Bab 37: Mama
Beberapa saat yang lalu Raga baru saja pergi keluar untuk membelikan Hening pakaian, jadilah di kamar hanya ada Enzi dan Hening. Malaikat kecil kesayangan Hening selalu menurut dan mudah untuk diberi tahu jika harus minum oralit meski bagi anak itu rasanya aneh dan tidak enak teteapi tetap saja ia telan. Siapa yang sangka anak sebaik dan selucu Enzi adalah hasil perpaduan dari Danar dan Nila, meski memang banyak campur tangan Prayan juga, sepertinya poin itu yang membuat Enzi tumbuh menjadi anak yang manis dan penurut.
"Enzi masih sakit perutnya?" tanya Hening memastikan seraya membantu Enzi naik ke atas kasur. Anak itu habis muntah lagi dan sudah 3 kali bolak-balik ke kamar mandi karena ketambahan diare.
Enzi mengangguk, lalu detik selanjutnya menggeleng lemah. Anak itu merasa sudah mendingan dari sebelumnya meski rasa sakit masih menjalar di daerah perut. Hening pun selalu sabar di sisi Enzi sembari kulum senyum lembut agar anak itu merasa nyaman.
"Nggak apa-apa, pasti nanti sembuh. Kalau sakit bilang ya Enzi? Nanti Aunty kasih minyak kayu putih lagi," ujar Hening seraya membenarkan selimut yang menutupi tubuh Enzi hingga sebatas dada. Anak itu berubah menjadi pendiam, tidak rewel, seperti sudah cukup tenang dengan keberadaan Hening di sampingnya.
"Aunty. Enji boleh panggil Aunty, Mama?" tanya Enzi tiba-tiba.
Ucapan Enzi membuat Hening mengerjap bingung. "Enzi sudah ada Mami Nila kan?"
"Mami Nila, Mama Ning. Boleh?" Enzi dengan kedua mata bulatnya menatap lurus pada manik hazel milik Hening.
Hening tidak langsung menjawab, bibirnya mengatup sambil membalas tatapan Enzi. "Kenapa Enzi ingin manggil Aunty dengan sebutan Mama ...?"
"Mami Nila seling pelgi. Jauh ... jauh, Enji capek. Telus Mami belisik banget, malah-malah telus sama olang. Nggak kayak Aunty Ning. Aunty nggak belisik, bisa ajalin Enji gambal kucing juga."
Gadis itu tercenung mendengar penuturan Enzi. Miris mendengarnya, tapi jika melihat kelakuan Danar dan Nila, memang cukup wajar anaknya sendiri saja sampai tidak betah.
"Boleh ya, Aunty?" tanya Enzi lagi yang masih berpegang pada pendiriannya sebagai seorang anak kecil yang lugu.
"Ya sudah boleh," jawab Hening seraya mengangguk pelan diikuti senyuman mengembang, "tapi Enzi harus sayang juga ke Mami Nila ya? Mami Nila sayang banget lho sama Enzi, buktinya Mami Nila jarang marah kan ke Enzi? Permintaan Enzi juga selalu Mami Nila kabulin. Jadi nggak boleh ngomong kayak tadi, oke?"
***
"Nanti biar kakek saja yang beri info ke Nila dan Danar," ucap Prayan dari seberang sana. Raga sedang di ruang tengah karena dapat panggilan dari sang kakek.
"Baik, Kek. Terima kasih," jawab Raga pelan. Lalu mereka pun menyudahi panggilan itu. Raga baru saja datang ke rumah keluarga besar dari kegiatan mengecek kantor. Semua berkas yang harus di tanda tangani akan ia lakukan malam nanti, ia pun sudah menginfokan semua kondisinya kepada Rita pagi tadi sebelum berangkat.
Hening keluar dari kamar Enzi, dengan perlahan menutup pintunya dan berjalan ke ruang tengah menyusul Raga.
"Gimana keadaan Enzi hari ini?" tanya Raga seraya bersandar pada sofa empuk yang sedari tadi ia duduki.
"Allhamdulillah habis dicek dokter tadi sudah jauh lebih baik, ini jalan hari ke-3, semoga besok sudah sembuh," tanggap Hening seraya duduk di samping Raga sambil meregangkan lengannya. Beberapa hari ini ia mengeluarkan tenaga ekstra merawat Enzi karena harus siap siaga 24 jam. Enzi tidak ingin ditemani oleh baby sitter, jadi dia paling hanya membantu Hening saat membuatkan susu atau oralit saja. "Tadi kata Enzi badannya sudah enakan, dia juga sudah lebih ceria dan cerewet lagi," timpal Hening seraya terkekeh pelan. Senang melihat Enzi sudah membaik.
