Bab 39: Suka Aku?
Separah apa sampai gue harus pergi dari dia? Tahu kan, manusia kalau sudah dilarang biasanya akan timbul rasa penasaran dan niatan untuk melanggar disebabkan keingintahuan yang tinggi. Bagi Maya, kalimat Jefran barusan belum cukup kuat untuk meluruhkan tekadnya. Semua itu harus berlandaskan oleh suatu fakta, hingga gadis itu melihat sendiri dengan kedua matanya, baru bisa ia simpulkan secara matang.
Kuasa Maya memegang pergelangan tangan Jefran yang menyentuh lehernya. "Terserah kamu mau bilang apa, karena aku udah nggak bisa ke mana-mana." Faktanya, tarik ulur Jefran lebih menjanjikan ketimbang sampai mati ia tidak mengetahui apa-apa sama sekali. "Rumahku tinggal dua, Ibu dan kamu. Pilihan paling waras dari pada percaya sama Wahyu apa lagi orang asing."
Tidak ada perubahan mimik wajah Jefran yang berarti. Kamu terlalu naif, Sasmaya. "Kenapa begitu?"
"Karena aku merasa kamu bukan orang asing." Maya sejenak mengambil napas. "Walaupun tetap ada rasa ragu, tapi aku nggak sebego itu." Gue tetap bisa bedain mana yang berniat buruk ke gue dan mereka yang selalu berusaha ngelindungin.
Sentuhan tangan Jefran melemah, ia tarik kuasanya dalam diam. Kepala mulai penuh dengan suara bising atas pemikirannya sendiri, entah ia harus merasa lega atau malah ujung pistol siap tembak sedang di arahkan kepadanya?
Ketukan pada pintu menginterupsi keduanya. "Aniki, sudah waktunya," ujar Yono dari balik sana.
"Saya nggak sebaik yang kamu kira." Jefran beranjak melewati Maya begitu saja seraya membuka pintu lalu berujar pada Yono, "Kita ke butik dulu."
***
Dress lengan panjang berwarna hijau terang dengan motif bunga, menjadi pilihan figur bersurai pirang dikepang satu itu untuk menghadiri acara pertemuan. Agar masih terlihat formal, coat hitam membalut tubuh rampingnya disertai high heels terang senada. Ketika keluar dari mobil dan meraih uluran tangan Jefran, beberapa pasang mata tampak menyoroti Maya yang terlihat sukar mengulum senyum.
Bangunan besar di depan tampak sederhana dan jauh dari kata menyeramkan, yang jadi masalah adalah aura orang-orang berpakaian rapi di sekitarnya. Dominan pria dewasa, mereka yang datang langsung melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung tanpa bertegur sapa, lebih tepatnya menyisakan bisikan pelan lalu bertindak acuh tak acuh tanpa alasan yang jelas.
"Mereka semua keluargamu?" tanya Maya yang berdiri di samping Jefran.
"Dulu," jawab Jefran pelan seraya menyisipkan kuasa pada pinggul Maya.
Maya tidak merespon, tetapi pertanyaan pada benak mendadak bermunculan. Ini pertemuan keluarga atau pertemuan antar pesaing bisnis sih?
Baru beberapa langkah tungkai mereka bergerak, jalan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang sekiranya seumuran Jefran.
"Hisashiburi (Lama tidak jumpa)." Pria itu lebih pendek dari Jefran, mungkin setinggi Maya. Jas hitam bertengger pada pundak kanannya, kemeja putih dengan lengan digelung hingga ke siku menampilkan otot yang dibentuk dengan baik juga tatto mengerikan tercetak pada kulit.
Tatto ... Jefran juga punya tatto kayak gitu.
Rambut pria itu rapi disisir ke belakang tampak modis, tetapi senyuman bibir tersungging remeh sangat menjatuhkan kesan pertama yang tercipta. Di belakangnya banyak sekali pria berjas yang berkerumun sambil menatap tajam seakan berjumpa musuh lama; tidak ada ramah-tamahnya sama sekali.
Jefran hanya bergeming sambil memperhatikan penampilan pria itu, sebab ia sendiri merasa tidak mengenalinya. Kalimat yang tepat; pria di hadapannya ini siapa, itu bukan urusan dia. Fokusnya kini hanya mencari presensi Arata, sang Kakek. Bersamaan dengan itu, Maya merapat pada Jefran dengan was-was.
