Bab 26: Salah Paham
Sudah kuduga ada yang tidak beres, batin Raga sembari menyahut jaket dan kunci mobil.
Raga menanyakan sekaligus memastikan keberadaan Hening kepada Aden, dan benar seperti dugaan sebelumnya, informasi antara keduanya tidak cocok. Kemarin Aden tidak menghubungi kakaknya karena Hening sudah mengirimi pesan kalau memang akan pergi sampai malam ke mall dengan Raga dan Enzi. Lalu hari ini, jawaban Aden menguatkan semua perasaan cemas Raga, adik Hening itu bilang jika kakaknya bertingkah aneh dan sudah pergi dari jam 5 pagi tadi, yang jadi perhatian pria itu adalah amplop cokelat dan foto, Raga merasa tidak pernah mengirim berkas itu kemarin.
Beruntung Aden sempat mengorek informasi dari Hening perihal tujuan kakaknya ke Kedai Kopi 24 jam, secara tidak sengaja. Raga mengendarai mobilnya sendiri, bergegas ia menuju lokasi itu.
Kenapa gadis itu harus berbohong? Raga mengeratkan genggamannya pada kemudi, maniknya lurus menatap ke dapan, berfokus pada jalanan ibu kota yang sialnya penuh dengan kendaraan yang saling menyalakan klakson karena macet. Maklum karena jamnya orang berangkat kerja. Sesekali ia melirik spion untuk menancap gas saat bisa menyalip kendaraan di depannya. Raga tampak tidak sabar sambil menahan kesal.
Antara dua kemungkinan, pertama, Hening terdesak oleh sesuatu sehingga terpaksa tidak memberitahu Raga bahkan ke Aden sekali pun. Lalu yang kedua, Hening merencanakan sesuatu di luar kendalinya selama ini, meski opsi kedua ini sangatlah mustahil, yang pria itu tahu, Hening gadis yang jujur dan tidak terbiasa berbohong, dia lebih suka menghindari konflik dan susatunya yang rumit. Ah, seperti Raga sudah tahu saja sifat asli Hening. Kesepakatan antar keduanya pun terbilang sederhana, sejak awal memang tidak mengikat kan?
***
Hening melangkah mundur, alisnya hampir bertaut karena menatap pria di hadapannya dengan waspada.
"Mas Danar? Mas yang kirim amplop ini?" tanya Hening memastikan dengan nada getir, sambil sedikit mengangkat totebag berisi amplop yang dimaksud.
Pria berjas hijau muda itu mengambil sisir kecil dari dalam jas, lalu menyisir rambutnya ke belakang dengan rapi, sebuah anggukan pelan diikuti senyum miring yang congkak menjadi jawaban valid. "Ya, bagaimana hadiah dariku? Ibumu sakit apa? Sepertinya saya tahu alasan kalian berpacaran." Danar berujar sok tahu seraya memasukkan sisirnya kembali ke dalam jas.
Ngurusin amat sih! seru Hening tidak suka.
Danar maju selangkah, badan besar yang berisi seperti preman komplek cukup menggentarkan hati Hening, rasa takut seketika menjalar. Dia harus benar-benar waspada sambil memeluk totebag-nya lebih erat.
"Kenapa melakukan hal kayak gini? Mas orang hukum seharusnya tahu kalau kelakuan Mas itu bisa dilaporkan ke pihak yang berwenang. Berkas ini bahkan bisa jadi bukti kalau Mas menguntit ibu saya dan melakukan ancaman!" sergah Hening dengan berani, suaranya lugas meski tidak sampai menyita perhatian orang-orang sekitar.
"Sshh ... kecilkan suaramu, Ning." Danar mendekat sembari mengacungkan telunjuk di depan mulutnya, meminta Hening untuk mengendalikan sikap. Tendas pria itu menoleh ke sekitar, lalu kembali menatap Hening seraya berkacak pinggang. "Kamu tahu kan kalau orang saya ada di sekitar ibumu? Saya bisa saja menyuruh mereka sekarang juga untuk melekukan sesuatu padanya."
Suara rendah Danar dengan senyum penuh kemenangan itu sungguh dibenci oleh Hening, sampai kapan pun. Kalimat Danar membuat gadis itu bungkam, kemarin malam Hening langsung menghubungi Sayani untuk memastikan kalau keadaan ibunya baik-baik saja, tapi sekarang dia malah langsung diancam begini. Gadis itu menggigit bibir bawahnya karena kalah telak.
Pria itu semakin mendekatkan dirinya kepada Hening. "Mari kita mengobrol dengan tenang, jaga ucapanmu sebelum aku bertindak lebih jauh, Ning," Danar menjeda seraya kembali menjauhkan tubuh, "tapi tidak di sini."
Hening terpaksa harus menurut, meski pergulatan hati sedang melandanya sekarang.
***
"Kakak gue bisa-bisanya bikin semua orang panik begini, mana telepon nggak aktif! Tahu gitu tadi pagi gue tahan aja dia, duh, Mbak Hening," keluh Aden sambil menancapkan gas pada motornya, dia menyusuri ibu kota bak kesetanan. Sampai hampir saja ia menabrak tukang sayur saat lewat gang kecil karena lajunya sangat kencang. Beruntung tidak kena semprot warga di sana, hanya beberapa makian sekilas.
