Bab 33: Ada Rasa

"Papi seharian di rumah lho hari ini," ujar Danar sembari memeluk istrinya dari belakang, surai merah panjang milik Nila ia singkirkan perlahan ke samping agar memberi akses Danar untuk mengecup leher mulus bagian belakang wanita belahan jiwanya. Nila sedang berdiri mematut diri pada depan cermin besar pada dinding kamar yang memantulkan keelokan tubuhnya dengan baju tidur satin berwarna merah muda. Lebih tepatnya, memperhatikan bentuk tubuhnya yang ia rasa semakin melebar.

Bukannya senang mendapat perlakuan manis dari sang suami, Nila memukul pelan tangan Danar yang mulai bergerak nakal. Kebetulan memang Enzi sedang tidur di kamarnya sendiri ditemani baby sitter.

"Mami lagi nggak pengen, mood hilang. Pas tadi bangun tidur nimbang berat badan masa tambah 1 kilogram, harusnya kan berkurang, padahal malam juga nggak makan. Bikin kesal aja," keluh Nila sambil mengkerucutkan bibirnya.

Danar mengecup leher Nila beberapa kali, dia sangat menyayangi istrinya itu. "Ah, tidak kelihatan, Mami tetap terlihat cantik kok! Badan Mami juga masih ramping, tidak perlu—" Pria itu enggan melanjutkan kalimatnya karena mendapat pelototan dari Nila yang tampak di cermin.

"Sudah cukup mulut manismu, Pi." Nila melepaskan pelukan Danar dan beranjak ke sisi ranjang, duduk di sana sambil menyilangkan kaki jenjangnya. "Eh, soal hubungan Hening dan Raga, kita harus buat rencana lain lagi sampai mereka betul-betul berpisah, Pi."

Pria perawakan besar itu mengekor dan ikut duduk di samping Nila. "Bukannya kata Mami kemarin seharusnya sudah berhasil?"

Nila mengkerutkan alisnya sembari bergeser menghadap Danar dengan kening yang berkerut. Danar salah bicara lagi? Memang laki-laki selalu saja serba salah.

"Tapi bukannya kakek masih dengan pendiriannya? Hening dan Raga juga belum resmi putus, kamu gimana sih. Papi mau Raga mendapatkan uang 9 Tririlun itu? Nanti dia jadi lebih kaya dari kita!" Nila mendengus kasar, melipat kedua lengan ke depan dada dengan wajah iri.

"Nggak mau lah, Mi!" tanggap Danar dengan lantang, ikut kegerahan jika membayangkan sepupu yang dibencinya itu harus bahagia mendapatkan uang banyak.

"Makanya, besok kita ke rumah Raga. Mami ada rencana." Persis seperti sebelumnya, Nila si pelopor ide yang sedang kebakaran jenggot masih memiliki segudang rencana untuk kembali comeback membuat ulah.

Slogan keduanya saat ini adalah pantang mundur sebelum hubungan Hening dan Raga hancur.

***

Berdiri di ambang pintu, Raga dan Aden saling tatap dalam diam. Satunya memberi ekspresi penuh selidik, sedangkan yang lebih jangkung masih dengan wajah tenangnya sambil menenteng tas plastik yang dapat ditebak dari harumnya kalau itu adalah wedang ronde dan sate kambing. Aden seakan menghadang tubuh Raga agar pria itu tidak bisa seenaknya masuk dan dengan mudah memberikan kejelasan ke Hening.

Aden perlahan mengecek ke belakang, sudah tidak ada wujud Hening yang tadi sempat keluar kamar sebentar dengan tidak sengaja, tetapi saat mendapati Raga yang hendak masuk tentu saja gadis itu menolak dan kembali mengurung diri di kamar. "Udah aman Bang, gue mulai," bisik Aden kepada Raga yang setelahnya berdeham keras. "Apa Bang? Lo rela minum kacang ijo ini?" tanya Aden dengan nada yang sengaja meninggi agar mendapat perhatian Hening.

Sebelumnya memang Aden sudah memberi kabar ke Raga lewat pesan singkat soal sikap Hening, sekalian untuk mengkonfirmasi kebenarannya. Fakta yang diterima betul seperti dugaan, kakaknya itu terlalu berlebihan, overthingking, hanya salah paham terhadap Raga.

Raga menaikkan sebelah alis, lalu melotot, ekspresinya penuh tanya saat Aden meraih gelas yang berisi kacang hijau di atas meja. Aden mengedip-ngedipkan mata memberi isyarat agar pria didapannya menurut dan mengikuti omongannya.

Tampak ragu, tapi Raga menerima gelas berisi kacang hijau yang baginya sangat mematikan itu dari kuasa Aden. "Iya, saya rela minum ... minum air kacang hijau ini sampai kakakmu keluar kamar!" tegas Raga sedikit terbata lalu diberi apresiasi berupa dua jempol dari Aden.

Namun, masih belum ada tanda-tanda dari Hening.

