Chapter 4 - Manga
****
Deva dan Shella--keduanya kini telah duduk di bangku mereka dengan kepala yang masih menunduk dalam-dalam. Gadis-gadis itu masih dihantui dengan perkataan pelatihnya di depan pintu tadi.
"Latihan kalian kakak tambah. Dua soal dua soal. Jadi total empat tantangan buat tim kalian."
Hela napas keluar bersamaan dari mulut Deva dan Shella. Dalam waktu satu jam mereka harus menyelesaikan empat tantangan se-level hard? Yang benar saja!
Ini Shella dan Deva. Tim yang belum bisa dibilang selalu sukses di setiap tantangan. Tidak seperti tim Rama dengan Raka yang sudah memenangkan kejuaran Robotik Nasional tahun lalu.
Shella menoleh pada Deva. "Dev, kerjain gih."
"Kok aku? Ini tugas tim, hey!" kata Deva. "Cuman bagian programming-nya sesuai yang kak Riki tentuin. Tapi, kita tetep kerja bareng-bareng."
"Aaargh!" Shella membenturkan kepalanya ke meja. "Kak Riki gila! Mana bisa kita nyelesain tantangan sebanyak itu dalam waktu singkat!? Sekarang aja udah jam setengah lima!"
"Kalau gitu, jangan buang-buang waktu kalian."
Lagi-lagi, Shella merasakan hawa dingin menyelimuti atmosfer di sekitarnya. Membuat tubuhnya bereaksi dan bangkit dari posisinya tiba-tiba.
"Ka--Kak Riki!?" Wajah Shella langsung menunjukkan kecemasan yang bisa terbaca jelas oleh siapapun yang melihatnya.
"Mana tugasnya?" tanya sang pelatih tanpa basa-basi.
"I--ini lagi mau dikerjain, Kak!" sahut Deva panik. Tangannya cepat-cepat membuka laptop Shella. Layar hitam tersebut langsung menampilkan wallpaper dengan salah satu karakter pria di gim FGO. Deva sedikit bersyukur karena kebiasaan Shella yang jarang mematikan laptop setelah digunakan, bisa membantunya mempersingkat waktu yang ada. Deva menggerakkan mouse hitamnya dan mengarahkan cursor untuk mengaktifkan software robotik mereka.
"Kenapa baru mau dikerjain? Kalian udah buang-buang waktu cuman buat diem sambil cemberut," tegur Riki. Deva dan Shella semakin menundukkan pandangan.
Riki tak berbicara lagi. Pria bertubuh sedikit kurus itu berbalik dan memilih untuk memperhatikan anak asuhnya yang lebih rajin, yang sudah hampir menyelesaikan semua tantangan yang diberikan.
Yang kini tengah tersenyum mengejek pada Shella dan Deva.
"Semuanya, minta perhatiannya dulu sebentar." Riki memukul papan tulis pelan dengan spidolnya. Semua orang yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing, kini beralih pandang pada pelatih yang menggenggam kertas putih di tangan.
"Kakak ada pengumuman buat kalian."
Shella bertanya-tanya pengumuman apa yang akan diberikan si pelatih. Tahun-tahun kemarin, setiap Kak Riki berdiri di depan sambil membawa kertas, pengumumannya pasti tentang itu.
Eh, tunggu? Serius?
"Beberapa bulan lagi bakal ada Kompetisi Robotik. Dan kakak ingin diadakan seleksi untuk menentukan siapa yang akan ikut serta."
Yup! Sesuai dugaan Shella.
"Eeng... Kak?" panggil Shella sambil mengangkat tangan kanan. "Kelas 9--"
"Kelas sembilan nggak boleh ikut." Tahu apa yang akan ditanyakan si gadis, Riki langsung memotong perkataan Shella. "Kakak udah nanya ke pihak sekolah, tahun terakhir harus fokus sama ujian."
"Ini juga kan bulan terakhir kalian ikut ekskul ini. Bulan depan udah nggak boleh."
"Hee ... nggak asik," gerutu Shella pelan. Padahal ia sangat ingin merasakan lagi perlombaan itu.
Ia ingin mengulang kembali apa yang dilakukannya di kompetisi tahun lalu. Memperbaiki kesalahan, lebih banyak persiapan, hingga ia bisa memenangkan kompetisi di tahun berikutnya.
Ah, sayang sekali, waktu tidak terlalu berpihak padanya.
Andai saja ... ia diberi satu lagi kesempatan. Akan Shella pergunakan untuk membuktikan dirinya sendiri bahwa ia bisa seperti pemuda yang selalu berdiri di depannya. Akan ia buktikan, bahwa ia juga pantas bersanding dengan orang itu dengan prestasi yang telah didapatnya.
