Bab 4: Rumah Hening


Awal hari yang terbilang sangat normal menjurus ke mencurigakan, semenjak pertemuan Hening dengan Raga, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah atau dari sekitarnya yang terasa lebih positif. Tidak tahu mana yang pasti, namun ia yakin sesuatu yang baik telah dan akan mengubah hari-harinya ke depan.

"Mama bikin makan malam?" gumam Hening, yang sedang membetulkan tempat tidur lalu mengendus aroma wangi masakan; tempe goreng, ayam goreng dan sambal yang paling dominan. Jika ibunya malam atau pagi membuat masakan, berarti suasana hatinya sedang bagus. Bagaimana tidak, Sayani senang anaknya sudah mendapatkan pria sesuai kriteria, saat masuk rumah kemarin ia langsung diwawancarai ibunya soal pria yang membelikannya banyak makanan, seperti hal itu lebih penting ketimbang lebam di kaki anaknya.

Sambil sedikit berjalan pincang, Hening keluar kamar menuju dapur dan duduk di kursi makan sembari mengambil tempe goreng yang masih hangat.

"Aden belum pulang, Ma?" tanya Hening sambil menggigit tempe, ia mengedarkan pandangan dan tidak mendapati Aden di sana yang suka membuat gaduh di malam atau pagi hari.

"Belum, tadi katanya ada yang harus dikerjakan sama kawannya, jadi pulang agak telat," jawab Sayani.

Hening manggut-manggut, lalu bersandar pada kursi sambil meregangkan tubuh setelah tempenya sudah habis ia santap. Sayani mendekat sambil membawa panci berukuran sedang yang isinya sayur asam.

"Kapan kamu mulai kerja sama Raga, Ning?" Sayani kembali sibuk untuk mencuci piring.

"Nggak tahu, Ma, belum ada kabar lagi. Katanya nanti dikabarin." Hening berdiri dari sana dan berinisiatif mengambil alih kegiatan mencuci piring.

Sayani tersenyum puas, sambil bersedekap dan menghadap berlawanan arah dari anaknya di samping. "Jadi asisten itu harus teliti, Mama nggak yakin kamu yang ceroboh bisa handle pekerjaan kayak gitu." Bukannya menyemangati, tapi Sayani malah memperingati anaknya.

Helaan napas berat terdengar, Hening mengangguk pelan. "Doain aja ya Ma semoga semua lan ...."

"Tapi bagus kamu sudah punya pacar yang mapan," sela Sayani yang terkikik sambil menepuk bokong anaknya, "harus kamu pertahankan, bikin Raga betah sama kamu, inget lho Ning!"

Ketika Sayani melenggang, Hening sempat menjeda kegiatannya, menatap ibunya dengan datar dan menggeleng kecil. "Emakku memang agak lain."

"Mama dengar lho!" teriak Sayani dari ruang tengah lalu menyalakan lagu dangdut, Bojo Galak dari Nella Kharisma melalui pengeras suara berukuran mini. Kencang-kencang lagu itu melantun, lalu Sayani masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Nasi hangat mengepul kala Hening membuka alat penanak nasi, aroma wangi pandan dari nasi yang sudah matang membuat perutnya mulai berisik minta diisi.

"Yo wes ben nduwe bojo sing galak, yo wes ben sing omongane sengak." Hening bersenandung sambil mengambil nasi, ayam goreng kemarin yang di hangatkan, juga sambal. Suasana hatinya sangat bagus, meski terus dihantui rasa was-was. Langkahnya riang sambil membawa piring menuju ruang tengah, tapi harus terhenti saat sosok tidak asing sudah berdiri tegap di ambang pintu yang terbuka, tatapan mereka pun bertemu saat Hening mulai menggigit ayam goreng.

Seneng nggawe aku susah
Nanging aku wegah pisah

....

Pakaian Raga terlihat lebih santai, dengan atasan putih lengan panjang dan celana jeans longgar. Terlihat seperti umur 25-an, padahal sudah kepala tiga. Hening pun tersadar dan mengerjap.

"P-Pak Raga?" Hening buru-buru mematikan lagu dangdutnya sambil meletakkan piring. Raga masih bergeming memperhatikan gadis yang tampak panik itu.

"Ning! Kok dimatikan lagunya?" Dari dalam kamar mandi Sayani berteriak kesal, membuat Hening menoleh.

"Anu, silakan duduk dulu Pak," Hening mempersilakan Raga masuk dengan sopan lalu berlari terseok ke kamar mandi, "Pak Raga datang, Ma!"

