan Cat menatap marah ke arah Kak Aurora. Kemudian Kak Aurora pergi meninggalkan meja kami. Cat menghela nafas kasar, dia menatap aku dan Tom secara bergantian, lalu menelungkupkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan sebagai bantal. Sebenarnya apa yang terjadi diantara Cat dan kak Aurora?

"Nggak usah sok takut gitu. Ini bukan masalah serius. Plis jangan ngeliatin kayak gitu."

Aku menyenggol perut Tom agar membuka pembicaraan, bagaimanapun juga Cat adalah teman kami. Apapun yang dialami seorang teman bukankah kita harus saling membantu?

"Cat, apa yang sebenarnya terjadi?"

Akhirnya Tom membuka suara.

Cat menggeleng. "Bukan masalah serius. Gue belum bisa cerita."

++++

Ketika pulang dari sekolah, aku mendapati suasana rumah yang sangat sepi. Aku menghela nafas baru ingat kalau siang ini Pak Anu dan Bi Ani sudah berangkat ke Solo, tempat kelahiran Pak Anu. Ayah dari Pak Anu pagi tadi dikabarkan telah meninggal dunia diusia seratus sepuluh tahun. Tuhan sangat menyayangi Ayah dari Pak Anu sehingga memberikan banyak bonus umur untuk Ayah Pak Anu.

Dengan malas, aku melangkahkan kaki masuk kedalam kamar. Di dalam kamar, tanpa berganti terlebih dahulu, aku membaringkan tubuh di atas kasur lalu memejamkan mata.

*Play media*

Tidak lama, sekitar sepuluh menit, aku kembali membuka mata karena mendengar alunan denting piano yang sangat indah memanjakan telinga. Aku merubah posisi menjadi duduk, kemudian mengambil remote tv yang berada di atas nakas.

Layar TV 42'' yang tadinya mati sekarang telah menampilkan banyak gambar kotak-kotak. Disetiap kotak yang ada, menampilkan gambar yang berbeda-beda. Aku memencet tombol dua diremote, lalu gambar kotak itu berubah menjadi satu gambar utuh yang menampilkan seorang gadis sedang bermain piano.

Beasty.

Aku menikmati tayangan di TV itu untuk beberapa saat. Kemudian dengan cepat aku berganti outfit, setelah itu aku mematikan TV, lalu turun kebawah untuk menemui gadis mungil kesayang aku.

Di bawah, di ruang santai, beasty masih memainkan tuts pianonya, hingga tidak menyadari kedatanganku. Aku duduk di sofa, mengambil majalah lalu berpura-pura menyibukan diri. Selang beberapa menit, permainan piano itu berhenti. Aku mengernyitkan dahi.

Kenapa berhenti?

Aku menoleh, mendapati beasty yang sudah berjalan ke arah tangga. Sebelum dia pergi terlalu jauh aku harus menahannya.

"Mau kemana lo?"

Dia menoleh. "Ke kamarlah. Kan biasanya kamu nggak suka kalau satu ruangan dengan aku."

Aku menghela nafas. Dia bodoh atau bagaimana sih? Sudah sangat jelas akhir-akhir ini aku tidak pernah menolak satu ruangan dengannya, bahkan aku tidak pernah menolak bersentuhan dengannya.

"Haish, sini lo. Ajarin gue main piano."

Aku menutup majalah yang tadi aku pakai sebagai properti lalu menyimpannya di bawah meja. Tanpa menolak, beasty kembali berjalan mendekati piano.

Aku mendekati beasty yang sudah kembali duduk di kursi piano. Lalu berdiri di samping piano, menatap beasty yang siap mengajari aku.

"Liatin gerakan tangan aku, setelah itu nanti kamu praktekin. Oke?"

Aku mengangguk. Sebenarnya aku sudah mahir memainkan piano. Jadi untuk apa aku belajar lagi? Ya, untuk berdekatan dengan beasty lah. Tanya sendiri, jawab sendiri. Pftt.

"Ini kunci C...."

Aku tidak melihat gerakan jarinya ataupun memperhatikan apa yang dia ucapkan. Aku lebih tertarik untuk memandangi wajahnya yang terlihat sangat imut daripada memperhatikan gerak jari lentiknya.

"Oke, udah paham kan? Sekarang prak- Ih El dengerin aku!"

Tiba-tiba dia memukul lenganku. Dan itu membuatku tersadar.

"Hayo apa yang aku omongin tadi?"
Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Tadi dia bilang apa ya?

"Makanya kalau ada orang yang lagi ngajarin itu diperhatiin bukannya malah bengong."

Aku merhatiin kok, tapi merhatiin kamu.

"Yaudah sih tinggal diulangin apa susahnya."

Beasty menghela nafas lelah. "Hiiih. Yaudah sini duduk disamping aku. Aku ajarin."

"Duduk disamping lo? Dikursi kecil itu? Emang muat?"

Aku menunjuk kursi kecil berbentuk persegi panjang yang sedang diduduki olehnya.

"Muat kok, pantat aku kecil. Mau belajar apa enggak? Kalau nggak mau aku balik ke kamar nih."

"Ehh jangan, yaudah, aku duduk."

Aku menghampiri beasty dan duduk di sampingnya, kursi ini memang berukuran kecil tapi siapa sangka cukup untuk berdua? Ya walaupun menyebabkan tidak adanya jarak di antara kami.

Jantungku kembali berdetak dengan tidak normal. Kenapa harus selalu seperti ini? Aku hanya berharap beasty tidak mendengar detak jantungku.

Beasty menuntun jari jemariku menekan tuts piano. Aku mengikuti setiap gerakan jari jemari beasty. Ketika dia menekan kunci G, jari kelingkingnya menyentuh jari kelingkingku. Seketika seperti ada sengatan yang menjalar ke seluruh tubuhku, aku membeku.

Tatapan kami bertemu. Mataku terfokus hanya kearah bibir tipisnya.

Tolong sadar El, sadarlah.

Untuk kedua kalinya, wajah kami saling mendekat. Tapi bedanya, bukan aku yang mendekatkan wajah tetapi dia yang memulainya. Aku dapat merasakan hembusan nafasnya.

Dan....

Cup....

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

++++

"El bangun! El bangun!"

Aku membuka mata dengan sempurna ketika ada tamparan keras yang mendarat di pipi kananku, beasty menatapku. Aku menyipitkan mata.

Loh? Jadi tadi itu cuma ... mimpi?

"Kalau mau tidur jangan di sofa, pindah ke kamar gih."

Aku merubah posisi menjadi duduk. Memegang kepala dengan kedua tanganku. Mencoba mencerna apa yang sudah terjadi barusan.

Jadi itu tadi beneran cuma mimpi? Mimpi macam apa itu?

"Kenapa El? Pusing?"

Aku menepis tangannya yang terulur hendak menyentuh dahiku.

"Gue nggak papa. Jam berapa sekarang?"

Beasty menatap jam yang melingkari tangan kirinya, lalu menatapku.

"Jam empat sore. Kenapa?"

Aku menggeleng. Sudah berapa lama aku tertidur disofa ini?

"Sejak kapan aku tertidur di sini?"

Gadis dihadapanku itu berpikir sejenak. "Entahlah, aku dari tadi main piano, terus pas udah selesai mau ke kamar, aku liat kamu udah ada di sini."

Aku menghela nafas, berarti aku memang bermimpi. Ada rasa kecewa yang mencuat keluar dari dalam diriku mengetahui itu tadi hanya mimpi.

====================

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top