Bab 47: Bertemu Lagi
"Tapi sampean (Anda) benar sudah tobat kan? Sudah pasti putus hubungan dengan janda-janda itu? Siapa namanya," Sayani menjeda untuk berpikir, "oh, Marni dan Olive." Wanita paruh baya itu menatap Bambang penuh selidik seraya berkacak pinggang di teras rumah.
Bambang mengangguk mantap, meyakinkan Sayani sepenuh hati jika pria itu benar-benar akan setia pada anaknya seorang. Bibirnya tersungging dengan angkuh sambil mengelus tendas yang botak, gerakan mencari perhatian. Padahal tidak ada ganteng-gantengnya itu tampang.
"Tenang Mbakyu, saya, Bambang Sugih, berani bersumpah kepada Tuhan. Ketiga janda itu sudah saya suruh menjauh kok, lagi pula anak saya juga lebih nyaman kalau sama Hening katanya. Ya, saya harus mendengarkan kata anak sendiri kan?" jelas Bambang dengan penuh akal bulus, diikuti tawa yang membahana.
Sejujurnya Sayani belum rela jika harus melepaskan Hening kepada Bambang, ada terbesit rasa ragu pada hatinya yang terdalam. Tetapi semua ini kembali lagi demi kebaikan Hening sendiri, dan kalau belum mencoba siapa yang akan tahu hasilnya kan?
"Iya mereka menjauh, terus sampean sendiri menjauhkan diri juga nggak?" sindir Sayani sambil memicingkan mata. "Ooo awas ya sampean kalau sampai tidak memegang omongan, tak cincang itu anu sampean pakai pisau daging, sampai tidak tersisa," tegas Sayani dengan kalimat akhirnya yang penuh dengan penekanan.
Bambang tampak bergeming seraya mengulum senyum kaku, kekehan hambar pun terdengar setelahnya. "Saya sudah bersumpah lho Bu ... eh halo sayang, kok matanya bengkak begitu?" Pria itu mengalihkan fokusnya pada Hening yang muncul di ambang pintu sambil setengah memeluk Risna. Tendasnya menunduk, tidak sudi menatap apa lagi menyahut ucapan Bambang.
"Oh kamu di sini ternyata. Mas Bambang! Kamu harus tanggung jawab!" teriak sosok wanita yang muncul di belakang Bambang, dandanannya menor dengan tubuh molek yang hanya memakai singlet berwarna ungu muda dan rok panjang putih bermotif bunga. Rambut hitamnya yang panjang bergoyang mengikuti hentakan pada kaki lebar yang membawanya mendekat ke pria yang tadi ia pintai tanggung jawab.
Bambang mematung sambil menggumamkan sesuatu, kedua tangannya mengepal meninju udara dengan gerakan cepat, wajahnya pun tampak masam.
Marni. Janda kampung yang terkenal dengan suaranya yang merdu, dia bekerja sebagai penyanyi dangdut. Dia mendekap lengan kanan Bambang sambil sedikit menarik-narik tubuh berisi sang pria, kulit seputih susu itu sangat kontras dengan kulit cokelat milik Bambang.
"Sek, sek (sebentar, sebentar). Ini apa ya maksudnya? Maaf ya Marni, Pak Bambang ini mau saya jodohkan dengan anak saya lho." Sayani sangat membutuhkan kejelasan sekarang.
"Saya hamil, Mbakyu. Sudah 2 minggu! Enak saja Mas Bambang mau lepas tanggung jawab, kalau perlu ayo kita tes DNA!" Marni menantang Bambang, sambil menarik lengan pria itu. Sedangkan yang ditarik tidak dapat berkutik seraya bergumam, "Duh, mati aku." Sambil menundukkan wajah tetapi masih mencoba memaku diri di sana.
"Kamu tuh ngapain sih ke sini," ujar Bambang mencoba menarik lengannya dari pelukan Marni. "Marni ini hanya mengada-ada, haha, jangan percaya dia Mbakyu."
Risna menutup mulutnya karena tidak percaya, disertai kedua matanya yang terbuka lebih lebar mendengar fakta tersebut. Hening perlahan menatap ke depan, ekspresinya perlahan berubah tampak kaget, juga sekaligus lega tapi bukan karena fakta yang ia dengar.
Marni menampar keras pipi Bambang hingga pria itu mengaduh kesakitan. "Wong (orang) aku ngelakuinnya cuma sama kamu Mas!"
Sayani memijit keningnya yang tiba-tiba merasa pening. Risna yang melihat itu pun langsung beralih menenangkan Sayani, sedangkan Hening sendiri berjalan setengah berlari menuju sosok yang berjalan mendekat di belakang Bambang.
