Bab 8: Kecupan
"Akhirnya selesai!" seru Hening sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia menggeliat dan meregangkan lengan, bahu dan pinggangnya terasa pegal sekali setelah menyelesaikan pesanan gambar full body dua kepala sekaligus, freelance illustrator adalah pekerjaan sampingan yang dilakoninya. Tatapan gadis itu tertuju pada langit-langit kamar, kuasanya meraba sekitar untuk menggapai gawai, lalu ia terhenti saat mengingat benda itu sedang di charge. Dengan perlahan sembari memegang pinggang, ia berdiri menuju meja dan meraih gawai. Jemarinya menggulir layar lalu mengetikkan sesuatu kepada klien untuk mengabari jika pesanannya sudah selesai.
Setelah mendapat konfirmasi dari klien, dia segera membuka e-mail dan mengirimkan semua gambarnya. Saat menggulir aplikasi itu, ekspresi Hening berubah bingung saat mendapatkan e-mail masuk dari seseorang yang sangat ia kenal.
"Pak Raga?" gumamnya sambil menghitung jumlah pesan yang masuk, "satu, dua, tiga, ..., tujuh, delapan, sembilan. Ini jam berapa? Aduh habislah kamu Hening Merona!"
Gadis itu buru-buru mematikan laptop lalu mengganti bajunya dengan pakaian kerja, menyisir surainya asal yang penting terlihat rapi, berlarian kesana-kemari untuk mencari ikat rambut dan tas. Belum lagi memesan ojek daring ditambah berkompromi dengan rasa malas ke luar rumah karena teriknya matahari.
"Untung gue buka e-mail, lagian kenapa harus lewat situ sih kabarinnya," gerutu Hening sambil berpamitan pada Sayani, ia memakai sepatu dengan terburu-buru.
Baru saja ia membaca e-mail dari Raga, ke lima pesan itu tentu berbeda isinya, mulai yang masuk dari subuh tadi untuk memberitahu Hening untuk berangkat ke kantor dengan cara yang sopan dan baik layaknya atasan dan pegawainya, sampai berubah menjadi sebuah ancaman teror mengerikan tepat 30 menit yang lalu.
"Lho, mau kemana? Sudah mulai kerja?" tanya Sayani yang aneh melihat tingkah anaknya, sudah seperti cacing kepanasan.
"Iya Ma. Mama jangan lupa makan siang, Ning berangkat dulu ya!"
***
Raga melepas kacamata yang menghiasi wajahnya, menyilangkan kedua tangan sembari bersandar pada sofa baru yang langsung dia beli kemarin malam. Dihadapannya, Hening tengah berdiri sambil menunduk. Kakinya bergerak gelisah, bersamaan dengan kuasa yang tidak bisa diam menggaruk tengkuk tanpa alasan. Raga hanya bergeming, membuat suasana semakin canggung.
"Saya kira kamu berubah pikiran." Nada rendah pria itu mengagetkan Hening. Raga pun memilih untuk berdiri dan berjalan mendekat.
Hening menggeleng cepat. "Bukan begitu, Pak. Mohon maaf sekali lagi, tadi saya terlalu asyik mengerjakan gambar dan nggak sadar ada e-mail masuk dari Bapak."
Mereka saling berhadapan dengan jarak cukup dekat, hanya selebar satu langkah kecil hingga keduanya dapat bersatu. Perbedaan tinggi yang sangat kontras pun terlihat.
"Lagian, kenapa nggak telepon saya saja, Pak?" Hening memberanikan diri menatap Raga.
"Menurutmu? Gimana saya bisa telepon kalau belum punya nomor kamu? Saya chat di aplikasi jodoh itu juga tidak dibalas," tanggap Raga.
Gawai milik Raga disodorkan agar Hening segera menuliskan nomornya. Gadis itu menerima gawai dengan penuh perasaan bersalah, ia baru ingat jika lupa menaruh nomor telepon saat mengisi biodata, aplikasi perjodohan pun sudah dia uninstall dari perangkat miliknya.
"Masa saya harus datang ke rumah kamu terus," celetuk Raga sambil menerima gawainya kembali setelah Hening memberikan nomornya. "Ayo ikut saya ke dapur."
"Maaf, Pak," cicit Hening sembari berlari kecil mengikuti langkah kaki Raga. "Ngapain ke dapur? Bapak nggak berniat menggal kepala saya kan?"
***
Dapur milik Raga sangat luas, terkesan unik karena hampir keseluruhan di cat cokelat muda seperti detail kayu. Di sana langsung menghadap ke luar ruangan yang memberikan pemandangan kolam ikan yang cantik, ada air mancur dan beberapa tanaman juga. Dari pada ruang depan tadi, di belakang sini jauh terasa lebih hidup. Di sudut-sudut dapur pun terdapat akuarium ikan hias yang menambah ramai suasana.
"Bapak gulanya seberapa?" tanya Hening yang sedang membuatkan Raga teh hangat.
"Tiga sendok, ngaduknya ke kanan ya," jawab Raga yang sedang fokus menandatangani akta di meja dekat kulkas.