"Aduh Bang, nanti alergi lo kambuh! Jangan minum Bang!" Aden dengan hiperbola berteriak histeris. "Mbak Hening, cuma lo yang bisa membujuk Bang Raga!" Suara keras itu seharusnya berhasil menggerakkan hati sang kakak.

Raga mendekatkan gelas itu ke hidung, lalu dengan tidak sengaja terbatuk-batuk hanya dengan menghirup aromanya saja.

Terdengar kunci kamar Hening yang digerakkan, lalu pintu terbuka lebar setelahnya. Wajah khawatir menyelimuti rupa gadis itu seraya berlari kecil menyahut gelas yang Raga pegang, sedangkan Aden, dia menyahut tas plastik berisi wedang jahe yang di tenteng Raga dan berlari keluar rumah melepaskan tanggung jawab. Ia memberikan hak sepenuhnya saat ini kepada Raga.

Semangat, Bang Raga! seru Aden dalam hati dan kabur menuju pos jaga, dari pada kena semprot kakaknya.

"Jangan gila! Kalau pingsan kayak dulu lagi gimana?" tanya Hening dengan kesal sembari menaruh gelas itu kembali ke meja. Tubuhnya mematung saat melihat isi gelas yang masih sama seperti sebelumnya, karena Hening yang tadi mengambilkannya untuk Aden. Tambah kesal saja dia ternyata dibohongi, wajahnya merah padam lalu buru-buru masuk ke dalam kamar tapi berhasil dicegah oleh tangan Raga yang menahan lengan Hening.

"Ning, saya bisa jelaskan," Raga menaruh bungkus sate ayam ke atas meja, "ini bisa dibicarakan baik-baik, tolong dengarkan saya dulu."

Hening menoleh, tidak dapat ia membendung kekesalannya. "Apanya yang dijelasin? Memang Mas Raga habis ngapain? Kita bukannya nggak ada hubungan apa-apa? Lagian juga bukan urusanku, ingat, masing-masing punya privasi kan?"

Kilatan emosi pada manik hazel gadis itu dapat ditangkap jelas oleh Raga. "Kamu cemburu?" tanya Raga dengan lembut, dia menatap Hening dengan serius.

"Apa hakku buat cemburu?" tanya Hening balik.

"Terus kenapa kamu marah?" Pertanyaan demi pertanyaan hanya dibalas lagi dengan sebuah tanya.

"Memangnya aku nggak boleh marah? Lepasin, aku mau tidur, mending Mas pulang deh, buang-buang waktu aja di sini." Hening masih mencoba melepaskan tangan Raga dari lengannya.

"Saya tidak tahu siapa wanita itu, dia mendapat brosur yang disebarkan kakek, jadi dia tahu wajah saya dan main nempel saja." Raga mencoba menjelaskan. "Tadi saya sudah coba hubungi kamu, tapi di reject. Padahal keadaan saya disitu lagi genting harus telepon pacar biar dia pergi, eh malah tambah nomormu tidak aktif."

"Ning cuma pacar pura-pura," ketus Hening meski sedikit hatinya berhasil melunak.

Memang, bukankah status mereka di sini seharusnya hanya untuk saling menguntungkan? Tapi bisa tambah besar jika Raga menyahut seperti itu. Pria itu menghela napas, bersamaan dengan itu perut Hening berbunyi nyaring.

Sialan, waktunya nggak tepat, runtuk Hening dalam hati.

"Sudah, jangan dibahas lagi. Intinya saya minta maaf." Raga menatap lurus manik bulat Hening. "Nah ayo sekarang makan dulu." Pria itu pun menarik pelan tubuh Hening untuk duduk di sofa, si gadis hanya bergeming dan mulai menurut.

Sejujurnya Hening juga takut jika Raga datang untuk menuntutnya apa lagi membatalkan perjanjian mereka. Kejadian kemarin masih sangat hangat, bahkan sentuhan bibir Raga padanya masih terasa hingga saat ini, jika dia diingatkan lagi.

Tapi, sulit rasanya untuk mengontrol kekesalan pada diri jika berkaitan dengan perasaan. Apakah Hening benar sedang terbakar cemburu? Apa artinya dia betulan menyukai Raga? Kalau begitu, ini adalah bencana baginya. Kesepakatan di awal, tidak boleh tumbuh rasa suka apa lagi menyatakan cinta, dengan bingung, Hening hanya bisa diam memendam segala rasa.

Pikiran Hening berkecamuk, tapi sikap perhatian Raga saat mengambikan sate dan sepiring nasi berhasil membuatnya jadi lebih tenang, hatinya mulai mencair. Kebaikan pria itu sungguh menyiksanya, apa iya, barang sedikit pun Raga tidak memiliki rasa terhadapnya?

Sifat manusia, sudah diberi kemudahan seperti bertemu dengan sosok Raga, malah masih ingin mendapatkan lebih. Seperti pepatah jawa, diwenehi ati ngrogoh rempela; tidak tahu berterima kasih.

Bersyukur kamu, Ning, batin Hening mengingatkan diri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top