Kak Riki melanjutkan pengumumannya, sedangkan Shella menyimak dengan setengah ketertarikan. Kompetisi yang akan datang tak berbeda jauh dengan tahun saat Shella dan Deva ikut. Lokasinya di Surabaya, dan sepertinya tim yang ikut tahun ini akan menggunakan robot yang berbeda dari yang dipakai tim Shella kemarin.
"Hee.... Enak, ya. Robotnya upgrade," kata Shella.
"Makin upgrade robotnya, kayaknya makin susah deh Shel latihannya. Kita aja waktu itu robot upgrade dikit langsung pusing, kan?" sahur Deva.
Shella mengiyakan.
"Yah.... Apapun itu, intinya aku penasaran sama hasil yang tahu ini."
Kira-kira bakal pulang bawa kalung bunga lagi nggak, ya...?
Tak terasa, waktu berlalu cepat, hingga jam telah menunjukkan pukul lima tepat. Pelatih yang sedari tadi menerangkan dan menjawab berbagai pertanyaan adik-adik kelas, akhirnya memrintahkan untuk merapihkan barang dan bersiap untuk pulang.
****
Beberapa hari setelahnya....
"Hari ini mau ngapain?" Shella menyuap bekal nasi kuning yang dibawanya dari rumah.
"Entahlah," jawab Deva. "KIR 'kan udah nggak dipegang sama kita kepengurusannya."
"Iya sih., tapi ...." Satu lagi sendok masuk ke dalam mulut Shella. Gadis itu mengunyah sambil mengira-ngira apa yang akan dilakukan ekskul keduanya sepulang sekolah hari ini.
Seragam batik abu-abu yang dipakai murid hari ini cukup membuat Shella merasa kegerahan. Cuaca di Indonesia sungguh menyebalkan. Seharusnya akhir bulan Januari masih musim-musim penghujan. Tapi, kenapa hari ini matahari terik menyinari para makhluk yang ada di bumi?
Mungkin kalau di Jepang atau di negeri lain, orang-orang masih pakai baju hangat dan minum coklat panas di rumahnya, pikir Shella di sela lamunan.
"Shella, hari ini ekskul lagi?" Seorang gadis duduk di samping Shella.
"Hu'um," jawab gadis itu mengangguk.
"Berarti nggak jadi nih ke warnetnya?"
Shella menghentikan gerakan menyuapnya dan beralih menoleh cepat pada Ami. "Ah iya lupa! Aarrgh! Kenapa juga janjian di hari Rabu sih!?"
"Ya 'kan kamu yang nentuin tanggal, Shel."
Shella menundukkan kepala. Meratapi kebodohannya karena tidak pernah bisa menentukan tanggal main dengan tepat. Selalu bentrok dengan acara atau kegiatan yang tak bisa ditinggalkan.
"Ya sudah. Ke warnetnya nanti lagi aja. Ekskul lebih penting. Apalagi minggu-minggu terakhiran, 'kan?"
Shella mengangguk dengan masih memasang wajah cemberutnya. Terasa tepukan pada pundak diberikan oleh gadis yang tersenyum di sampingnya itu. Suapan terakhir dilahap oleh sang gadis. Ia menutup wadah bekalnya, lalu menenggak minum di botol hijau yang senada dengan wadah makannya. Kesegaran air itu langsung mengalir di kerongkongan. Rasa mengganjal akibat makanan tak berkuah langsung hilang. Shella bernapas lega.
"Ayo masuk," ajak Ami.
Gadis bersurai coklat itu menurut dan segera bangkit untuk memasuki ruang kelas. Kembali bersiap untuk memulai pelajaran.
****
Jam empat telah berlalu. Hampir seluruh ruang kelas di salah satu sekolah di Bandung ini telah kosong dari penghuninya. Beberapa murid telah pulang, dan sebagian lagi melakukan kegiatannya masing-masing di tempat ini.
Para anggota ekskul yang Shella hadiri hari ini baru saja menyelesaikan solat Asar. Mereka berbondong-bondong keluar dari Masjid, namun berpencar menjadi kelompok yang langsung balik ke Lab dan kelompok yang mampir jajan dulu.
"Assalamu'alaikum!"
DUAGH!
Pintu yang didobrak kasar oleh si gadis membentur dinding dan mengeluarkan suara gebrakan keras. Mengejutkan telinga Shella dan beberapa orang di belakang gadis itu.
"Shella!" seru Deva marah.
