Chapter 5 - Flashback
****
Mengasyikkan rasanya satu ekskul dengan orang-orang seperti mereka. Pertengkaran memang tak pernah terhindarkan, tapi setidaknya tawa pun tak pernah lepas mengisi keseharian.
KIR menyimpan banyak kenangan. Di sini juga kami membuka kenangan lama.
Menyimak bersama-sama...perjuangan yang meneteskan peluh serta air mata penuh makna.
****
Setelah selesai dengan pertarungan saling menyakiti gendang telinga beberapa menit lalu, Shella, Deva, dan Rama kembali ke kandangnya masing-masing. Tentunya itu pun berkat guru pembimbing yang tiba-tiba datang ke LAB IPA.
"Aduh ... telingaku...." Shella mengusap-usap kedua telinganya. Padahal bukan salahnya kalau ia tidak sengaja melihat manga ber-genre yaoi tadi. Lagipula, Alif yang menunjukkannya. Kenapa harus telinganya yang jadi korban teriakan dua orang plus teriakan dirinya?
Shella mendengarkan apa yang guru pendampingnya itu katakan, sambil terus mengasihani gendang telinganya. Samar-samar, ia menangkap bahwa sang guru hari ini tidak bisa mendampingi karena harus mengurusi satu dan lain hal. Setelah mengatakan itu, sang guru berbicara sesuatu yang tidak terlalu digubris Shella hingga wanita berumur empat puluh tahunan itu pergi meninggalkan ruangan.
"Jadi, sekarang kita mau apa?" tanya Shella pada Deva.
"Nggak tahu. Main roket air aja gitu, ya? Tapi males ngambil launcher di ruang Kesiswaan."
Gadis bermanik coklat mendengus kala mendapat jawaban. Ia tidak mau bermain roket air. Sedang tidak mood, katanya.
Shella mengedarkan pandangan. Terlihat para lelaki sudah memiliki kegiatannya masing-masing, dan sibuk dengan urusannya sendiri. Sisanya lebih memilih duduk diam sambil menunggu sesuatu terjadi.
"Hey, Ketua!" panggil Shella pada lelaki yang lebih muda satu tahun darinya.
"I—iya, Teh?" jawabnya takut-takut sambil mendekat.
"Sekarang ngapain?"
Raka terlihat berpikir keras. Memang sulit untuk mengkoordinir ekskul tanpa pembimbing seperti ini. Seperti tak terarah. Gabut tak ada kerjaan. Kalau terlihat oleh orang lain, pasti mereka akan memandang dengan tatapan, "Gabut banget ekskulnya. Mending pulang."
Shella yang me-notice raut khawatir adik kelasnya itu berkata, "Hey, Irsyad! Kita mau ngapain sekarang?"
"Lah kok tanya aku?" Irsyad menyahut kebingungan. Tangannya terlihat memegang sebuah PCB dengan solder yang sudah tertancap pada stopkontak.
Shella berucap, "Ya...saran kek gitu. Kasihan ni ketua baru KIR. Kasih bimbingan dong sebagai mantan ketua dan kakak kelas yang baik." Shella menepuk pundak Raka pelan, membuat si pemuda sedikit menyembulkan semburat merah di pipinya.
Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepala lelaki itu. "Oh! Teh, gimana kalau cerita-cerita soal Lomba Robotik tahun lalu?"
"Eh? Hah?" Shella yang tidak sinkron saat diberi pertanyaan oleh adik kelasnya malah bertanya tak paham.
"Ah, iya! Lomba robotik waktu Teh Shella sama Teh Deva," ucap adik kelas lain yang sepertinya mendengar ucapan sang ketua.
"Sama yang Kang Rama dan Kang Irsyad juga, Teh!" Anak yang lain turut menyahut.
Ternyata banyak juga, ya, yang nggak mau gabut di sini, pikir Shella.
Sang gadis berpikir sejenak. Menceritakan pengalaman waktu kompetisinya, ya? Hmmm ... Boleh juga. Lagipula, si ketua KIR baru—Raka—dan gadis pemalu yang duduk di depan Shella—Mira adalah dua adik kelasnya yang besok akan mengikuti kompetisi itu. Tidak ada salahnya, kan, jika berbagi sedikit tips and tricks yang pernah mereka dapatkan.
