Bab 25: Hilang

Saat Hening membuka pintu rumah, seorang pengirim paket memberikan kiriman yang ditujukan untuknya. Sekarang masih jam 8 malam. Benda itu berupa amplop cokelat yang cukup tebal, dengan perasaan ragu dia harus berani menerima, jika pun berisi bom, gadis itu akan tetap terima apa pun isinya dengan mencoba tersenyum ramah kepada kurir yang setelahnya pergi karena sudah menyelesaikan tugas. Sungguh, dia sedang tidak membeli barang online, amplop itu terlihat mencurigakan.

Malam itu suara jangkrik terdengar lebih keras, tidak seperti biasanya. Hening perlahan menutup pintu sambil menatap lekat amplop pada genggaman, ekspresinya tampak khawatir. Susah payah dia menelan ludahnya, tentu itu bukanlah suatu hal yang baik karena paket ini dikirim oleh seorang anonim yang sebelumnya pernah mengirimi Hening pesan singkat.

08xxxxxxxxxx
Nanti kamu akan segera mendapatkan sebuah kejutan, Hening.

Begitulah isi dari pesan tersebut, mungkin terlihat biasa saja tapi bagi Hening kalimat itu terasa janggal. Lebih seperti pesan teror yang dapat membuat jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. Bukannya berpikiran buruk, tapi feeling-nya berkata demikian. Entah itu Nila atau siapa pun yang membencinya, dia langsung menerka kira-kira orang mana yang mengirim pesan ini.

Tanpa pikir panjang karena jantungnya sudah berpacu lebih kencang, Hening membuka tautan tali yang melingkar pada depan amplop, buru-buru dengan tangan yang gemetar dia menarik isi di dalamnya. Matanya membelalak kaget, padahal baru setengah menampilkan sebuah foto berukuran A4 yang tampaknya ada beberapa lembar. Di sana, foto Sayani terpampang jelas. Ibunya sedang berbincang dengan tetangga di kampung halaman.

Mama ...? Kedua matanya sampai memicing, lalu berkedip cepat seakan menampik keberadaan sosok wanita paruh baya yang sangat ia kenal itu.

"Lo lagi ngapain, Mbak?" tanya Aden yang baru saja keluar dari kamarnya.

Suara sang adik mengagetkan Hening, sampai amplop itu sempat terjatuh ke lantai lalu dengan cepat Hening menyahutnya kembali. Aden yang melihat kelakuan aneh kakaknya pun berjalan mendekat, padahal awalnya ingin ke dapur untuk meminum air.

"Nggak apa-apa, M-Mas Raga ngirim berkas banyak banget," tanggap Hening singkat, mencoba senormal mungkin meski senyumannya kaku, "gue ke kamar dulu, itu mie ayam gue taruh di meja makan."

Melihat kepergian kakaknya menuju kamar, Aden hanya bergeming sambil bergumam pelan untuk menanggapi ucapan Hening soal mie ayam. Gadis itu tidak tahu, jika adiknya sempat melihat isi amplop yang sebelumnya terjatuh.

Berkas apa sampai ada foto kayak candid gitu? Gede banget lagi, batin Aden penuh curiga.

***

Raga baru mengecek gawainya saat jam 6 pagi, dia terbangun dan tidak dapat terlelap lagi padahal baru dapat tidur pulas jam 2 dini hari. Sambil bersandar di tepi ranjang dan memijit pangkal hidungnya, ibu jari yang sebelumnya bergerak menggulir layar, seketika berhenti karena ada pesan masuk WhatssApp dari Hening sejak 4 jam yang lalu. Ditulis di sana kalau dia izin, perutnya sakit, karena datang bulan. Cukup aneh karena sebelumnya gadis itu tidak pernah izin bahkan jika perutnya sedang sakit sekali pun, baru kali ini.

Kening Raga mengernyit, maniknya perlahan bergerak ke samping dengan raut wajah serius. Dia tampak berpikir dan seketika ingatan kemarin kembali terulang.

Dari jauh Raga melihat gelagat aneh Hening saat gadis itu memasukkan gawai, Enzi pun menatapnya bingung sambil mengisap ibu jari.

"Ning ...." Raga menepuk pundak Hening pelan, sampai gadis itu terlonjak kaget. Baginya respon itu terlalu berlebihan.

"Ki-Kita pulang yuk, Pak? Perut saya tiba-tiba sakit banget ... Aden juga sudah mengirim pesan terus."

Beberapa detik Raga menatap manik hazel milik Hening, tatapan memohon gadis itu seakan membiusnya untuk menyetujui begitu saja.

