Akhir Dari Segala Akhir

"Bukan seperti ini yang Lena mau Kak! Seharusnya Kakak tetap memikirkan kesehatan Kakak. Lihat diri Kakak, sangat berantakan! Bayangkan jika Lena terbangun dan melihat diri Kakak yang kacau seperti ini? Apa Lena akan senang?"

"Enggak Kak! Jangan sok menjadi orang yang paling menyedihkan didunia ini! Lihat kebawah, masih banyak yang mengalami kesedihan melebihi Kakak!"

Tepat saat tujuh hari berlalu, Debby datang menghampiriku dan membuka pikiranku. Kata-katanya selalu terngiang dalam benakku. Dan sejak saat itu, aku benar-benar memperhatikan penampilan dan kesehatanku. Aku benar-benar telah menjadi El yang fresh.

Hari ini tepat dua belas hari aku menunggu beasty terbangun. Meski aku sudah berubah, tetapi tiap malam menjelang, air mataku masih suka keluar ketika melihat gadisku tidak kunjung terbangun. 

Hati mana yang tidak tercabik ketika melihat orang yang sangat disayangi bernafas melalui alat bantu dan hanya tertidur pulas?

Sepulangnya aku dari membeli makan malam, aku memasuki kamar VIP tempat beasty dirawat. Disana ada Debby yang sedang membaca novel. Aku tahu Debby juga sangat sedih sama seperti ku. Namun dia menyikapi kesedihannya dengan tidak berlebihan, tidak seperti aku.

"Hai Deb, nih gue beliin burger buat makan malam."

Debby menoleh sejenak, lalu menutup novel dan menaruhnya diatas nakas. Aku mendekatinya dan menyerahkan bungkusan makanan yang aku beli di MCD. Debby menerimanya dengan tersenyum.

"Makasih, Kak."

Aku mengangguk. Sudah sangat sering aku melarang Debby memanggilku dengan sebutan 'kakak', tetapi dia tidak pernah mengindahkan laranganku. Sampai sekarang hanya dia yang memanggilku 'kakak', bahkan beasty yang sebenarnya adalah adik tiriku saja tidak memanggilku dengan sebutan itu.

"Loh Kakak nggak makan?"

"Udah kok tadi."

Dan keheninganpun menghinggapi kami. Aku sibuk memperhatikan beasty sedangkan Debby sibuk dengan burgernya. Tidak lama, ketika aku menatap beasty dengan kesedihan yang mendalam, aku merasakan gerakan digenggaman tanganku.

"Pettite, it's that you?"

Gerakan tangan itu lama kelamaan menjalar ke atas. Mata beasty terbuka, benar-benar terbuka. Debby yang mendengar perkataanku, mendekat dan ikut memperhatikan beasty.

"Lena?"

Tanpa basa-basi lagi, aku memencet tombol merah untuk memanggil dokter. Gadisku mengerjapkan mata pelan. Dia melihat kesekeliling, mencoba menyesuaikan pandangannya dengan cahaya yang dia terima.

Tidak henti-hentinya aku tersenyum dan berterima kasih kepada Sang Pencipta karena masih memberikan kesadaran untuk beasty. Aku sempat menyerah waktu itu, aku pikir gadisku sudah tidak bisa lagi menyapaku.

"Aku dimana?"

"Di rumah sakit."

"Rumah sakit?"

Aku mengangguk.

"Lalu siapa kalian? Kenapa kalian ada disini? Dimana Ayahku?"

Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya. Dia tidak mengingatku? Aku menatap Debby. Debby balas menatapku.

Tidak lama, dokter yang menangani beasty masuk kedalam ruangan dan memeriksa keadaan beasty. Aku dan Debby keluar ruangan ketika salah satu suster menyuruh kami keluar sejenak.

Setelah beberapa menit menunggu dalam diam, Dokter itu keluar dengan raut muka yang sangat tidak mengenakan. Aku menghela nafas, tahu kalau ini bukan hal yang menyenangkan.

"El, mari ikut ke ruangan saya. Ada yang perlu saya sampaikan."

Aku mengangguk, menatap Debby sejenak. 

"Deb, jagain pettite. Gue nggak akan lama."

++++

Didalam ruangan Dokter Aris, tidak henti-hentinya jantungku berdebar. Aku sangat tidak siap mendengarkan apapun. Aku tidak siap menerima kenyataan.

"Dok, apa yang terjadi? Mengapa Lena tidak mengenali saya dan juga Debby?"

