Bab 40: Perasaan Aneh

...

Sopo wonge sing ra loro ati?
Wis ngancani tekan semene.
Nanging kabeh ora ono artine
Ra ono ajine.

"Dengar deh Bang, pasti gara-gara lo kan? Tuh, kakak gue jadi nyanyi-nyanyi nggak jelas," selidik Aden sambil menatap layar gawainya di mana terdapat Raga yang sedang mengerjap sambil membuat ekspresi bingung, mereka sedang video call. "Kedengaran kan? Gue kecilin lagunya malah kena semprot Mbak Hening, ngeri mana matanya sambil melotot, berasa ruh emak gue masuk ke dalam tubuh dia tau nggak."

Raga menutup bacaan bukunya, dari seberang sana jelas menangkap lagu dangdut yang sedang Hening putar. Aden seperti sedang melaporkan kondisi Hening saat ini kepadanya. "Mbakmu itu sedang jelek mungkin mood-nya."

"Lo ada apa lagi sama Mbak Hening? Bukannya kemarin udah baikan?" Aden sedikit meninggikan suaranya dari dalam kamar. "Tolonglah Bang bujuk Mbak Hening. Gue lagi pengen santai di hari libur. Mana bisa tidur seharian kalau begini situasinya." Aden tampak kesal tapi juga takut jika harus berhadapan langsung dengan sang kakak, jadilah dia mengadu pada Raga. "Mana speaker tetangga pada kenceng-kenceng juga, udah kayak lomba adu sepaker. Pusing kepala pangeran."

Pria diseberang enggan menjawab, dia hanya diam menyimak penjelasan dari adik Hening. Raga merasa tidak ada sangkut paut dengan dirinya tapi penjelasan Aden terdengar kasihan sekaligus menggelikan memang. Tampaknya Raga harus melakukan sesuatu, padahal hari ini dia berniat untuk menata pikiran dan juga hati.

Tapi mau bagaimana lagi, dia terpaksa harus datang ke rumah gadis yang sempat mengacaukan perasaannya—tidak tahu saja dia, kalau ada yang sedang kalang-kabut juga menata perasaan. Pikir Raga, toh hanya bertandang ke rumah seperti biasa, tidak apa-apa kan.

***

Bisa dikatakan jika Hening sedang patah hati sekarang, tepatnya sejak kemarin. Aneh ya, padahal belum resmi menjadi sepasang kekasih, tapi hatinya sudah patah menjadi dua. Masih jadi dua untungnya, belum menjadi berkeping-keping. Kalau sedang seperti itu, suasana hatinya terasa mendung, malas berinteraksi dengan siapa pun, yang dapat mengendurkan ikatan pada hatinya yang mengeras hanya lewat kegiatan mendengarkan lagu dan makan yang banyak—setidaknya dua hal itu paling efektif bagi Hening.

Spot favorif untuk merenung selain di kamar, tidak lain dan tidak bukan adalah sofa ruang tamu sambil duduk bersandar dan mengangkat kedua kaki untuk ditekuk. Lagu dangdut dengan volume kencang dia putar sambil bergumam mengikuti liriknya. Hari ini tidak ada yang bisa mengusik kegalauan yang sedang melandanya, bahkan Aden sekali pun. Hening tadi sempat menyuruh Adiknya untuk ke tempat temannya untuk numpang tidur, sedikit berlebihan memang.

...

Tak oyak'o, aku yo ora mampu
Mung sak kuatku mencintaimu

"Mencintaimu!"

Seketika terdengar suara anak kecil pada rungu Hening, ia yakin tidak salah dengar barusan. Maniknya perlahan bergerak, beralih dari menatap gawai ke ambang pintu yang terbuka lebar. Mata hazel miliknya mengerjap tidak percaya atas apa yang sedang ia tangkap. Buru-buru Hening mematikan speaker kecil miliknya dan berdiri kaku sambil merapikan anak surai yang berantakan. Dia memang belum mandi padahal sudah pukul 11 siang.

Raga yang berdiri pada ambang pintu sembari menggendong Enzi hanya bisa bergeming, menatap perilaku Hening yang sekilas mirip dengan Sayani. Dia merasa déjà vu. Enzi terkikik karena melihat penampilan Hening yang lusuh, gadis itu hanya mengenakan daster hitam bermotif batik seperti milik Sayani.

"Maaf, aku lagi kangen Mama," ucap Hening memberi info yang tidak berarti kepada Raga. "Halo, Enzi!" Mengalihkan perhatian, Hening langsung memasang senyum lebar sambil mengulurkan tangan tampak bahagia, seperti tidak terjadi apa-apa. Dia pun berjalan mendekat untuk meraih tubuh Enzi, tidak dapat berbohong jika Hening memang sangat merindukan malaikat kecilnya.