Tidak menyanggah meski ingin sekali bertanya, Hening tetap melakukan perintah aneh Raga. "Sudah ya Pak, saya taruh di sini," ucap Hening, lalu Pria itu pun mengangguk sekilas.
"Pak, saya kapan mulai kerja?" tanya Hening penasaran.
"Mulai tadi pagi." Raga menatap Hening sekilas dan kembali fokus pada kegiatannya. "Ini kamu lagi kerja jadi asisten saya."
Gadis itu manggut-manggut, mengiyakan saja perkataan Raga, ia hanya perlu menurut dan menjalankan perintah. Sambil menunggu Raga menyelesaikan urusan berkas, langkah Hening sampai di depan akuarium berukuran sedang yang sudah menarik perhatiannya sejak awal.
"Wah, cantik banget," ujar Hening dengan kagum. Maniknya bergerak dengan antusias melihat ikan-ikan yang berenang kesana-kemari. Di salam tangki akuarium itu berisi beberapa jenis ikan, Guppy, Molly, Cardinal Tetra, Honey Gourami, Kuhli Loach—yang berhasil membuat Hening bergidik karena bentuknya yang seperti belut—sampai Red Cherry Shrimp ada di sana. Gadis itu merasa tidak bosan memperhatikan pergerakan ikan milik Raga. Tapi wajah bahagianya harus rela ditarik paksa dari paras karena Hening mendapati pemandangan yang mengerikan di dalam akuarium.
"Pak, Pak!" Panggil Hening sambil sekilas menoleh panik ke arah Raga yang mengundang tanda tanya besar dari pria itu.
Sontak Raga berhenti dan menatap Hening dengan kening mengernyit. "Ning, perasaan saya nggak enak setiap kamu panik begitu," ujar Raga dengan jujur sambil menyudahi aktivitasnya, lalu berjalan mendekati akuarium. Ia menunduk ikut memandang ke dalam sana.
"Itu, tuh! Satu, dua ... ih, ada empat yang ngambang. I-itu mati atau lagi tidur Pak? Tapi kok tidurnya aneh kayak nggak bernyawa gitu." Dengan terbata Hening menjelaskan kondisi empat ikan milik Raga.
Ekspresi wajah Raga kini sangat sulit terbaca, mulutnya sampai sedikit terbuka, seperti melihat empat anaknya yang sangat ia kasihi tengah pergi meninggalkannya. "Mona ... Asep ... Ucup ... Ningsih," lirih Raga yang masih tidak percaya.
Hening menoleh cepat, mengerjap saat melihat wajah Raga yang terpukul. "Ning-Ningsih?" Ia kembali menatap ke arah akuarium, Raga rupanya baru saja menyebutkan nama-nama ikan yang sudah mati.
***
"Perasaan tadi pagi mereka masih sehat, gerakannya lincah, tapi kenapa tiba-tiba mati? Atau saya salah cek?" tanya Raga pada dirinya sendiri sambil menahan kesedihan.
Hening dan Raga baru saja menguburkan Mona, Asep, Ucup, dan Ningsih di halaman belakang. Gadis itu tidak merespon sedikit pun, dia hanya diam, menghela napas saja rasanya sangat sulit. Mereka pun kembali ke dapur. Raga melihat Hening yang tengah mengambil tasnya.
"Kamu mau ngapain?" tanya Raga sambil menggenggam lengan Hening, mencegah gadis itu untuk melangkah lebih jauh.
"Saya mau pulang. Mau ibadah terus berdoa buat anak-anak Bapak," jawab Hening dengan lesu, ia enggan menatap Raga, ekspresinya merengut seperti menahan tangis.
Manik Raga menangkap luka kemerahan di lengan atas Hening, seperti terbeset sesuatu. Ia menunduk mendekatkan wajahnya dan menarik lengan gadis itu perlahan untuk memastikan.
"Ini kenapa?" tanya Raga.
Hening melirik, lalu sekilas menatap Raga. Lengannya memang terasa sedikit perih. "Tadi kayaknya kena pinggiran kaca akuarium pas ambil ikan, tapi nggak apa-apa Pak."
Hal selanjutnya yang Raga lakukan berhasil membuat Hening membelalakkan mata. Raga mencium luka kemerahan itu cukup lama, Hening yang belum siap mendapat serangan mendadak itu pun hanya bisa bergeming di tempat, napasnya tercekat, kemungkinan nyawanya sudah terlepas paksa dari tubuh.
"Pak Raga ... eh, maaf mengganggu, itu Pak, ada tamu." Suara seorang wanita menginterupsi aktivitas Hening dan Raga yang dapat menimbulkan salah paham tentunya.
Keduanya menoleh, salah satu karyawan Raga datang sambil mengulum senyum canggung.
***
Ada yang suka pelihara ikan hias juga kayak Raga? 😍 Jangan sampai dilihat sama Hening ya, bisa-bisa nanti apes ikannya 😂 bercanda yah guise
Yuk, silakan baca next part ceritanya, happy reading ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top