Shella mulai memutar otak. Berusaha membuka kembali memori dua tahun kebelakang di mana Tim Rama dan Timnya mengikuti perlombaan.
Tapi ... Ugh! Memorinya terkubur terlalu dalam. Shella tidak bisa menggalinya! Otaknya tidak cukup kuat untuk memutar ingatan yang sebenarnya belum berlalu begitu lama. Gadis itu merutuki dirinya sendiri.
"Eeeng...bentar.... Otak Teteh masih memproses kenangan-kenangan lama yang terpendam."
"Halah, Shel. Bacot kamu," tukas Deva.
"Ssssht!! Diam!" Shella menempelkan jari telunjuknya secara kasar ke mulut Deva. Membuat gadis berambut semi-pirang itu kesal dan menepis kasar tangan temannya.
Setelah membuat orang-orang yang memberi saran tadi menunggu cukup lama, akhirnya Shella bisa menemukan serpihan-serpihan ingatan. Ia berusaha menyatukannya hingga menjadi satu adegan, walau tidak terlalu rinci. Hanya beberapa poin-poin adegan penting saja.
Ah! Adegan penting ... ya?
Tiba-tiba, tanpa Shella sadari, gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Rasa panas menjalar di sekitar pipi hingga ke telinga. Ia yakin pasti bahwa saat ini wajahnya telah berubah jadi semerah tomat karena mengingat momen itu.
"Kenapa lagi anak satu ini?"
Adik kelas yang sama-sama terheran dengan tingkah kakak kelasnya yang jadi sedikit aneh bertanya pula kepada Deva. Sejenak, gadis berkacamata itu menimbang-nimbang kemungkinan apa yang membuat teman satu mejanya jadi seperti ini.
"Oh!" Deva tiba-tiba berseru. Kalau semua ini berhubungan dengan kompetisi robotik yang ditanyakan para adik kelasnya, hanya ada satu tragedi yang mungkin saja--sangat mungkin—membuat Shella jadi salah tingkah begini karena mengingatnya kembali.
Deva menyeringai penuh makna sebelum berkata, "Waktu itu, Teh Shella sama Kang Rama pernah nggak senga--"
"Wa—Whoaaaa! Deva, Deva! Sssh! Ssshh!!!" Shella panik dan langsung membungkam mulut Deva dengan tangan kanannya, sedang tangan lainnya mengacungkan jari telunjuk dan mengarahkannya tepat di antara kedua mata Deva.
Sial! Sial! Kenapa dirinya tiba-tiba bertingkah seperti ini!? Shella jadi terlihat semakin mencurigakan di mata adik-adik kelasnya. Pasti mereka memikirkan hal yang tidak-tidak antar dirinya dengan Rama!
"Aa—Aah .... Tolong jangan dengarkan kata Teh Deva tadi, ya! Ngaco dia mah! Asal ngomong doang." Shella tersenyum canggung.
"Emang ada apa sih, Teh?" Salah seorang yang sudah terlanjur penasaran tetap bertanya. Membuat Shella semakin gelagapan.
"I—itu... Eeng..." Shella berusaha mencari alibi. "Nggak ada apa-apa kok! Cuman ada tragedi nggak disengaja—Hmph!"
Refleks, Shella menutup mulut dengan kedua tangannya sendiri saat sadar bahwa dirinya sudah salah dalam memilih kata-kata. Adik kelasnya jadi semakin menatapnya curiga dengan tampang menimbang-nimbang. Seakan berkata, "Jangan-jangan ...."
"Aaarghh!!! Tidaaaaaaaaak!" Shella menjerit keras-keras dalam hati. Selesai sudah. Harga dirinya telah jatuh terinjak-injak karena kesalahannya sendiri. Rasa malu—karena kenangan di lomba robotik dan karena kebodohannya yang berbicara asal—yang tak lagi terbendung ini, membuatnya ingin menenggelamkan diri ke dalam palung samudra yang paling dalam.
Padahal ia bukannya sengaja! Shella tidak tahu kalau memakan puding yang dibeli Rama dengan menggunakan sendok yang sama itu sama dengan ciuman tidak langsung!