"Begini El, nampaknya apa yang saya takutkan terjadi."

"Ada apa, Dok? Katakan!"

Dokter Aris menarik nafas sejenak. Aku menunggu kelanjutan kalimatnya dengan tegang. Sungguh, aku tidak suka dengan keadaan seperti ini, aku tidak suka menerima kenyataan yang akan ku hadapi nantinya.

"Lena mengalami amnesia retrograde. Dia kesulitan untuk mendapatkan kembali ingatan yang sudah terjadi di masa lalu dikarenakan kepalanya mengalami trauma karena benturan."

Seperti terkena sambaran beberapa clurit yang sangat tajam, hatiku terasa tersayat-sayat. Baru saja aku senang karena beasty telah sadarkan diri, tetapi mengapa kini dia harus mengalami amnesia? Mengapa? Apakah ini kelanjutan dari hukuman-Mu?

"Amnesia jenis ini pemulihannya akan berlangsung secara spontan. Pemulihan memori akan kembali sewaktu-waktu tanpa orang-orang sekitarnya duga."

Aku menghela nafas, tidak bisa membendung kesedihan yang teramat sangat ini. Yang aku lakukan hanya menggeleng dan terus menggeleng.

Bukan ini yang aku inginkan, Tuhan.

"Saya tahu ini sulit, El. Saya akan mencoba memberikan terapi kepada Lena agar ingatannya cepat kembali. Tapi saya sangat membutuhkan kerjasama dari pihak keluarga dan juga teman-teman Lena."

"Saya akan lakukan yang terbaik untuk membantu mengembalikan ingatan Lena, Dok. Mohon bantuannya."

++++

Tidak terasa sudah dua hari lamanya aku menghabiskan waktu untuk membantu mengembalikan ingatan beasty. Hatiku benar-benar tersayat ketika aku menceritakan kisah kami berdua yang sudah kami lewati tetapi tanggapan beasty hanya gelengan kepala dan kata 'Maaf, aku tidak ingat. Apakah aku dan kamu memang sedekat itu?'

Malam ini dinginnya angin tidak ada bandingannya dengan duri yang menusuk di ulu hatiku. Tidak ada yang bisa aku lakukan kali ini. Gadis yang teramat aku sayangi telah melupakan aku.

Penyesalan itu mengapa datangnya harus diakhir?

Mengapa waktu wanita brengsek itu datang, aku tidak segera mengusirnya tapi malah membiarkan beasty melihat suatu hal yang seharusnya tidak dia lihat? Belum sempat aku memberikan penjelasan, tetapi beasty sudah terlebih dahulu melupakan semuanya. Yang dia ingat hanya kenangan dirinya sewaktu tinggal di Bogor.

Mengapa cobaan ini seolah tiada habisnya? Apakah aku memang tidak diijinkan untuk mencintai dan menyayangi beasty?

"El, daritadi gue nyariin lo, ternyata lo ada disini."

Aku mendongak menatap Cat yang sedang menghampiriku. Memang aku sengaja tidak kembali ke kamar beasty. Aku hanya ingin menenangkan pikiranku. Dan taman rumah sakit ini menjadi tempat yang tepat untuk aku menenangkan pikiran, dengan ditemani bintang juga bulan yang mungkin ikut menatap sedih diatas sana.

"Lo tadi dicariin Bi Ani, katanya nyokap lo otw balik ke Indo dan lo disuruh nelpon balik. Nyokap lo pengen ngomong."

Aku kembali menghela nafas. Mengapa Mama pulang diwaktu yang tidak tepat? Mengapa harus disaat beasty mengalami amnesia?

Aku sudah lama tidak berbicara dengan Mama. Berbicara dengan Mama sama saja berbicara dengan orang asing. Suasana hatiku sekarang tidak bisa diajak kompromi, kedatangan Mama pasti akan sangat merubah suasana hatiku.

++++

Setelah dua hari lamanya beasty tersadar dari koma, dia diperbolehkan pulang tetapi dia masih harus kembali lagi untuk menjalani terapi. Dokter Aris juga melarangku untuk terus-terusan membantu mengingatkan beasty akan memorinya, karena keadaan beasty yang baru saja pulih.

Selama dirumah sesekali aku akan mencoba membangkitkan ingatannya, tetapi hasilnya masih nihil. Aku tidak mau menyerah, karena aku ingin beasty kembali pulih. Aku ingin beasty kembali mengingatku sebagai kekasihnya.