"Maaf ya merepotkan," ujar Raga seraya tersenyum kecil dan merogoh celana kain yang ia kenakan.
Hening menggeleng cepat. "Nggak apa-apa Mas. Enzi penurut banget kok, disuruh minum obat juga termasuk mudah anaknya."
"Pakai ini, buat matamu, mulai ada kantungnya tuh." Raga memberikan sebuah alat perawatan untuk kantung mata yang isinya krim. Aplikator diujung berbentuk kristal cantik berwarna putih yang bisa bergetar dan digunakan sekaligus, bentuknya lonjong tidak terlalu besar. Kardusnya sudah ia buka untuk pengecekan terlebih dahulu karena dia beli online jadi takutnya tidak berfungsi.
Hening menerima eye creme itu dengan senang hati. "Terima kasih. Mas pakai kayak gini juga?"
Raga menggeleng. "Dapat rekomandasi itu dari Jordan. Kalau saya merawat wajah sekadarnya. Cuci muka, kalau ada waktu luang maskeran dengan susu beruang ... ya kadang treatment juga memang."
"Ya ampun, susu beruang mending aku minum, Mas. Sayang banget buat masker wajah," dengus Hening merasa tidak terima, jiwa missqueen-nya mulai meraung-raung. Pantas saja wajah pria itu bisa tampak mulus.
Kekehan ringan terdengar dari bibir Raga sebab melihat ekspresi lucu Hening; bibir gadis itu mengkerucut seperti bebek. Entah kenapa Raga betah memperhatikan sang gadis dari samping, mengingat sosok mungil itu dengan ikhlas dan sabar mau merawat Enzi selama 3 hari ini. Tanpa ia sadari, relung hatinya mulai menghangat karena terisi sesuatu yang disebut 'rasa'.
***
Malam hari pada kediaman keluarga besar Raga di Senopati menjadi lebih ramai karena kehadiran Hening dan Raga, ditambah Enzi yang sudah berangsur sehat. Mereka menjadi pengisi keheningan rumah gedongan itu yang biasanya hanya diisi oleh beberapa pegawai dan satpam yang berjaga. Kini, tampak jauh lebih hidup dan layak untuk dikatakan sebagai sebuah tempat tinggal.
"Gila, ini rumah apa stadion futsal? Besar bener." Aden berceletuk ketika dirinya memasuki rumah utama. Keberadaan Aden pun akan menambah keramaian suasana di sana. Laki-laki itu memang berniat untuk menjenguk Enzi setelah pulang dari kerja.
Hening menyikut sang adik dari samping. "Jangan malu-maluin dek. Ayo cepet Enzi nungguin tuh di kamar."
Perlu berpuluh langkah hingga keduanya sampai ke kamar Enzi. Tampak di dalam ruangan sana Raga yang sedang duduk berhadapan dengan Enzi di ranjang seraya menyusun lego kesayangan anak itu.
"Halo, Enzi! Uncle Aden datang!" sapa Aden dengan senyuman mengembang lalu mengedarkan pandangan takjub melihat sekelilingnya seperti orang yang baru merasakan masuk mall. Ini kali kedua dia bersikap seperti itu setelah tadi masuk ke dalam rumah. "Kamar tidur Enzi sebesar rumah kita, Mbak," celetuk Aden sambil menggeleng pelan.
"Uncle Aden! Ayo main sama Enji, sama Papa Laga juga!" Enzi tampak antusias, senyumnya ditarik lebar sangat senang dengan kedatangan Aden.
Aden mendekat dan berdiri di sisi ranjang, diikuti Hening yang duduk berhadapan dengan Raga.
"Papa Raga? Sejak kapan Nila jadi bini lo, Bang?" tanya Aden sambil bersedekap bonus tampang bingung darinya.
Raga menghela napas. "Panjang ceritanya," tanggap pria itu seraya terkekeh geli.
"Mama Ning, Papa Laga," timpal Enzi tiba-tiba sambil menunjuk Hening dan Raga satu per satu.
"Sebentar Enzi," sela Aden, "harusnya gini, Mama Ning, terus Papa Aden," sanggah Aden sambil menunjuk sang kakak dan dirinya sendiri. "Terus itu Uncle Raga."
Enzi menggeleng tidak suka. "Mama Ning, Papa Laga, Uncle Aden."
Hening yang melihat situasi di sana tidak dapat menahan senyumnya lagi. Adiknya itu selalu saja mendebatkan hal kecil, bahkan dengan Enzi sekali pun.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top