Raga pun mengangguk seraya masuk dan duduk di sofa ruang tengah dengan elegan.

"Siapa? Bapak siapa?" Nada penuh tanya disertain nada tinggi Sayani membuat Hening menggigit bibir bawahnya, meski kamar mandi di dekat dapur, rumahnya terbilang kecil dan jarak antara dapur dan ruang tengah sangat dekat.

"Ra-Raga!" Hening berseru.

"Oh ... pacarmu datang?" Sayani bertanya memastikan.

"Iya, pacar Ning datang!" Terpaksa Hening menjawab begitu dan merutuki dirinya sendiri, lalu melenggang untuk kembali ke ruang tengah dengan mengulum senyum kecil seperti tidak terjadi apa-apa. Sayani sudah tidak berkomentar, Hening bisa bernapas lega karena kehebohan barusan telah teratasi.

Raga tampak santai, meski Hening menahan malu sembari duduk di sofa dekat Raga.

"Maaf, tadi saya sudah permisi tapi tidak ada orang yang keluar," ucap Raga.

"Oh, iya ... nggak apa-apa, Pak, karena lagunya tadi kebesaran." Hening menjawab dengan canggung sambil melirik piring yang berisi nasi hangat dan ayam goreng yang belum sempat ia santap. "Bapak kapan pulang—eh maksudnya, Bapak mau makan dulu? Tadi Mama masak tempe sama sayur asam, ayam yang kemarin dibelikan Bapak juga sudah dihangatkan."

"Tidak perlu, terima kasih, tadi sudah makan," Raga tersenyum tipis, "saya kemari untuk bertemu ibumu, memberi salam ... oya, kakimu sudah mendingan?"

"Allhamdulillah sudah Pak, urutan Bapak jos banget, kaki saya sudah enakan," tanggap Hening.

Raga mengulas senyum hangat seraya berdiri kala Sayani keluar dari kamar mandi dengan senyum sumringah, rambut basahnya tergulung handuk. Ia terlihat senang dan menyambut kedatangan 'pacar' anaknya dengan menggeser posisi Hening untuk membalas uluran tangan Raga. Sayani duduk diantara keduanya.

"Bagaimana kabar Ibu? Mohon maaf saya baru sempat mampir Bu, kemarin buru-buru harus mengurus kantor," jelas Raga dengan senyum mengembang, terlihat ramah dan berbeda perlakuannya terhadap Hening.

"Allhamdulillah baik, oalah iya tidak apa-apa nak Raga, pasti sibuk sekali ya," tanggap Sayani sambil mesam-mesem.

Raga hanya tersenyum sopan. "Oh iya, ini untuk ibu." Raga memberikan kantung makanan berukuran sedang, berisi buah-buahan; jeruk, apel dan buah naga, yang terlihat segar.

Sayani tidak dapat menutupi senyuman lebarnya dengan ekspresi wajah kelewat girang, ia menerima kantung makanan itu sambil menyenggol Hening yang berada di sebelahnya. "Aduh, nggak perlu repot-repot, terima kasih banyak lho nak Raga. Saya terima ya." Ia menaruh kantung itu di atas meja.

"Hening sudah bercerita banyak tentang kamu, musibah bisa membawa berkah juga ya ternyata. Siapa sangka kalian malah dipertemukan," Sayani sedikit mendekat ke Raga, "kalau memang jodoh, memang ndak ke mana." Lanjutnya sambil terkekeh jenaka.

"Orang tuamu kerja apa, nak Raga?" Hening menatap Raga sambil tersenyum hambar ketika Sayani mulai menanyakan hal-hal pribadi.

"Saya yatim piatu, dan anak tunggal, hanya punya kakek, beliau menjalankan beberapa bisnis. Ada paman dan satu sepupu laki-laki dari saudara Ayah yang kerja jadi pengacara," jawab Raga dengan santai dan cukup rinci, berjaga jika Sayani akan detail menanyakan ini-itu.

"Wah ... lulusan hukum semua ya. Ndak ada yang mengikuti jejak kakek, to?" Hening menjawil pelan lengan Sayani, berharap ibunya menyudahi aksinya, ia jadi merasa tidak enak kepada Raga. Namun Sayani terlihat tidak berniat untuk berhenti.

"Kebetulan saya juga mengurus bisnis waralaba, sepupu saya juga. Untuk sampingan," respon Raga dengan sabar.