Keadaan beasty yang seperti itu membuatku sedikit mengurangi kontak fisik seperti berpelukan, karena aku tidak ingin dia merasa canggung. Padahal aku sangat merindukan hangat peluk tubuhnya, juga manis lembut bibirnya. Tetapi sepertinya aku harus berpuasa untuk-entah-beberapa bulan kedepan.

Beasty belum bisa berangkat sekolah karena keadaannya memang belum sepenuhnya pulih. Maka dari itu, aku sangat mewanti-wanti Bi Ani juga Pak Anu agar memperhatikan beasty dengan sangat selagi aku berada di sekolah. Satu hal yang ingin aku lakukan ketika pulang sekolah adalah bertemu dengan beasty.

Ketika bel pulang telah berbunyi, dengan segera aku meninggalkan sekolahan. Ketika sampai dirumah, aku mendapati Mama yang sedang duduk disofa ruang santai sambil menonton TV.

Aku terkejut, benar-benar terkejut dengan kehadiran Mama di rumah ini. Ternyata Mama memang benar-benar pulang ke Indonesia. Mengetahi kedatanganku, Mama langsung menghamburkan dirinya kedalam pelukanku.

"Lova anak gadis kesayangan Mama. Ahh, Mama sangat merindukanmu, Nak."

Aku merasa ini momen yang sangat awkward. Hampir setahun lebih sedikit aku tidak pernah menyapa Mama.

"Sejak kapan Mama ada disini? Mengapa Mama pulang?"

Mama melepaskan pelukannya, wanita paruh baya berumur empat puluh tahun itu menatapku.

"Kamu nggak seneng Mama pulang? Lova nggak kangen?"

Aku menghela nafas, sebenci-bencinya aku dengan Mama dan Papa karena keputusan bodoh mereka, aku tetap anak yang selalu merindukan kehadiran sosok seorang Ibu. Bagaimana bisa aku tidak merindukan Mamaku?

++++

Makan malam hari ini tidak seperti biasanya. Banyak sekali makanan yang tersaji di meja makan, juga kursi-kursi di ruang makan ini terisi penuh. Dihadapanku ada Lena yang duduk disamping Om Jonas dan Mama, sedangkan disampingku ada Bi Ani dan Pak Anu.

Aku memakan makananku dengan canggung. Berhadapan dengan Om Jonas adalah suatu hal yang sangat aku benci dulu. Sekarang mau tidak mau aku harus membiasakan diri dengan situasi seperti ini. Tidak mungkin kalau aku terus-terusan tidak menerima kehadiran Om Jonas sedangkan aku sudah bisa menerima kehadiran anak perempuannya.

"Lova, setelah ini ada yang ingin saya bicarakan. Temui saya di halaman belakang."

Selesai makan sebelum aku pamit pergi dari ruangan ini, Om Jonas menahanku dengan perkataannya. Hal penting apa yang akan dibahas oleh Om Jonas denganku? Apa tentang anak perempuannya yang amnesia? Atau hal lain?

"Iya, Om. Tapi tolong jangan panggil saya Lova. El saja sudah cukup."

Mama menatap tajam kearahku ketika aku mengatakan hal itu. Aku memang tidak suka jika Om Jonas memanggilku dengan panggilan 'Lova'. Aku hanya belum terbiasa, mungkin.

++++

Ketika selesai makan, aku langsung menuju ke halaman belakang, disana hanya ada Mama yang sedang duduk sambil berayun di kursi ayunan. Mata Mama menerawang jauh ke atas sana. Apakah Mama memikirkan sesuatu?

"Mana Om Jonas, Ma?"

Mama menatapku, beliau menyuruh aku duduk disampingnya. Aku menurut, duduk disamping Mama dikursi ayunan berhasil membangkitkan ingatanku ketika aku masih kecil. Dulu aku sering duduk berdampingan dengan Mama sambil memainkan ayunan waktu di rumah Nenek. Mama masih menatapku ketika aku duduk disampingnya, Mama mengenggam erat tanganku.

"Lova, Mama punya permintaan. Tolong panggil Om Jonas dengan sebutan 'Papa', dia itu sudah resmi menjadi Papa kamu."

Menghela nafas panjang, aku sudah tahu cepat atau lambat Mama akan terus memintaku untuk memanggil Om Jonas dengan sebutan Papa. Sebenarnya aku bisa, tapi ketika aku ingin memanggil Papa, rasanya lidahku kelu. Aku tidak bisa.

"Akan aku coba, Ma. Maaf jika selama ini El selalu menyusahkan Mama."

