Epilog
10 TAHUN KEMUDIAN....
Sudah sepuluh tahun lamanya aku meninggalkan Indonesia demi menjadi seorang fotografer profesional, lebih dari itu aku hanya ingin meninggalkan masa laluku.
Berbekal petuah dari Papa, beberapa minggu setelah kelulusan, aku memutuskan untuk terbang ke London. Meninggalkan negara tercintaku, Indonesia. Hidup di negeri orang sebagai anak perantau. Aku ditemani oleh Sakti yang mengambil Magisternya disana, dan ada juga Dena.
Ah, Dena. Gadis itu yang selalu menemaniku hingga sekarang. Dia tidak pernah lelah untuk merebut semua perhatianku yang tidak pernah aku tujukan untuknya.
Hari ini, aku berada di New York untuk melakukan pemotretan. Aku bekerja disebuah majalah yang sudah sangat terkenal di kota ini. Beberapa bulan yang lalu aku berada di Inggris, Prancis juga Kanada untuk melakukan pemotretan. Selama aku terbang kesana kemari, hanya ada Dena yang menemani aku.
Dena sudah seperti teman baikku, padahal dulu aku melupakan dirinya, bahkan aku sempat membencinya. Tetapi setelah satu tahun, dia datang dengan rasa bersalah, tanpa ingin berlarut dalam kebencian, akhirnya aku memaafkannya, hingga kini.
"El, ke Kofisop Aftertasty, yuk? Katanya disana kopi dan muffinnya enak."
"Oke, gue pamit ke Kak Joey dulu ya. Lo tunggu diluar."
Setelah selesai sesi pemotretan, aku mengemasi kamera dan juga barang-barangku. Tanpa menunggu lama, aku pamit dengan Kak Joey dan mengikuti kemauan Dena. Gadis itu memang sangat menyukai muffin dan kopi.
Kofisop Aftertasty berada tidak jauh dari tempat pemotretanku tadi. Hanya berjarak sepuluh menit dengan jalan kaki. New York sedang dalam keadaan minus, dinginnya kota ini membuatku merindukan panas dan suasananya Kota Gudeg. Hah.
Tidak lama setelah Dena memesan, aku mengambil tempat duduk dipojokan, spot yang aku sukai. Setelah aku menyampirkan mantel, aku mengambil ponsel dan membalas pesan dari Sakti. Gadis itu sekarang bekerja menjadi seorang progammer disuatu perusahaan di London. Dulunya aku juga bekerja di London, tetapi tidak lama hanya enam bulan karena aku sudah dipindahkan ke New York hingga sekarang.
"Tadi modelnya blasteran India-Amerika ya? Seksi gitu."
Aku memasukan ponselku ke dalam tas ketika Dena sudah duduk dihadapanku.
"Kayaknya sih gitu, gue nggak sempet nanya. Cuma tahu namanya doang."
"Siapa namanya?"
"Priyanka North."
Dena mengangguk. Kemudian tidak ada obrolan lagi diantara kami. Aku sibuk dengan coklat panasku, sedangkan Dena sibuk dengan kopinya.
Suara lonceng di kofisop berbunyi, menandakan ada pengunjung yang datang. Bebarengan dengan itu aku mendengar suara gelak tawa yang keluar dari seorang gadis yang teramat sangat aku kenali.
Aku mendongakkan kepala untuk mencari sumber suara. Dan, ya. Aku memang tidak salah dengar. Gadis dengan senyum yang sangat manis dan bibir tipis berwarna pink yang sudah sangat lama aku rindukan.
Dia sedang memesan ditemani seorang lelaki--yang rupanya--aku kenali juga. Tidak ingin keberadaanku diketahui gadis itu, aku menundukkan kepala. Berharap agar gadis itu tidak mengenali aku.
"Hai, Yoel!"
Sial.
Mengharapkan agar gadis itu tidak mengenali aku, eh, ternyata malah lelaki disampingnya yang mengenali aku. Seharusnya aku berharap agar kedua manusia itu tidak mengenali aku.
Dena menatap sejenak ke arahku, lalu menoleh ke samping--ke arah dua manusia yang sedang menghampiri meja kami. Berulangkali aku mengumpat, berulangkali juga aku berharap agar bisa secepatnya lenyap dari sini.
"Kita pergi dari sini. Ayo."
Aku bangkit berdiri, memegang tangan Dena agar ikut berdiri. Namun Dena menggeleng. Tidak mau beranjak dari tempat duduknya.
"Kamu harus hadapi masalalu kamu, El. Selama masalah masalalumu belum selesai, kamu akan dihantui terus menerus."
