Bab 42: Menuai Hasil

Prayan sengaja meluangkan harinya untuk menemani sang cicit bermain ke tempat mandi bola yang pernah Enzi kunjungi sebelumnya bersama Hening dan Raga. Awalnya memang ingin membahas pekerjaan dulu dengan Raga, tapi karena cucunya ternyata ada kepentingan lain, jadilah ia berfokus pada Enzi dahulu. Ada anak maka selalu ada sosok ibu di sana, Enzi dan Nila memang sudah sepaket. Beruntung Mall hari itu cukup lengang karena weekday, jadi ketiganya pun sepakat untuk ke tempat mandi bola agar menyenangkan hati Enzi, mereka ke sana diantarkan supir pribadi.

"Enzi hati-hati!" teriak Nila yang berdiri sambil mengawasi. Tampak Enzi hendak keluar dari wadah mandi bola yang dibantu oleh pegawai yang bertugas di sana. Presensi Prayan tidak ada sejak beberapa menit yang lalu karena sedang ke toilet. Sebuah telepon pun masuk, jadi Nila harus segera mengangkat panggilan itu dan menitipkan Enzi pada salah satu pegawai di sana.

Mulanya, semua berjalan normal seperti biasa. Masing-masing anak sibuk bermain, ada yang berlari, bermain trampolin, rumah-rumahan, hingga teriakan anak yang sedang bermain perosotan dengan walinya. Karena ada satu anak yang menangis, disebabkan terjatuh saat berlari, lantas pegawai yang tadinya mengawasi Enzi pun harus sigap menolong dan menenangkan anak itu, karena orantuanya belum datang dan masih berbelanja sesuai ucapan terakhir mereka saat menitipkan anak.

"Rambutmu jelek," ujar seorang anak kecil laki-laki yang tiba-tiba saja datang sambil membawa sebuah balok kayu di tangan.

Enzi yang merasa sedang diajak bicara pun menengadah, aktivitasnya menyusun balok kayu pun terhenti. "Jelek? Lambutku jelek?"

Anak laki-laki yang setahun lebih tua darinya itu hanya menatap Enzi sambil memikirkan sesuatu. Tangannya bergerak untuk menarik surai Enzi sekuat tenaga. Dari sampingnya, muncul juga anak kecil lain, perempuan yang seumuran dengan Enzi dan membisikkan sesuatu pada sang kakak.

***

Setibanya di tempat tujuan, Hening sempat mematung sejenak sebab terperangah dengan bangunan besar yang menjulang kokoh di hadapannya. Gedung kesenian milik almarhum ibunda Raga terlihat megah dengan tiang-tiang berdiameter besar berwarna putih meski pun sudah sedikit pudar. Ukiran-ukiran sulur pada tembok luar gedung memberi kesan anggun dan berseni, kurang lebih kenampakan tempat itu sudah seperti bangunan di kota tua yang sangat menarik atensi. Tidak ada tulisan penegasan soal gedung kesenian di sana, mungkin jika orang-orang awam yang sekilas melihat akan mengira tempat itu adalah bangunan milik pejabat pemerintahan. Hening baru mulai melangkahkan kaki mengekor pada Raga setelah puas mengagumi bangunan besar itu.

Raga sudah memiliki cadangan kunci sehingga mereka dapat leluasa masuki gedung. Ketika pintu dibuka dan menampakkan isi di dalamnya, Hening hanya bisa terperangah lagi. Ia dengan perlahan melangkahkan kaki untuk masuk sambil mengedarkan pandangan, tempat di sana sangatlah luas dan presensi keduanya seakan mengecil karena gedung itu terlalu besar. Baru ada beberapa sekat pembatas, hanya ada satu tangga yang mengantarkan ke tempat bagian atas. Banyak sekali jendela-jendela besar yang tertata rapi pada pinggir kiri dan kanan gedung sehingga pencahayaan dapat masuk dengan mudah.

Jadi ini, tempat yang ingin Raga pertahankan, batin Hening dengan perasaan haru.

