Bab 43: Terkuak
Bagi Hening, akhir-akhir ini waktunya berjalan terasa lebih cepat. Tanpa ia sadari beberapa bulan sudah berlalu, intensitas temu dengan sosok Nila pun mulai berkurang meski wanita itu masih sering menitipkan Enzi di rumah Raga setelah sang anak pulang dari kegiatan sekolahnya yang sudah memasuki jenjang Taman Kanak-Kanak. Tentu Hening sangat mensyukuri hal itu, entah malaikat mana yang merasuki diri Nila hingga mulai berhenti membuat ulah, tapi tetap saja harus selalu waspada, barangkali hati Nila besok gatal ingin memulai pertikaian lagi, siapa yang tahu dengan niatan dan isi pikiran manusia, kan.
"Mama komunikasi terus sama Kakek Prayan?" tanya Hening memastikan. Sore itu keduanya berdiri di depan bus sebab Sayani sudah harus kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan pengobatan. Kali ini hanya Hening yang ikut mengantar sebab Aden masih ada pekerjaan.
Sayani menoleh sambil menenteng tas sedang yang berisi makanan ringan. "Wajib dong itu, harus menjaga silaturahmi. Lagian, Mama sudah bilang kan, sayang kalau hubungan kalian itu ndak ada perkembangannya, Kakek Prayan juga sudah memberikan lampu hijau," jelas Sayani sambil mencolek lengan anaknya diikuti senyum lebar yang mengembang. "Pokoknya Mama tunggu kabar baik dari kalian, oke? Sudah ya, Mama berangkat dulu."
Hening dengan hati mencelos menyalami sang ibu dan memeluknya erat, hingga keduanya benar-benar terpisah dan bus mulai melaju meninggalkan halte. Gadis itu duduk di bangku besi panjang yang tersedia di sana, menatap nanar suasana di hadapannya. Beberapa orang berlalu-lalang tampak sibuk. Saat itu waktunya seperti berhenti, sedangkan sekitarnya berjalan dengan cepat. Relung dada gadis itu terasa kosong, cemas bercampur takut menyelimuti perasaannya, kedua sudut bibirnya enggan terangkat, wajah pasrah pun kini menempel pada paras, tubuhnya juga terasa lemas.
Kayaknya gue memang harus bicara langsung ke Raga soal perasaan ini. Setidaknya jika ia ditolak pun Hening sudah merasa lega. Resiko kesepakatan batal memang besar, tetapi bisa menghindar beberapa bulan dari perkawinan yang diusulkan ibunya saja, seharusnya dia sudah sangat beruntung. Ya ... gue harus siap-siap kawin sama duda botak anak satu.
Hening rasa, kebohongan yang terus berlanjut kelak akan ketahuan juga.
***
Raga bergeming sembari menatap lukisan keluarganya. Ia memang jarang memeriksa gedung kesenian sebab memori indah yang terbesit menimbulkan perasaan sakit pada dadanya, tetapi semenjak dirinya membawa Hening ke sana, hatinya terasa tergerak kembali dan timbul perasaan rindu setiap kali memperhatikan lukisan itu. Ia meneguk kopi americano yang sempat dibelinya sebelum datang kemari, bersamaan dengan itu, sebuah panggilan masuk dari Prayan lantas menjeda kegiatannya.
Ia pun menggeser tombol berwarna hijau. "Iya Kek—"
"Raga, tidak ada yang mau kamu bicarakan kepada Kakek?" tanya Prayan dengan nada penuh penekanan tanpa adanya basa-basi.
Pria itu tercenung sembari mencerna kalimat yang terdengar membingungkan. Kenapa Prayan tiba-tiba mencecarnya dengan pertanyaan seperti itu?
"Maaf Kek ... Raga tidak paham apa maksud Kakek ...."
"Soal hubunganmu dengan Hening, itu semua hanya rekayasa? Setelah 15 bulan kalian akan putus, begitu? Oh, kamu mau membodohi Kakek? Atau kamu berniat akan terus berpura-pura sampai Kakek meninggal nanti?"
Seketika lidahnya terasa kelu tidak dapat menimpali ucapan Prayan, bahkan hanya sekadar menyangkal pun tidak mampu yang dapat diartikan lain oleh sang kakek. Tubuhnya mematung seperti dipaku, jantungnya mulai berdetak cepat karena digerayangi perasaan bersalah, ia dengan susah payah menelan ludahnya. Sudah terasa seperti penjahat yang tertangkap basah. Dari mana kakeknya bisa tahu?
"Kalau benar sepeti itu ... kamu berhasil membuat Kakek kecewa, Raga. Berarti Kakek juga bisa langsung merobohkan gedung kesenian milik ibumu itu," ancam Prayan dengan nada yang meninggi. "Kakek tunggu di rumah utama, Meski Kakek masih berharap kalau bukti dari Danar ini hanyalah akal-akalannya saja."
Danar. Danar sialan! Tapi bagimana bisa?
Tangan Raga terasa lemas, minuman yang ia genggam terjatuh begitu saja ke lantai yang kini ternoda oleh air kopi, percikannya pun terkena celana kain dan sepatu sintesis yang tidak ia pedulikan. Ia pun buru-buru melangkahkan kaki keluar gedung kesenian dengan dadanya yang bergemuruh.