"Oi, lupa denganku? Kita sering bermain bersama dulu," kekehan tercipta, lalu ekspresi seperti mengingat sesuatu diagihkan pada rupa. "Oh iya lupa kalau kau buta, lalu sekarang tidak bisa berbicara ya?"
Maya mengernyit, meski ia tidak tahu apa yang pria itu ucapkan karena memakai bahasa jepang, tetapi gadis itu yakin jika tingkahnya seperti sedang mengolok-olok sesuatu.
Yono di belakang berbisik pada Jefran, memberi informasi jika pria itu adalah sepupu, bernama Ryota.
Ryota mendekat selangkah seraya menatap Maya dari bawah sampai atas seakan bola matanya akan keluar sambil menjilat bibir, menjijikan sekali, sang gadis tentu merasa terganggu. Apa lagi sang tunangan, rahangnya mulai mengeras masih menahan luapan emosi, tidak rela gadisnya ditatap seperti itu.
"Dia wanitamu?" Ryota menoleh ke arah Jefran, senyuman miring ia sertai lagi. "Buatku ya?"
Bila lengan Jefran tidak Maya tahan, sepertinya satu tonjokan manis sudah bersarang pada wajah arogan Ryota.
Maya maju selangkah, membusungkan dada seraya menyilangkan kedua tangannya. Ia kesal merasa dilecehkan oleh tatapan tidak sopan Ryota, jadilah rasa takut akan sosoknya sirna. "Yon, tadi kampret ini bilang apa ke gue?" Maya membalas tatapan Ryota dengan berani, ekspresinya mengisyaratkan bahwa ia sangat terganggu.
Dehaman dilaku Yono lalu berujar, "Maaf sebelumnya, Nee-san. Dia mau menjadikan Nee-san budak sex-nya."
Teriakan Ryota terdengar malang terlontar dari bibirnya seraya mengaduh kesakitan ketika kaki kanan menjadi sasaran kilat high heels Maya. Nyaris saja sepatu hak tinggi itu melobangi kaki Ryota karena tekanan penuh kesungguhan dilaku sang gadis.
"Tuan muda!"
"Oi! Kalian cari mati ya?"
"Tuan muda, kau tidak apa-apa?"
Pengikut Ryota satu per satu dengan ribut langsung menolong Tuannya. Terlihat seperti sosok Tuan muda manja. Maya tersenyum puas diikuti dengusan pelan, lalu dengan bangga merapat pada sisi sang tunangan kembali. Tanpa sadar Jefran sedikit membuka bibir, siapa sangka Maya akan melakukan aksi nekat seperti itu?
"Sialan kau pelacur!" Disela mengaduh, masih sempat-sempatnya Ryota ucap sumpah serapah. Mari bertaruh, Yono di belakang sana sedang berusaha mati-matian untuk menahan gelak tawanya.
"Cukup." Keributan itu langsung mereda dengan satu kata yang berhasil mengambil kendali situasi. Akihiro datang dengan setelan jas hitam formal, serupa dengan beberapa pengikut di belakangnya. "Kakek sudah menunggu di atas."
Manik Akihiro menangkap sosok Maya, cukup lama memandang hingga tatapan sang gadis tanpa sengaja bersirobok. Matamu sangat mirip dengannya.
***
Yakuza. Gue yakin perawakan mereka persis kayak tokoh di komik Gyuta yang pernah gue pinjem. Berarti ... mafia kan? Maya tampak berpikir seraya memperhatikan sekitar mencari kamera tersembunyi, kali saja dia sedang salah masuk ke lokasi pembuatan sebuah film.
Dalam ruangan berukuran 4 x 4 berdiri dua pria tegap pada belakang masing-masing sisi sosok seorang kakek penuh wibawa, meski sesekali suara batuk keluar dari bibirnya. Beliau duduk di sofa singgasana menghadap Jefran sambil memancarkan aura tidak berkenan. Sedangkan Yono dan Maya berdiri cukup berjarak di belakang, tapi mengapa tidak duduk di sofa empuk seperti Jefran?