Beberapa lampu sorot sudah tersedia pada setiap spot yang telah diatur sebelumnya, tetapi tidak akan ada lukisan di sana, meski Hening sudah mencoba melemparkan atensinya ke berbagai sudut gedung.

Raga menarik pelan lengan Hening untuk menaiki tangga, gadis itu pun menurut menapaki setiap anak tangga dengan perlahan.

"Seperti yang kamu lihat, saya berusaha untuk selalu mengecat sesuatunya kembali agar terlihat seperti baru. Ada 4 petugas yang saya pekerjakan juga, untuk selalu merawat dan mengawasi tempat ini." Raga menghentikan langkahnya di hadapan satu lukisan besar yang ternyata berdiam di sana, benda itu ditutupi kain berwarna putih. "Tapi namanya gedung kosong, kalau tidak dihuni akan tetap tampak suram."

Hening yang berdiri di samping Raga agaknya paham dengan maksud si pria. Langit-langit yang sudah mulai menjamur, ada pula beberapa bagian aksesoris lampu sorot yang patah. Tetapi sangat terlihat jika gedung itu memang bersih karena terawat. Sedikit sayang memang, gedung seluas ini harus terpaksa kosong.

Pria itu mengulurkan tangannya, menarik kain putih yang menutupi lukisan besar yang bertengger pada papan kayu. Setelah seluruh isi gambarnya tampak, hati Hening seketika berdesir, tidak mampu rasanya untuk mengucapkan sepatah kata.

***

Enzi merintih sambil memegang kepalanya, belum berniat untuk membela diri. Mimik wajahnya mulai berubah menahan sakit, manik bulatnya menangkap kedua sosok asing yang tiba-tiba saja memperlakukan dirinya seperti itu, padahal dia tidak melakukan kesalahan apa pun.

Anak kecil perempuan itu terkikik geli, lalu Kakaknya pun melemparkan balok yang ia genggam ke tendas Enzi, sambil melepaskan remasannya pada surai. Enzi yang terkejut dan merasa kesakitan pun akhirnya menangis kencang. Kedua anak yang tadi menjahilinya langsung berlari masuk ke dalam mandi bola, orang sekitar yang baru menyadari pun pada menolehkan tendas, pegawai lain yang melihat Enzi menangis kencang jadi langsung berlari untuk menenangkan.

"Ya ampun Enzi! Kamu kenapa sayang?" Nila berjalan mendekat dengan terburu-buru sambil memasukkan gawai, ia terpaksa menyelesaikan panggilannya ketika mendengar suara tangis sang anak. Prayan yang baru muncul pun tampak menegang sebab melihat cicitnya sampai menangis terisak seperti itu dan memilih mengambil langkah besar untuk menghampiri Enzi.

Kilatan emosi pada kedua manik Nila saat menggendong Enzi dapat membuat ngeri orang-orang disekitar, seperti induk ayam yang siap mematuk siapa pun yang berani melukai anaknya. Prayan mencoba menenangkan Enzi sambil menanyakan kondisinya, petugas di sana pun meminta maaf karena merasa telah lalai. Agar tidak heboh, mereka pun menepi ke area tempat duduk dan menganggap semuanya selesai, tidak ingin memperbesar masalah, namanya juga anak kecil. Nila masih mencoba menahan amarahnya, karena ada presensi Prayan di sana.

"Kepalanya sakit nak? Dipukul pakai mainan balok?" Prayan mengulangi ucapan Enzi, anak itu lantas mengangguk perlahan. Keningnya memang terdapat ada benjolan besar. "Siapa yang lempar nak?"

"Katanya lambut Enji jelek," timpal anak itu dengan lesu, tentunya sedih dibilang seperti itu.

Nila mencoba mengambil napasnya dalam-dalam, jika saja tidak ada Prayan, sudah habis itu pegawai di sana. Dia mengelus pundak Enzi lalu beberapa kali mencium kiningnya perlahan.

"Itu," Enzi menunjuk ke arah depan. "Meleka yang lempal-lempal."

Prayan mengikuti arah tunjuk Enzi, begitu pun Nila. Tampak sepasang kakak-beradik yang terkikik di bagian atas perosotan yang tidak jauh, mereka menatap Enzi dengan senyuman mengejek.