Hening kaget dan juga senang mendapati sosok Raga yang datang seraya mengulum senyum kecil dari jauh. Gadis itu tidak dapat membendung perasaan membuncah bahagia seakan kupu-kupu mulai berterbangan di sana. "Mas Raga!"
Semua menoleh, mengalihkan perhatian kepada Hening dan Raga yang kini sedang saling merengkuh untuk melepas rindu.
"Sepertinya saya datang di waktu yang kurang tepat," ujar Raga sembari perlahan mengendurkan pelukan mereka. Dia berujar begitu karena datang pada saat Bambang ditampar oleh Marni.
Hening menggeleng cepat, kedua mata bengkaknya berusaha ia buka selebar mungkin. Rasanya ia ingin menangis lagi, menangis bahagia tapi, karena gadis itu merasa seperti habis selamat dari maut.
"Mumet sirahku (pusing kepalaku). Sudah, saya batalkan perjodohan anak saya sama kamu, Pak Bambang, mending sekarang tanggung jawab sana! Saya tidak ingin berurusan lagi dengan sampean!" seru Sayani terdengar mutlak dan menggeleng cepat, ia berbalik dan langsung masuk begitu saja ke dalam rumah. "Duh, amit-amit jabang bayi."
***
Angin kencang dan suara gemercik air hujan mendominasi sekitaran rumah makan yang khusus menjajakan soto, udara dingin hanya berlaku di luar sana. Suasana hangat di dalam jauh terasa menenangkan. Hening dan Raga memutuskan singgah ke sana untuk mengisi perut dan sekadar mengangkrabkan diri lagi. Pikir Raga, sayang juga jika ke Yogyakarta tidak mencicipi salah satu icon makanan di sana.
Mereka berdua awalnya terlihat canggung. Apa lagi jika mengingat Hening yang refleks memeluk Raga beberapa saat lalu.
"Aku nggak nyangka Mama akhirnya menyerah juga jodohin aku sama Pak Bambang," ujar Hening seraya mengulas senyum lega, lalu menyendok kembali soto miliknya.
Raga tersenyum tipis. "Syukurlah, sekarang kamu bisa lebih santai kan," timpal Raga sambil mengaduk es teh.
Hening mengangguk pelan sembari berusaha menelan makanannya. Sesampainya di sini tadi, Raga sudah menceritakan semuanya, terutama poin mencengangkan soal supir yang ternyata kaki tangan Prayan. Memang benar kalimat keren ini; akan ada pelangi yang muncul setelah hujan yang deras. Memang, kita tidak tahu sampai kapan hujan itu akan terus berlanjut, bahkan belum tentu juga pelangi akan muncul setelahnya. Tapi, jika pun pelangi tidak akan menampakkan diri, setidaknya kelak hujan pasti akan berhenti.
Sayani tampak sedang menenangkan diri tadi, dan kini terlihat menyerahkan semuanya kembali kepada sang putri. Bisa dikatakan, Hening dapat bernapas lega sekarang.
"Kakek akan menghubungi ibumu nanti untuk menjelaskan semuanya, beliau akan membantu kita," ujar Raga seraya bersandar pada kursi. Ia sudah menghabiskan semangkuk kecil soto miliknya.
Hening menatap sang pria yang duduk di hadapannya, kuasanya mengaduk pelan isi mangkuk soto yang tinggal sedikit. "Membantu hal apa?"
Raga tidak menjawab, dia memilih meneguk es teh miliknya lalu mengeluarkan gawai untuk mengecek sesuatu. "Kita kembali ke Jakarta malam ini, nanti pulang dari sini kamu langsung beres-beresin barangmu."
"Eh? Belum tentu Mama ngasih izin, Mas pulang duluan aja, aku bisa menyusul lagi pula ...." Hening menggantungkan kalimatnya, teringat soal status hubungan mereka. Kalau sudah seperti ini, berarti dia dan Raga itu apa? Teman? Mantan Pacar Pura-pura? Belum ada kejelasan.
"Saya sudah pesan tiket untuk dua orang. Kalau pun ibumu tidak mengizinkan ya saya tetap akan bawa kamu ke Jakarta," jawab Raga enteng sambil mengedikkan bahu dan memasukkan gawainya kembali ke dalam jaket.
Gadis itu mengerjap, kedutan pada bibirnya berusaha ia tahan sekuat mungkin agar tidak meloloskan seulas senyum.
"Enzi sudah rindu katanya, menanyakan kamu terus," ujar Raga menambahkan.
Curang. Bawa-bawa nama Enzi, dengus Hening.
"Selain itu, besok kita ke makam ibu dan ayahku. Kamu belum pernah saya ajak ke sana kan? Sekarang, kita mampir ke makam ayahmu dulu, saya ingin bertemu beliau."
Sebentar, apa nih maksudnya? tanya Hening dalam hati.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top