Aden mendapatkan misi untuk mencari Hening setelah berbincang dengan Raga tadi pagi. Untung saja sedang tidak ada proyek besar, jadi semua pekerjaannya sudah ia tuntaskan tadi malam dan bisa diserahkan besok. Hari ini dia sampai izin urgent mencari kakaknya ke atasan yang juga kawannya untuk diberi kelonggaran sehari saja. Toh kinerja Aden selama ini bagus, jadi kawannya itu menyetujui dengan mudah, tapi sebagai gantinya besok dia harus lembur dan kemungkinan akan libur dari tidur selama dua hari.
Lo ke mana sih, Mbak?
Aden baru saja dari Kedai Kopi 24 jam yang sebelumnya Hening sebutkan, tapi dia tidak menemukan keberadaan sang kakak. Laki-laki itu sampai bertanya ke pegawai di sana, memberitahu ciri-ciri Hening. Dia menjawab, saat pegawai itu sedang membersihkan kaca kedai, dia memang melihat seorang gadis yang sesuai dengan kriteria Aden, tidak lama ini di depan kedai. Katanya, gadis itu sedang berbincang dengan seorang pria berbadan besar yang memakai jas berwarna hijau muda. Tapi kedua orang itu tidak masuk ke dalam kedai, melainkan berjalan ke dalam mobil sedan berwarna ungu tua yang terparkir di sana.
Pegawai itu berucap kalau mobilnya pergi ke arah kiri. Secercah harapan seketika muncul, mobil custom seperti itu seharusnya mudah tertangkap oleh mata. Kepergian Hening pun hanya selisih beberapa menit.
Di saat genting seperti itu, perut Aden harus berbunyi, semangatnya untuk mencari sang kakak tiba-tiba meluruh. Dia memang belum sarapan tadi, tahu sendiri perutnya sangat lokal dan harus terisi nasi dulu pagi-pagi. Aden lantas menuruti keinginan perutnya tercinta, dia menepikan motor sambil mengusap perut, jalanan yang ramai memang membutuhkan tenaga ekstra untuk kembali mencari keberadaan Hening.
"Yailah laper banget lagi," monolog Aden seraya menatap sekeliling. Tendasnya berhenti bergerak, sebuah mobil sedan ungu yang sangat mencolok berhasil menyita perhatiannya, mobil itu terparkir di depan Rumah Makan Padang di seberang jalan. Ada benarnya dia berhenti karena menuruti permintaan perutnya. Lantas buru-buru dia mengeluarkan gawai dari kantong jaket, berniat untuk menghubungi Raga.
***
Hening bergeming, duduk tegak menatap Danar dan makanan yang berjajar rapi di hadapan secara bergantian. Mereka saling berhadapan, jika seperti ini bukannya bisa menimbulkan kesalah pahaman? Siapa pun yang melihatnya. Bisa saja Hening dikira anak Danar yang ngambek, jadi melakukan sikap mogok makan.
"Tidak ingin isi perut dulu? Saya tahu kamu lapar, nggak perlu malu lah, anggap ini tanda perkenalan dari saya." Danar meraih piringnya yang berisi nasi hangat.
Gadis itu tidak berminat sedikit pun untuk menyentuh semua makanan yang disajikan pada meja, padahal sangat menggiurkan, mengingat ia belum sarapan. "Tidak perlu basa-basi Mas, langsung ke intinya saja. Maksud Mas apa mengancam saya?" ketus Hening kemudian.
Danar menaruh piringnya dengan kencang, hingga menimbulkan suara. Perangainya mulai berubah, sepertinya dia sudah kehabisan kesabaran. Rahangnya mengeras menahan amarah. Kata istrinya, dia harus mengambil hati Hening dan berujar sopan agar gadis itu mau membuka suara, tapi siasatnya itu tidak berjalan mulus.
"Saya sudah berbicara baik-baik, tapi kamu tidak menghargai saya." Danar menyahut totebag yang Hening letakkan pada meja, gadis itu sontak mengulurkan tangan untuk merebut kembali, tapi tangannya malah di genggam oleh Danar. Senyuman licik pun terukir di sana.
"Kalau kamu mau lebih, akan saya transfer, Ning." Nada suara Danar melembut, terdengar dibuat-buat bagi Hening, rasanya ingin sekali muntah saat itu juga.
Hening melotot, berusaha menarik tangannya sekuat tenaga dengan gerakan perlahan agar tidak terlihat mencolok karena ada beberapa orang yang sedang makan di sana. "Lepas," ujarnya pelan. Dia tidak ingin menimbulkan kegaduhan.
Seketika, sebuah tangan besar yang sangat Hening kenal menyembul dari belakang tubuhnya, mencengkram erat pergelangan tangan Danar dengan kuat hingga membuat pria itu memekik kesakitan dan berhasil melepaskan genggamannya. Hening menengadah, aroma parfum yang menguar seketika menghangatkan hatinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top