Senyuman itu mengingatkan Nila pada dirinya sendiri saat di bangku sekolah. Seketika, rasa amarah yang membuncah pun padam, perasaannya seperti dijatuhkan dari gedung tinggi, mulutnya bungkam tergantikan dengan bulir-bulir keringat dingin yang mulai muncul pada tengkuk dan telapak tangan. Padahal sebentar lagi Enzi akan masuk TK, dia khawatir—sangat khawatir—jika kelak anaknya akan mendapatkan perlakuan lebih dari ini.

***

Lukisan itu menampakkan satu keluarga kecil yang terlihat bahagia; Ayah, Ibu dan Anak. Sosok ayah dengan senyum tipis di sebelah kiri sambil merangkul pinggang sang istri yang juga sedang mengulas senyum kecil, lalu seorang anak laki-laki berumur 3 tahun yang digendong oleh sang ibu tampak tersenyum bahagia memperlihatkan deretan giginya. Latar dari lukisan keluarga harmonis itu adalah kolam teratai di sore hari. Perasaan yang ditangkap dari lukisan itu adalah, senang tapi juga sedih, karena Hening tahu betul siapa mereka.

"Waktu itu ibu meminta seseorang untuk melukiskan kami. Saya bersyukur beliau dulu sempat mengusulkan ide ini," tutur Raga sembari ulas senyum tipis dan menaruh kain putih itu di bangku kosong yang tersedia di sana.

Hening mendekat selangkah, maniknya masih terpaku pada lukisan di sana. Memang ya, suatu karya seni akan dapat mengena ke hati. Tekhnik lukisan yang digunakan sangat rapi, warna yang dipilih memberikan kesan hidup nan indah, membuat betah.

"Pasti banyak kenangan indah di sini ya Mas?" tanya Hening sambil menoleh dan kembali mundur.

Raga mengangguk pelan. "Lumayan ... Karena gedung ini baru jadi setengah tahun sebelum beliau meninggal. Tapi bersyukur, ibu saya masih sempat memajang hasil lukisan-lukisannya di sini," timpalnya. Rasa sayang Raga terhadap Citra, sang ibu, memanglah sangat besar—bahkan dapat menyaingi diameter matahari; bisa lebih. Sebagian lukisan Citra sudah dijual dan hasilnya disumbangkan ke panti asuhan, dia sengaja melakukan itu agar setidaknya karya sang ibu memiliki manfaat yang lebih.

Gadis itu merasa tidak pantas untuk iba, di lain sisi ia merasa bahwa dirinya selama ini tidaklah bersyukur sebab selalu menyalahkan diri semenjak kematian sang ayah. Lihatlah Raga, pria di sampingnya itu kehilangan kedua orangtuanya sekaligus, tidak ada saudara yang menemani, hanya memiliki seorang kakek. Sedangkan Hening? Dia masih memiliki sosok ibu dan seorang adik yang selalu mendukung dengan cara mereka sendiri.

Ternyata kesialan gue salama ini nggak ada apa-apanya.

"Kayaknya aku tahu deh, arti dari nama Mas." Tahu-tahu Hening berucap demikian.

"Oh ya? Apa artinya?" Raga tampak penasaran, bahkan dirinya sendiri saja tidak tahu arti dari namanya sendiri. Menurutnya, tidak ada yang spesial dari nama itu, bahkan dia sempat berpikir jika ayahnya cukup malu untuk memiliki anak seperti dirinya sebab kata 'Bimantara' tidak diselipkan di sana.

"Raga Tatkala Juang, nama itu doa. Ning sih yakin harapan orangtua Mas sudah terwujud sekarang," Hening menjeda, menatap raut wajah bingung sang pria, "Mas Raga sudah berhasil berjuang, pasti nggak mudah, tapi buktinya bisa bertahan hidup sampai sekarang," jelas Hening sembari mengulum sebuah senyuman yang menenangkan.

Ah, rasanya Raga mulai menyesali ide tentang pengajuan hubungan palsu yang dulu sempat ia tawarkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top