***
Matahari telah meninggalkan singgahsananya, kini tergantikan dengan rembulan yang teduh menerangi gelapnya malam. Langkah kaki Hening melambat setelah menutup pagar ketika melihat Aden yang duduk menunduk di kursi depan rumah sambil menangkup kepala dengan kedua tangannya, tampak frustasi.
"Den? Lo kenapa?" Hening yang baru tiba dari mengantar Sayani itu pun terlihat khawatir, tidak biasanya sang adik bertingkah seperti itu. Takut-takut jika kemasukan makhluk halus, gadis itu pun menunduk sambil menepuk pundak Aden beberapa kali.
"Perasaan gue nggak enak deh Mbak ...," ujar Aden sembari perlahan mengangkat tendasnya. Ekspresi laki-laki itu terlihat bimbang dan juga terbesit raut wajah bersalah. "Hari ini gue ketemu suaminya Nila—Danar ya, namanya? Tapi serius, gue nggak bermaksud buat jujur ke dia soal hubungan lo dan Raga!"
"Sebentar deh, lo tenang dulu," ujar Hening seraya duduk di kursi sebelah Aden. "Coba jelasin pelan-pelan, kenapa hubungan gue sama Raga ... terus Danar?"
Baru saja Aden ingin menjawab, tas Hening bergetar bertanda ada sebuah panggilan masuk ke gawainya. "Sebentar," ujar gadis itu seraya menangkap tulisan yang tertera di sana adalah Raga. "Raga ...," lirihnya sambil perlahan menatap sang adik.
***
Habis-habisan Raga dihakimi Prayan dan juga Danar. Terutama sepupunya itu, dia tampak angkuh dan senyum miringnya selalu tertaptri pada rupa, sombong sekali sebab merasa kali ini ia dapat menguak segalanya. Danar pikir, akhirnya berhasil juga misinya selama ini untuk menggagalkan niatan Prayan memberikan uang senilai 9 Triliun.
"Sudahlah Raga, kamu tidak bisa menyangkal lagi." Danar terkekeh penuh kemenangan. "Itu suara Aden, tahu kan? Adiknya Hening, dia sendiri yang bilang begitu!"
Ruang tengah rumah utama tampak memanas. Prayan bersedekap sambil duduk di sofa, sebelahnya terdapat Danar, lalu Raga di hadapan mereka berdua. Sudah seperti sofa pengakuan dosa. Nila tampak menyingkir sedikit jauh untuk bermain dengan Enzi di dekat televisi, tetapi rungunya tetap dalam keadaan siap mendengarkan pembicaraan.
Raga memperhatikan Danar yang kini menarik gawainya kembali. "Bisa saja itu hanya rekayasa, Kek. Sekarang alat editing sudah canggih," bela pria itu mencoba untuk tenang seraya menatap Prayan.
Danar tertawa kencang terdengar meremehkan, dengan tampang mengesalkan dia mencari sesuatu pada gawainya lalu meletakkan benda itu di atas meja. "Tidak perlu khawatir, saya punya bukti kedua." Tatapannya mengisyaratkan sebuah kesungguhkan jika bukti kedua ini dapat menguatkan segalanya.
Raga melirik layar gawai milik Danar. Sebuah rekaman suara lagi. Seketika pikirannya bekrecamuk, tidak mungkin jika bukti lain itu adalah sesuatu yang sedang ada dibenaknya sekarang. Prayan memperhatikan interaksi kedua cucunya dengan tenang, bahkan masih sempat menyesap teh.
Sepupu Raga itu dengan tidak sabar memutar rekaman pada gawainya. Senyuman licik perlahan mengembang sembari menggosokkan kedua tangannya, ketika raut wajah Raga tidak dapat lagi menyunggingkan senyuman. Kali ini kamu sudah tidak dapat berkutik lagi, Raga.
...
"Syaratnya sebatas apa Pak?" tanya Hening sedikit ragu.
"Apa pun, jika kamu butuh uang, akan saya berikan."
"Bapak bersedia membayar uang pengobatan ibu saya?"
"Itu saja?"
"Deal?"
"Deal."
Setelah rekaman yang pernah Raga ambil saat melakukan kesepakatan dengan Hening itu selesai, Prayan pun menaruh cangkirnya dengan penuh tenaga hingga menimbulkan bunyi, telinganya terasa memanas sebab rasa kecewa kembali menguar kala melihat sang cucu, Raga, hanya dapat bungkam tidak dapat lagi menyangkal.
"Masih bisa membela diri, Raga?" tanya Danar setelahnya. Tentu hanya untuk menegaskan bahwa permainan Raga kali ini sungguh-sungguuh telah tamat.
Rahang Raga mengeras, kedua tangannya seketika mengepal menahan kekesalan karena kalah telak. Manik hazel-nya menusuk wajah Danar, benar-benar penuh amarah.
Bagaimana bisa rekaman itu sampai ke tangan Danar?
***
Pojok Author 🍯:
Halo honey!
Bisa baca lebih cepat di KaryaKarsa (link ada di bio) di sana sudah TAMAT dan ada 2 special chapter yang cuma aku publish di sana lho ;)
Terima kasih sudah mampiiir
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top