Saat itu perkataan Hening memang terdengar mutlak bagi Raga, karena melihat wajah si gadis yang juga terlihat pucat, jadinya mereka pun pulang. Tapi, tetap saja situasi itu dan sikap Hening sendiri terlalu mendadak dan aneh. Bahkan Hening bukan terlihat seperti menahan sakit, tapi lebih ke menekan rasa khawatirnya yang berlebih.

Raga pun menghubungi Hening saat itu juga namun nomornya tidak aktif yang menambah rasa curiga pada benak dan juga muncul sedikit rasa khawatir. Dia mencoba lagi berulang kali tapi hasilnya tetap nihil. Tapi, pria itu tetap berusaha berpikiran positif, tidak boleh merusak mood pagi-pagi yang pasti akan terbawa seharian nanti. Dia pun mencoba menghubungi Aden hanya untuk memastikan, dan lagi, laki-laki itu pun tidak kunjung mengangkat teleponnya.

Hingga beberapa kali Raga mencoba, akhirnya Aden mengangkat juga panggilan darinya. "Halo, Aden?"

***

"Ya ampun, Den! Ngagetin gue aja, ngapain coba berdiri di depan pintu kamar kayak gitu?" Hening terlonjak kaget sambil mengelus dada dan berpegangan pada kusen pintu, dari kemarin dibuat spot jantung melulu.

Aden melipat kedua lengan sambil bersandar miring pada kusen pintu kamarnya yang berseberangan dengan Hening. "Mau ke mana pagi-pagi buta begini? Berisik banget ­lo di dalam kamar ngapain sih? Masih jam 5 pagi lho Mbak, astaga."

"Ya maaf ... gue mau ke kedai Kopi 24 jam yang di—" Hening menghentikan ucapannya, lalu perlahan melebarkan mata seraya terbatuk-batuk kecil. "Iya, ke Minimarket 24 jam maksud gue. M-Mau beli stok makanan, udah ah keburu gue males lagi ke luar rumah."

Hening melenggang begitu saja keluar rumah dengan menenteng totebag berwarna putih. Adiknya tidak merespon apa pun, memilih untuk memperhatikan kepergian sang kakak dalam diam. Tatapannya penuh selidik, baju lengan panjang dengan celana kain yang terlihat santai dan dandanan seadanya memang gaya khas Hening. Tapi, terlalu indah untuk terwujud jika sang kakak bisa pergi sepagi itu hanya untuk membeli stok makanan.

Ada yang nggak beres. Oke, habis buang hajat gue akan menyelidiki.

Saat masuk kamar mandi, terdengar gawai milik Aden berbunyi dari dalam kamar, ada sebuah panggilan masuk.

***

Setibanya di tempat tujuan, Hening menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah Kedai Kopi 24 Jam. Totebag yang dibawa dia peluk erat sembari mengatur napasnya yang kembali mulai memburu. Siapa yang bisa tenang jika gadis itu terpaksa, harus menemui sosok asing yang tidak dikenal olehnya. Alamat yang dituju ini sesuai dengan perintah yang tertulis pada kertas di dalam amplop, beruntung tidak jauh dari rumahnya.

Oke, lo bisa Ning. Nggak boleh kabur terus. Lo harus bisa menghadapi situasi ini.

Kakinya terasa berat untuk melangkah, jika semua ini tidak berkaitan dengan ibunya, sudah pasti Hening malas meladeni dan menganggap hanya perbuatan dari orang yang iseng. Tapi, dia rasa kali ini si pelaku dengan segala sesuatunya tampak serius dan bersungguh-sungguh, karena sampai menguntit Sayani dan mengirim banyak foto yang menampilkan kegiatan sehari-hari wanita paruh baya itu.

Dia takut memang, sangat. Hening diharuskan datang sendiri dan tidak boleh mengatakannya pada siapa pun, pelaku mengancam akan melakukan sesuatu jika gadis itu melanggar ketentuan. Dia bisa sedikit tertolong karena tempat janjiannya di sebuah kedai yang merupakan tempat umum, bukan sebuah gedung kosong dan sejenisnya yang dapat mengancam keselamatan.

"Cepat sekali sudah datang, Ning." Suara bariton dari belakang tubuh Hening sukses membuat bulu kuduknya merinding.

Hening perlahan menoleh ke belakang, menampilkan sosok jangkung yang sangat ia kenal. Meski sekitar tidak terlalu ramai, ingin rasanya gadis itu berteriak kencang meminta pertolongan.

Jelas-jelas ini namanya tindakan kriminal!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top