Mama tersenyum, senyuman itu mampu menghinoptisku. Aku ikut tersenyum. Mengapa selama ini aku selalu menebarkan jala kebencian kepada Mama yang sekarang sudah semakin menua? Mengapa aku bisa bersikap jahat terhadap Mama yang selalu tersenyum meski aku sakiti?

Mama, maafkan aku. Aku memang bukan anak yang baik.

Tidak lama, Om Jonas datang dengan raut muka yang belum pernah aku lihat. Atau memang aku yang tidak pernah memperhatikan Om Jonas?

"Lena sudah tidur, Mas?"

"Sudah."

Setelah menatap lembut Mama, tatapan itu berubah menjadi mengerikan dan tatapan itu diarahkan untukku. Apa yang sebenarnya terjadi?

"El, selama saya di Amsterdam, apa yang kamu lakukan dengan anak saya?"

Aku menelan ludah. Sepertinya pembicaraan ini akan panjang. Jelas sekali Om Jonas menatapku dengan pandangan tidak suka serta meremehkan.

"Main, makan, nonton, sekolah. Cuma itu. Kenapa?"

"Cuma itu? Tidak ada yang lain?"

Bermesraaan.

Aku menggeleng. "Sepertinya tidak. Kenapa?"

Om Jonas menghela nafas, dia memejamkan matanya untuk sejenak, lalu kembali menatapku.

"Mengapa anak saya bisa kecelakaan dan amnesia?"

Aku kembali menelan ludah. Tidak mungkin aku menceritakan semuanya. Aku tidak mau dijauhkan dari beasty, aku tahu arah pembicaraan ini. Om Jonas pasti akan mengungkit masalah kecelakaan.

"Waktu itu aku, pett-- Em, Lena, dan Debby lagi main petak umpet, lalu aku curang terus kami kejar-kejaran terus bum."

Rupanya aku sangat tidak berbakat untuk mengarang cerita. Sangat tidak masuk akal ceritaku. Jelas-jelas rumah ini dengan jalan raya jaraknya cukup jauh, mana mungkin dengan petak umpet dan kejar-kejaran bisa sampai jalan raya. Dasar kau bodoh, El!

"Kenapa harus berbohong, El? Saya sudah tau semuanya. Dan saya berharap tidak ada lagi yang namanya berbohong."

Kembali aku menghela nafas. Bagian mana saja yang diketahui oleh Om Jonas? Apakah semuanya? Atau hanya setengahnya?

"El, saya sangat menaruh kepercayaan yang besar padamu. Saya pikir kamu bisa menjadi kakak yang baik untuk anak saya. Tapi kenapa kamu malah menjerumuskan anak saya ke hal yang menjijikkan?!"

Nada bicara Om Jonas naik satu oktaf. Tangannya mulai mengepal kuat. Aku kembali menghela nafas. Mama memegang pundakku. Memberikan aku ketenangan.

"Menjijikkan? Maksudnya?"

Om Jonas tertawa hambar, sorot matanya sangat meremehkan. Om Jonas yang biasanya terlihat seperti seekor domba sekarang berubah menjadi serigala yang siap menerkam mangsanya. Aku menghirup sebanyak apapun udara yang ada, sebagai bekalku untuk mendengarkan pemaparan Om Jonas.

"Mengapa kau jerumuskan anak saya ke drama cinta bodohmu itu? Dimana akal pikirmu sampai-sampai kau dengan berani mengatakan cinta terhadap anak saya, dan dengan berani mencium bibirnya?! Dasar kau lesbian menjijikan!"

Kembali aku merasakan diriku membeku seperti es batu, rasanya sama seperti waktu beasty menanyakan apakah aku benar mencintainya. Tapi kali ini hatiku terasa tersayat-sayat. Sebilah pedang bermata dua dengan ujung yang tajam-yang tak terlihat-sedang ditancapkan oleh Om Jonas.

Darimana Om Jonas tau kebenaran ini? Siapa yang dengan berani membeberkan rahasia ini? Aku mendengar Mama terisak disampingku. Aku menutup mata. Mengumpulkan keberanianku untuk berkata-kata.

"Berani sekali kau menyebutku dengan sebutan seperti itu! Hei, Pak tua, coba kau tanyakan pada anakmu itu, mengapa dia mau menerima cintaku dan tidak menolak ketika aku cium!"

Om Jonas makin geram. Dia melangkah mendekatiku. Aku berdiri siap menerima perlakuan apapun yang akan dilayangkan oleh pria tua itu. Isakan Mama makin terdengar keras. 