"Ma, rambut Mama keringin dulu, nanti masuk angin lho." Hening menyela saat Sayani akan melanjutkan komentar.

Sayani memegang handuknya yang masih membalut surai. "Oh iya, lupa. Yasudah ibu masuk ke dalam dulu ya nak Raga, mau mengkeringkan rambut lalu istirahat," Sayani pun berdiri bersamaan dengan anggukan sopan dari Raga, "tolong taruh buahnya ke kulkas Ning, sama buatkan teh gih. Nak Raga silakan ya anggap saja rumah sendiri."

Hela napas penuh kelegaan dilaku Hening kala Sayani melenggang masuk ke kamar, ia pun berdiri hendak beranjak ke dapur sambil membawa piring makanannya dan kantung buah.

"Saya ke dapur dulu ya Pak."

"Saya ikut," potong Raga cepat sambil berdiri dan mengambil alih kantung buah dari genggaman Hening.

Hening menatap Raga bingung. "Oh ... iya, Bapak mau bantuin saya bikin teh?"

Raga menggeleng. "Mau lihat kamu bikin teh, takutnya dikasih racun," Raga berjalan mendahului Hening, sudah seperti rumah sendiri, "di sini ya?" Ia mengedarkan pandangannya saat memasuki dapur lalu menaruh kantung buah di meja makan.

Tidak ingin ambil pusing, Hening mengekor dan mulai membuat teh untuknya dan Raga setelah memasukkan buah-buahan ke dalam kulkas. Suasana di dapur sangatlah sunyi, hanya ada suara beberapa benda yang bergesek atau berbenturan ringan karena aktivitas Hening.

"Bapak mau lihatin saya sampai kapan? Apa nggak pegal berdiri terus?" Hening menuang air panas dari termos ke dalam dua cangkir teh yang sudah diisi gula dan teh celup. Raga berdiri tepat di samping Hening sambil bersandar pada dinding, kegiatan gadis itu seperti sebuah tontonan yang menarik baginya.

Tangan Raga terulur, membetulkan beberapa surai Hening yang mencuat dari ikatan rambut gadis itu, gerakannya pelan dan santai, tidak merasa terbebani sedikit pun. Hening berdeham sambil mengaduk teh, sedikit salah tingkah. Ia berbalik untuk membawa satu cangkir ke meja makan.

"Kita pacaran kan?" celetuk Raga.

Imbas kalimat tanya dari Raga, membuat Hening tiba-tiba gugup dan tersandung bangku kecil. Seketika semuanya kembali seperti hari-hari normal versi Hening, yang seharusnya seperti itu, tangannya terkena teh panas dan cangkir pun pecah.

Raga terlihat sigap membantu Hening saat gadis itu membungkuk menahan sakit, Sayani yang awalnya ingin keluar untuk membantu, lantas mengurungkan niat dan memilih untuk mengintip interaksi keduanya dari dalam kamar.

"Kamu tuh ... bisa tidak sih saya lihat kamu tanpa terluka seperti ini? Ceroboh betul." Raga mengomel, membasuh tangan Hening dengan air mengalir di tempat cuci piring.

"Saya juga maunya nggak kayak gini, Pak." Wajah Hening kembali masam, menahan perih yang menjalar pada tangan.

"Lebam yang kemarin saja baru mau sembuh, sekarang ini." Raga menggoyangkan tangan Hening yang ia genggam.

"Lagian Bapak pakai nanya segala tadi," protes Hening, mencoba membela diri karena pertanyaan spontan Raga yang cukup mengagetkan jantung.

"Kan saya cuma nanya tadi," Raga mendekatkan wajah sambil berbisik di telinga Hening, "kita memang pura-pura pacaran, tapi kita harus bersandiwara sebaik mungkin. Juga, jangan panggil saya Bapak saat di depan keluarga kita."

Tidak dapat dipungkiri jantungnya berdetak cepat, Hening tidak terbiasa melakukan sentuhan fisik dengan lawan jenis selain dengan adiknya sendiri. Tidak jauh dari mereka, maniknya menangkap Sayani yang buru-buru menutup pintu kamar, ia baru tau ternyata dari tadi ibunya mengawasi mereka.

Perlahan air keran Raga matikan, bersamaan dengan Hening yang susah payah menelan ludah.

***

Siapa yang modelan emaknya kayak Sayani? Hayo ngaku, semangat ya Honey menjalani hidup nggakpapa meski sambil nangis 😭 namanya juga orangtua, turutin aja biar berkah hihi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top