Sebab hanya ada satu sofa, itu pun sudah penuh oleh tubuh Jefran, tidak mungkin juga Maya dan Yono duduk di sebelah kiri dan kanan Kakeknya Jefran kan. Masih beruntung pula berkat sikap berani Maya di awal tadi yang mendeklarasikan diri sebagai tunanganmerasa harus ikut masuk mendampingi—dapat meloloskan diri bersama Yono untuk masuk ruangan. Akihiro tidak ada di sana sebab berada di ruangan berbeda, menjadi satu dengan anggota keluarga yang lain.
"Ayah dan Anak, sama-sama bodoh." Tanpa merasa keberatan Arata berkata demikian, seraya terbatuk kecil. "Seharusnya kisah cinta Ayahmu kau jadikan pembelajaran, bukannya malah masuk ke lubang yang sama."
Ah, entah kenapa Maya langsung sebal melihat wajah Kakeknya Jefran.
Maya menyikut Yono. "Kakek itu bicara apa Yon?" bisik Maya sambil memperhatikan ketegangan yang terpancar pada percakapan Jefran dan sang Kakek.
Yono sedikit menunduk. "Em, Aniki dikatai bodoh."
Bodoh? Apa mereka berdua beneran kakek sama cucu? Nggak kelihatan kayak gitu.
"Apa pedulimu, Arata?" sahut Jefran dengan tenang.
Kakek itu tertawa lepas, membuat Maya yang sedari tadi diam menyimak jadi mengerjap bingung. "Cucu tidak tahu berterima kasih, pantas mereka semua mengincarmu."
"Aniki dikatai jika tidak pernah berterima kasih," lanjut Yono beralih profesi menjadi penerjemah Maya.
"Intinya kedatanganku kemari hanya untuk memberi kabar pernikahan, soal pertunangan mungkin sudah dengar dari anakmu," jelas Jefran dengan tatapan lurus ke depan.
"Bocah sialan," Arata meraih tongkat kayu pengumpu tubuh di sampingnya. "Saya tahu kamu datang untuk membuktikan pertaruhan itu kan?"
"Mereka berbicara soal pertaruhan ...," Yono buru-buru mengatupkan bibir setelah sadar akan ucapannya yang fatal. "Em, maksudnya"
Maya menoleh dengan cepat. "Pertaruhan?"
"Aib sepertimu selalu membuat emosiku naik, kau sudah dibuang tapi tetap bertingkah mencari gara-gara." Arata menggenggam erat tongkatnya. "Benar-benar membawa bencana, seperti Ibumu."
Sorot mata Jefran menggelap, dari tadi hanya mendengar kedua orangtuanya disalahkan yang berhasil membakar kesabarannya. "Tentu saja, dari pada menikahi anak dari rekan bisnis pilihanmu, bukankah dengan menikahi Maya adalah kado yang sangat menggembirakan, Kek?"
Arata perlahan berdiri seraya terbatuk-batuk, memanglah kondisinya sedang jauh dari kata baik-baik saja. "Kau mengancamku?" Kekehan berat terdengar perungu. "Padahal saya hanya mencoba untuk menyadarkan. Coba kau ingat lagi kenapa Ibumu mati? Karena kebodohannya sendiri."
"Terima kasih atas perhatiannya," timpal Jefran terdengar formal, lalu ikut berdiri. "Apakah dirimu bersikap seperti ini karena tahu sebentar lagi akan mati, Kek?"
Jeritan tertahan dari Maya merupakan aksi spontan kala Arata memukul keras pelipis Jefran dengan tongkat kayu miliknya. Pria itu menahan tubuhnya yang tumbang ke samping pada sofa, dengan kedua siku lengan sebagai pengumpu. Ia merintih diikuti gelengan pelan sebab pening yang mulai hadir.
"Bocah tidak tahu diri!" Tongkat Arata kembali melayang di udara, Yono tentu langsung merespon untuk menghadang tindakan yang kedua kali, tapi nyatanya Maya jauh lebih sigap berniat melindungi dengan memeluk Jefran dari depan.
Pokoknya gue udah gila! runtuk Maya dalam hati seraya memejamkan kedua mata.
***
Pojok Author 🍯:
Semoga harinya honey sedang berbahagia yaaa. See you on the next chapter 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top