Si Pelaku pendobrakan nyengir ke teman-temannya. "Ehehe.... Sorry-sorry. Kebablasan," ucapnya sambil menggaruk belakang kepala.
Mereka melangkah masuk dan menuju tempatnya masing-masing. Shella dan Deva duduk di meja yang sama. Terlihat Rama, Alif, Raka, dan beberapa anggota laki-laki ekskul KIR—Karya Ilmiah Remaja—berkerumun di jajaran dekat pintu.
Shella tidak tahu jelas mereka sedang melakukan atau membicarakan apa. Namun, mata kecoklatan itu berhasil menangkap sesuatu yang tengah dipegang oleh Rama.
Ah! Itu manga yang sedang Shella incar! Manga atau komik Jepang Shingeki No Kyoujin volume 21! Shella harus mendapatkannya! Dia tidak boleh ketinggalan cerita dari animasi keren itu! Anime-nya belum sjeauh versi manga. Itulah alasan kenapa ia harus bisa membaca juga buku itu.
Sang gadis meninggalkan tempat duduk dan mendekat ke arah Rama dan Alif yang duduk berdekatan di atas meja, sambil membaca buku itu bersama-sama. Tanpa berucap apa-apa, Shella berdiri di samping kiri Rama. Posisi pemuda yang lebih tinggi itu membuatnya yang hanya bertinggi 150 cm, alias lebih pendek dari Rama, harus berjinjit sedikit demi bisa mengintip isi komiknya.
Namun, usaha Shella tak semulus itu berjalan. Rama selalu peka pada sesuatu yang berpotensi menjadi pengganggu baginya. Alhasil, pemuda itu menarik bacaannya menjauh dari Shella dan membuat sang gadis terkejut.
"Pergi-pergi. Jangan dekat-dekat Anda," perintah Rama sambil mengibas-ngibaskan tangan bak mengusir seekor kucing yang meminta-minta makan.
"Ish. Lagian aku nggak mengganggu juga." Shella cemberut. Bibirnya semakin menekuk saat si pemuda mengacuhkannya.
Shella yang melihat tak ada protesan lagi dari Rama, kembali mendekatkan diri. Berusaha lagi mengintip komik Shingeki No Kyoujin tersebut.
"Jangan lihat-lihat!" ucap Rama sambil menjauhkan manga-nya lagi.
"Pinjam atuh," pinta Shella.
"Nggak. Aku lagi baca," tolak Rama cepat. Shella memonyongkan mulutnya.
"Ya ... Maksudnya bukan sekarang Rama! Nanti lah kalau kau udah beres."
Jawaban yang sama keluar dari mulut Rama. "No!" Lalu, pemuda itu pergi meninggalkan Alif dan Shella yang cemberut.
"Kenapa lo nggak baca aja di HP lo, Shel?" tanya Alif.
"Eh? Emang ada ya? Lewat apa? Website? Aplikasi?" Shella mulai penasaran.
"Aplikasi." Alif merogoh saku celana dan mengeluarkan headphone miliknya. Sambil menekan-nekan benda hitam tersebut, Alif berucap. "Gua bacanya di sini. Nih, aplikasinya"
Shella menerima sodoran handphone Alif. Nampak, layar hitam yang kini berubah putih itu menampilkan logo kotak berwarna ungu, bermata dan bermulut yang menjadi maskot aplikasi tersebut.
"Whooaa. Banyak...." Shella terkagum dengan isi aplikasi yang menampilkan berbagai macam manga dengan style dan genre yang berbeda.
"Ini serius semua manga ada?"
Alif mengangguk. "Bahkan ..." Alif meng-scroll aplikasi tersebut, lantas melanjutkan, "manga yang seperti ini pun ada."
Shella melongo. Manga yang ditunjukkan Alif membuatnya terpana. Cover bacaan yang menggambarkan dua orang laki-laki dengan posisi atas-bawah dengan salah satu lelaki yang pakaian sudah berantakan, membuat rasa penasaran Shella membuncah. Ia menekan buku tersebut, dan sinopsis pun muncul di layar.
"O--Waa--"
"AAARGH! MATAAAKUU!!!"
"AAAHHK! TELINGAAKUU!!!"
"BERISIK WOI!!" Deva berteriak marah.
Lelaki yang tadi berteriak di belakang Shella kembali berseru. "Dasar Fujo!"
"Ada apa sih? Meuni ribut banget--Ah!" Perkataan Deva ikut terpotong saat ikut menunduk melihat layar handphone Alif.
Satu kata turut keluar dari mulut Deva. "Waaw."
"DASAR FUJOO!!!"
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top