Aku menghela nafas. Perkataan Dena ada benarnya. Masalaluku memang belum selesai. Aku merasa ada yang harus aku selesaikan. Mau sampai kapanpun aku melarikan diri dari dirinya, pasti akan ada suatu waktu yang mempertemukan aku dengan gadis itu. Dan mungkin, ini waktunya.
Dengan kembali duduk ditempatku, aku menghirup udara sedalam dan sebanyak mungkin. Siap atau tidak siap, aku harus siap.
++++
=L E N A=
"Hei, Yoel!"
Aku menoleh mengikuti arah pandang Daniel. Dan betapa terkejutnya aku. Yoel yang dipanggil Daniel memang Yoel kakak tiriku. Sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak bertemu dengan wanita itu. Dua tahun setelah kesembuhanku, aku tidak pernah melihat dirinya. Dan baru kali ini aku melihatnya kembali setelah sepuluh tahun.
Penampilannya sangat berbeda dari Kak El yang dulu sewaktu SMA. Sekarang dia nampak lebih bersih dan cantik. Rambut panjang sebahunya diubah menjadi platinum blonde dan dibiarkan terurai.
"Hai."
Hanya itu yang dia ucapkan. Dia tidak memandang ke arahku. Dia menyapa Daniel, bukan aku. Ada rasa senang dan bahagia yang timbul dari dalam hatiku ketika dapat melihat seorang yang sudah lama dirindukan.
"Sayang, kenalin ini Yoel, rekan kerja aku waktu di London."
Aku tersenyum menanggapi perkataan Daniel. Dia belum tahu kalau Kak El ini adalah kakak tiriku yang menghilang. Aku mengulurkan tanganku, Kak El menerima uluran tanganku. Ini adalah kali pertama dalam hidupku, setelah apa yang aku lalui, akhirnya Kak El mau menerima uluran tanganku.
Tangan Kak El terasa dingin, sengatan itu kembali datang bersamaan dengan bersentuhnya tanganku dengan tangan Kak El.
"Terimakasih sudah mau menerima uluran tanganku setelah bertahun-tahun lamanya."
Kak El terkekeh kikuk mendengar ucapanku. Dia melepaskan jabatan tangan kami. Sedangkan Daniel menatapku menuntut penjelasan.
"Dia kakakku yang menghilang."
Daniel memekik kaget. "Are you kidding me?! What the hell! Nggak mungkin!"
"Lebih baik kalian duduk, kalian tidak ingin berdiri terus disitu, 'kan?"
Setelah aku dan Daniel duduk, aku menceritakan semuanya kepada Daniel. Terkecuali kisah cintaku dengan Kak El, aku tidak mungkin menceritakan hal itu. Daniel sangat antusias mendengar ceritaku, dia senang karena bisa menjadi adik ipar dari seorang Yoel.
Ternyata Daniel dan Kak El itu sudah pernah bekerja bersama, sebelum Daniel bisa terkenal seperti sekarang ini, dulunya dia belajar dari Kak El, mulai dari cara menjadi seorang fotografer yang disegani hingga fotografer yang dicintai para modelnya.
Selama aku dan Kak El bercerita, gadis di samping Kak El hanya diam tidak ikut menanggapi, dia sibuk menunduk menatap ponselnya. Membuatku tidak bisa melihat dirinya dengan jelas karena tertutup dengan poni rambut panjangnya.
"Sayang, aku ke luar dulu ya mau terima telpon."
Aku mengangguk dan mempersilakan Daniel melakukan kepentingannya. Tidak lama gadis di samping Kak El mendongakkan kepala, dia juga ikut pamit ke toilet karena sudah kebelet. Tetapi sepertinya Kak El tidak menyetujui permintaan teman gadisnya itu. Namun gadis itu tetap kekeh dan akhirnya pergi juga. Kini di meja ini hanya ada aku dan Kak El.
"Hai, apa kabar?"
Aku hanya tersenyum. Sepertinya Kak El sedang mencoba menghilangkan kecanggungan diantara kami.
"Seperti yang kamu lihat. Btw, gadis tadi siapa?"
"Dena, temennya Sakti. Dia satu kantor denganku."
"Oh."
Hanya itu yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Sepuluh tahun tidak bertemu dan aku melihat dirinya bersama gadis lain. Sebenarnya sakit, namun aku harus berpikiran positif.
"Kapan kamu nikah sama Daniel? Kok aku nggak diundang?"
Aku menghela nafas, bagaimana bisa aku mengundang dirinya sedangkan aku sendiri tidak tau alamat pasti tempat tinggal Kak El?
"Setahun yang lalu. Aku mau ngundang kamu, tapi aku nggak tahu keberadaanmu. Nomormu nggak aktif, begitu juga dengan Kak Sakti."