Meski sebenarnya hatiku terasa sakit ketika mendengar isakan Mama, tapi aku harus mengesampingkan itu. Sebelah hatiku juga sedang disakiti oleh Om Jonas.

Aku harus mempertahankan beasty. Aku tidak mau dipisahkan darinya. Aku ingin berada disamping beasty, menemaninya hingga ingatannya kembali pulih.

"Berani sekali kau denganku! Jauhi anak saya sekarang juga! Saya tidak mau melihat mukamu ada disini. Anak saya tidak pantas berada disamping orang hina, menjijikan macam kau!"

Aku menggeram. Om Jonas berada tepat dihadapanku. Dia menatangku. Tatapan matanya sangat tajam menusuk penuh dendam.

"Pak Tua, tidak ada yang bisa menjauhkan aku dari anak perempuanmu yang manis itu. Tidak seorangpun dapat menjauhkan aku darinya!"

"CUKUP! HENTIKAN!"

Mama berdiri tepat ditengah-tengah aku dan Om Jonas. Mama masih terisak, sedangkan aku dan Om Jonas masih dikuasai kemarahan, dan kebencian.

"Lova, sadarlah Nak! Kamu itu perempuan, Lena juga perempuan! Tidak ada yang bisa menyatukan kalian, kalian itu bersaudara! Lova sadarlah!"

PLAK!

Tamparan juga ucapan Mama, mampu menghilangkan kemarahanku. Aku menutup mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. Air mataku sudah tidak bisa aku tahan lagi.

Mama benar. Aku dan beasty tidak bisa bersatu. Kami hanya dua perempuan bersaudara yang seharusnya tidak mengikat hubungan cinta satu sama lain.

"Pergi dari rumah ini, jangan dekati anak saya lagi. Pergi sejauh yang kau bisa! Saya tidak menginginkan anak saya mengingat tentang hubungan menjijikan kalian! Semua berhenti sampai disini!"

Aku mendengar langkah kaki yang semakin menjauh, aku tahu itu suara langkah kaki Om Jonas. Udara malam ini terasa sangat dingin menusuk kulitku. Tidak lama aku merasakan Mama menarikku kedalam pelukannya. Mama memelukku dengan sangat erat, air mataku mengalir deras membasahi bahu Mama.

Apakah ini akhirnya?

"Mama mohon, hilangkan semua ingatan juga perasaan kamu terhadap Lena. Pergi dari sini, berikan Om Jonas jeda untuk melupakan kejadian malam ini. Mama tahu Om Jonas akan kembali menerima kamu, Lova."

Aku membalas pelukan Mama dengan tidak kalah erat. Aku tahu hubungan seperti ini tidak akan mendapat restu dari siapapun. Semesta memang tidak mengijinkan kami bersatu.

++++

Dear Maria Magdalena Angel

Pettite, maafkan aku. Aku harus pergi dari sini, tidak ada lagi kata 'dunia kita', sekarang yang ada hanya dunia aku dan dunia kamu. Maaf jika selama ini aku selalu menyakiti perasaan kamu. Aku sangat menyayangi juga mencintai kamu. 

Sepertinya memang ini akhir dari perjalanan cinta kita. Maafkan aku tidak bisa membahagiakan kamu lebih lama lagi. Maafkan aku tidak bisa menemani pemulihan ingatan kamu. Maafkan aku yang bodoh ini, ya?

Beasty, terimakasih untuk waktu dan kenangan yang sudah kamu berikan untukku. Aku akan selalu mengingat dan menyimpan semua kenangan kita. Boleh saja kamu melupakan semuanya, tetapi sialnya tidak buat aku. Aku akan selalu mengingat semua tentang kamu.

Berbahagialah kamu dengan perjalanan kamu selanjutnya. Siapapun nantinya yang akan menjadi pasanganmu, aku akan mendoakan yang terbaik untukmu. Aku akan selalu berdoa pasanganmu kelak bisa memberikan seluruh cinta, seluruh raga, seluruh jiwa hanya untukmu.

Aku berharap kamu tidak mendapatkan pasangan bodoh seperti aku. Aku berharap kamu bahagia lahir dan batin. Aku berharap kelak kita bertemu dengan keadaan sudah saling melupakan kenangan kita satu sama lain.

Lena, selamat tinggal.

Tertanda,

Orang bodoh yang akan selalu mencintai kamu.

====================

Berakhir..







A/n:
Mau dibuatkan epilog? Atau  segini aja?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top