Waktu itu tempat lombanya memang benar-benar sialan! Tempatnya berdampnigan dengan toko yang menjajarkan kue dan roti dalam sebuah etalase panjang. Berbaris rapih menunggu dijepit dan ditaruh dalam nampan, kemudian diantar ke wanita di belakang mesin kasir, yang lantas membungkus benda lezat itu ke dalam sebuah kantong plastik.
Shella yang tidak membawa uang saku tambahan hanya bisa melihat dari kejauhan dengan air liur yang hampir menetes. Sungguh, ingin ia mengambil satu jenis saja kue atau roti yang seperti memanggil-manggil namanya itu. Namun, apalah daya, dompetnya juga ikut menjerit, enggan untuk dikeluarkan isinya.
Itulah kenapa, begitu tahu Rama membeli sebuah pudding coklat, tanpa pikir panjang ia langsung memintanya. Dengan senang, Shella melahap makanan itu dengan sendok yang sama dengan yang dipakai si pemuda. Deva yang beberapa menit kemudian sadar akan apa yang baru saja dilakukan Shella kala itu, langsung berteriak. Terkejut, tapi malah ikut menggoda dan membuat temannya berseru merah.
Lalu, Rama? Bagaimana reaksinya?
Tentu saja seperti biasanya—datar. Tak terkejut, tak malu, tak berkata apa-apa selain tetap asyik menikmati kenikmatan dunia dalam mulutnya.
Nyawa Shella seakan melayang dari tubuhnya sesaat. "Guys ..." Gadis itu turun dari tempat duduk, lantas meringkuk dan bersembunyi di bawah meja panjang yang seharusnya menjadi tempatnya melakukan aktivitas ekskul hari ini. Shella melanjutkan dengan suara lemah, "Tolong lupakan kalau kalian pernah mengenalku. Setidaknya, untuk saat ini, lupakan kalau aku ada di dunia ini."
Deva, diikuti adik-adik kelasnya menengok ke bawah meja dan melihat gadis yang nampak sangat-sangat terpuruk. Karena, samar-samar perempuan berkacamata itu bisa mendengar gumaman tak jelas dengan suara tangisan yang dibuat-buat.
Gadis yang kerap kali dijuluki anak blasteran karena rambut pirang alaminya itu menghela napas. "Kalau gitu biar Teteh yang ceritain pengalaman kita waktu lomba di Serpong kemarin." Jempolnya teracung menunjuk jajaran di sampingnya. Di mana Rama dan Raka tengah mengoprek papan PCB beserta komponen-komponennya. "Buat lomba yang dua tahun kemarin, tanya aja langsung ke orangnya biar lebih jelas." Dengan sedikit berbisik Deva menambahkan, "Itupun kalau kalian bisa membujuk mereka buat ngejelasin panjang lebar."
Tanpa mempedulikan tatapan tak paham dari para adik kelas. Deva memulai kisahnya. Diam-diam, Shella pun mendengar dari tempatnya berada. Sambil turut memutar balik kilasan sewaktu lomba robotik yang diikutinya tahun lalu.
****
Waktu itu, di bulan November, hari Rabu kalau Shella tidak salah ingat, cuaca sedang sangat cerah. Seakan mendukung keberangkatan Shella dan Deva menuju Serpong, Tanggerang, tempat di mana kompetisi diadakan.
Mereka sudah tidak sabar. Bahkan, sejak pagi pun semua perlengkapan--baik salin baju maupun perkakas lomba--sudah tertata rapih di dalam tas dan koper yang mereka bawa-bawa ke dalam kelas.
Pukul 10, tepatnya pada jam istirahat pertama, mereka dijemput oleh guru pembimbing dan pelatihnya--Kak R. Lantas, segera melesat menuju TKP setelah berpamitan pada wali kelas yang tengah mengajar, dan kepada teman-temannya.
"Semangat lombanya ya!"
"Sukses ya! Semoga menang!"
Begitulah ucapan yang mereka sampaikan sebelum Shella dan Deva pergi meninggalkan Bandung untuk dua hari kedepan.
****
Kenangan lama akan semakin berputar kembali di detik ini. Membuka lorong waktu, menggiring beberapa jiwa untuk merasakan suka, duka, dan ketegangan momen-momen itu.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top