Kak El terkekeh, lalu kemudian menghela nafas. Sorot matanya memancarkan kesedihan. Satu hal yang ingin aku lakukan sekarang adalah memeluk Kak El. Aku sangat merindukan dirinya.
"Aku bersyukur kamu bahagia, kamu mendapatkan lelaki yang baik. Lalu bagaimana bisa kamu mengingatku? Bukannya Ayahmu membuat cerita palsu tentangku?"
Sekarang giliran aku yang menghela nafas. Delapan tahun yang lalu, saat aku sudah bisa mengingat semuanya, Ayah datang padaku dan memberikan cerita palsu tentang Kak El. Ayah bilang Kak El sudah meninggal, dan aku mempercayainya. Waktu itu aku hanya tahu kalau Kak El adalah kakak tiriku, bukan kekasihku.
Tetapi setengah tahun setelahnya, aku menemukan secarik kertas dan sebuah kalung berliontin cincin di dalam sebuah kotak kayu persegi panjang yang berada dalam tumpukan buku-buku di lemariku.
Secarik kertas itu berisikan coretan tangan Kak El, ketika itu juga aku berhasil mendapatkan ingatanku tentang Kak El. Ingatan yang bagaikan hujan lebat itu datang bertubi-tubi menghantam memoriku, menghancurkan cerita palsu yang dibuat oleh Ayahku sendiri.
Dan saat itu juga aku berusaha mencari keberadaan Kak El, tetapi hasilnya selalu nihil, hingga akhirnya aku dipertemukan dengan Daniel, si lelaki pecinta kamera.
Setelah menceritakan semuanya, Kak El menarik tanganku ke dalam genggamannya. Dia menatapku, tatapannya masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Lembut dan dalam. Aku sangat merindukan tatapan matanya yang seperti itu.
"Lena, aku merindukanmu."
Rasanya saat ini aku ingin menangis, setelah bertahun-tahun menunggu akhirnya Kak El dapat memanggilku dengan nama asli bukan dengan sebutan-sebutan anehnya.
"Aku juga merindukanmu. Pulanglah ke Indonesia."
Kak El mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya. Dia menghela nafas. "Aku nggak bisa. Nggak ada tempat buat aku di Indonesia, lebih tepatnya di Yogyakarta."
Satu tanganku yang terbebas menarik tangan kirinya ke dalam genggamanku. Sekarang kedua tangan kami saling menggenggam.
"Masih ada tempat buat kamu. Kamu nggak mau melihat keponakan kamu lahir, hm?"
Kak El memekik terkejut. Ya, sekarang memang aku sedang mengandung anak pertama dari Daniel, kandunganku memasuki trimester ketiga. Dan alasan datang ke New York adalah karena aku mengidam muffin buatan kofisop Aftertasty.
Mahal sekali ya ngidamku? Maafkan aku, Daniel.
"Jangan bohong, Lena!"
Aku menggeleng. "Aku sedang tidak bohong, El."
Lalu Kak El melepaskan genggamannya, dia berdiri mendekatiku, kemudian berjongkok, mendekatkan telinganya ke atas perutku. Dia bergumam, lalu mengelus perutku. Elusan diperutku itu berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku yang seharusnya tidak boleh bangkit.
"El, ikut aku ke toilet. Sekarang."
"Apa?"
Dengan tanpa basa-basi lagi aku menarik Kak El menuju ke toilet, menghiraukan Kak Dena yang sedang keluar dari toilet. Kak El menuntut jawaban atas tindakanku, tetapi aku tidak menjawabnya, yang aku lakukan hanya membungkam mulutnya dengan bibirku. Yang aku inginkan sekarang hanyalah Kak El seorang.
Meski sempat terkejut akhirnya sapaan bibirku disambut baik oleh Kak El dan ciuman itu berubah menjadi agresif dan menuntut.
++++
Daniel, Ayah, maafkan aku. Aku berjanji yang aku lakukan ini akan menjadi pertama dan terakhir. Aku berjanji setelah dari sini, aku akan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa.
Untuk Kak El, terimakasih karena sudah memberikan seluruh cinta juga kasih sayang yang hanya ditujukan untukku. Terimakasih juga untuk kenangan yang sudah diberikan walau hanya sebentar. Setidaknya ingatan itu dapat berbekas dan menjadi kenangan terindah yang tidak akan pernah aku lupakan.
Aku mencintaimu, Autumn Lovata Yoel.
==============
T A M A T
.
.
.
NB: Kalau kamu suka dengan cerita ini, atau kamu terhibur dengan cerita ini, bisa banget loh kamu berikan apresiasi kepada penulis melalui saweria.co: https://saweria.co/Kibowwwbf ya. Terima kasih banyak! Jangan lupa tersenyum yah! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top