"Akhirnya gue bisa istirahat!" teriak Aden tiba-tiba. Dia keluar dari kamarnya lalu berlari ke arah Enzi untuk digendong. "Halo Enzi, ayo kita main! Di kamar uncle ada mobil-mobilan baru, keren warnanya biru," ujar Aden. Enzi pun tampak senang dan antusias, bersedia begitu saja digendong Aden.

Hening yang keduluan Aden hanya bisa mematung masih sambil mengulurkan tangannya. Atensi gadis itu memperhatikan sang adik tanpa mampu mengucapkan sepatah kata hingga keduanya berlalu ke dalam kamar Aden.

Seketika rengkuhan tidak terduga dilaku oleh Raga, badan mungil Hening dengan mudah masuk dalam kungkungan tubuhnya. Sontak saja gadis itu diam membatu, dia menengadah sambil mengerjap cepat. Hening tidak membalas pelukan pria itu tentunya karena sedang mencerna keadaan. Lalu, Raga melepaskan pelukannya tanpa mengatakan apa pun dan beralih untuk duduk di sofa.

Jadi barusan maksudnya apa? Tolong ada yang bisa menjelaskan bahasa Raga Tatkala Juang?

***

Jalanan Ibu Kota tidak pernah sepi, apa lagi saat hari libur dan keluar pada siang hari. Kebetulan sinar matahari tidak begitu terik meski hawa panas masih saja terasa. Hening dan Raga berjalan menyusuri trotoar yang cukup untuk keduanya singgahi secara berdampingan. Pria yang lebih tinggi memilih untuk berjalan di perbatasan jalan raya, sedangkan sang gadis di sisi lain agar lebih aman tentunya.

Hening dan Raga awalnya terus berjalan dalam diam. Raga memberi titah sang supir untuk mencari parkiran, lalu ia mengajak Hening untuk memburu udara segar, sebetulnya tidak ada yang didapat melainkan polusi udara, tapi untunglah Raga mengajak Hening ke daerah yang lebih tenang. Ada sederetan kios yang berjualan makanan, mulai dari bakso, mie ayam, hingga nasi goreng. Ada pula yang khusus berjualan minuman.

Tujuan yang Raga tuju sebetulnya adalah es podeng, tidak ada di deretan kios itu, melainkan hanya disebuah gerobak di dekat restoran mie sederhana. Hening hanya menurut. Sejujurnya ia sudah menolak ajakan Raga saat di rumah, tapi pria itu seakan menulikan pendengaran dan menggeret Hening sampai ke tempat ini.

Terlalu cepat bagi Hening untuk bertemu kembali dengan Raga.

"Duduk sini, berdiri begitu terus apa tidak pegal?" tanya Raga kepada Hening yang masih berdiri tegap. Pria itu sendiri sudah duduk di bangku kayu tepat di sebelah gerobak es podeng setelah memesan dua gelas es dengan isi yang komplit kepada sang penjual.

Gadis itu dengan perlahan duduk di samping Raga. "Aku kepikiran Enzi, abis ini pulang ya?" ajak Hening, memberikan sebuah alasan.

"Enzi sudah bersama Aden, nggak perlu khawatir," tanggap Raga sambil sesekali menyipitkan matanya kala sinar matahari memantulkan cahaya.

Gerakan patah-patah kepalanya saat menoleh ke arah Raga memberi fakta bahwa Hening masih merasa sedikit canggung. Tendasnya sedikit menengadah setelah sepenuhnya menatap pria jangkung yang kini bersikap seperti sediakala. Sepertinya di sini hanya Hening yang merasa aneh terhadap perasaannya.

Gadis itu tidak tahu, jika Raga sedang mati-matian bersikap tenang saat berada di samping Hening. Dia cukup lihai mengendalikan emosi, entah harus berbangga diri atau tidak. "Gimana kabarmu, Ning?" tanya Raga seraya menoleh, sesungguhnya ia sudah kehabisan bahan obrolan. Sepanjang perjalanan tadi Hening hanya merespon dengan senyuman kecil atau tanggapan pendek.

Hening yang ditanyai pun mengkerutkan kening sambil menahan tawa yang hendak keluar, ekspresinya jadi lucu sekali. "Baru juga berapa jam nggak ketemu, Mas. Baru kemarin lho."

Raga yang disindir pun jadi terkekeh pelan. Kedutan senyuman pada bibir Hening membuatnya sadar jika pertanyaannya itu terdengar kurang pas. "Baru kali ini saya kehabisan kata-kata karena kamu."

"Memangnya aku kenapa deh?" Kekehan Raga menular, Hening geli sendiri jadinya. "Lagian aku nggak mau pergi malah dipaksa."

"Kalau besok saya ajak ke gedung kesenian milik almarhum ibu, kamu mau?" Raga cukup berharap mendapat persetujuan dari sang gadis.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top