Bab 14: Berdua

Bahagia versi kalian itu seperti apa?

Kebanyakan orang akan menjawab dengan lantang, ketika kejatuhan uang 1 Milyar dari langit! Alias saat memiliki uang banyak, jawaban seperti itu sudah pasti akan keluar dari mulut Sayani dan Aden. Lalu bagi Hening sendiri, kebahagiaan itu sederhana, bisa melihat wajah ibu dan adiknya yang tersenyum senang atau diri yang berkutat dengan hobinya ketika menggambar sesuatu, paling sederhana mendengarkan musik atau bisa tertidur pulas sampai pagi.

Kekayaan bisa membuat seseorang tersenyum lebar dan membanggakan diri, tapi banyak juga dari mereka yang masih merasa kosong. Percaya tidak, jika berjalan santai dengan seseorang di malam hari sambil menikmati pemandangan ibu kota dan makan cimol hangat dapat mengisi kekosongan hati? Raga percaya itu. Tidak perlu bertanya soal Hening, si gadis sangat menikmati obrolan ringan yang mengalir antara dia dan Raga. Menikmati, berarti membuat nyaman, tapi belum gadis itu sadari.

"Sudah saya bilang, hati-hati." Raga untungnya sigap menahan lengan Hening, karena gadis itu hampir saja tersandung batu yang mencuat di trotoar. Tapi nahas, cimol terakhir milik Hening harus direlakan, dan mendarat sempurna ke jalan.

Cimol rasa keju dengan saus yang melimpah, kenikmatannya tiada dua, sampai tidak terasa Hening sudah nyaris menghabiskannya.

"Yah ... duh, abangnya sudah pergi ya?" Hening setengah berbalik, abang tukang cimol dan gerobak sepedanya sudah tidak ada.

"Enak banget ya?" tanya Raga penasaran.

Lampu-lampu dengan benderang menerangi jalanan ibu kota, pukul 8 malam seolah masih jam 3 sore. Jalanan sangat ramai, hiruk-pikuk orang yang berjalan kaki pun tambah menghidupkan suasana. Karena malam minggu, memang sudah hal yang wajar terjadi.

"Banget, Bapak sih tadi nggak mau nyobain," tanggap Hening sambil membuang plastik sisa makanannya ke dalam tong sampah.

Mereka berjalan santai sampai ke sebuah taman kota, makin ramai lagi orang-orang di sana. Sebetulnya Hening kurang nyaman, karena jarang sekali keluar malam, dia pun selalu menempel pada Raga sambil memperhatikan sekitar. Seketika tangannya digenggam Raga, dia dibawa menepi, di sini lumayan lengang hanya ada beberapa orang yang mengobrol dan sesekali terdengar tawa dari sekumpulan orang lainnya.

"Duduk sini sebelah saya," Raga duduk di tangga, salah satu akses untuk kembali ke trotoar jalan.

"Nanti nutupin orang lewat, Pak," tolak Hening sambil memperhatikan sekitar meski tangga itu cukup lebar.

"Yasudah, duduk di sini." Terdengar enteng Raga menepuk kedua pahanya, dengan ekspresi wajah biasa diikuti senyuman tipis.

Hening melotot. "Lebih gila lagi nih Bapak-Bapak satu," celetuk Hening.

Raga bergeser ke tengah, lalu menarik pelan lengan Hening untuk duduk di sampingnya. "Masih ada space jalan," imbuh Raga sambil menatap ke depan.

Pemandangan di sana tidak jauh-jauh dari orang yang berkerumun, ada juga yang naik sepeda. Suasana seperti itu mengingatkan Hening dengan Sangga, almarhum ayahnya.

"Waktu kecil dulu, saya sering diajak Papa jalan-jalan malam, muter-muter perumahan pakai sepeda motor. Terus nongkrong kayak gini juga di pinggir jalan sambil makan gorengan." Hening tiba-tiba ingin bercerita tentang masa lalunya.

"Kalau boleh tahu, ayahmu meninggal karena apa?" Raga tidak berusaha menggali informasi, pertanyaan itu terlontar begitu saja.

"Kecelakaan bus waktu mau jemput saya di Jogja, ah ... kangen banget sama Papa." Hening mengambil napasnya dalam-dalam, lalu menoleh ke Raga. "Kalau boleh tahu juga, Ibu Bapak meninggal karena apa ...?"

"Orangtua saya, keduanya meninggal karena kecelakaan bus juga. Saya masih sekolah, pas pulang langsung dapat kabar duka." Raga masih merasakan betapa terpukulnya ia waktu itu, bahkan air mata yang seharusnya keluar, seakan enggan menampakkan diri, air mata itu memilih kembali bersembunyi di balik wajahnya yang kalut. Mungkin, karena terlalu terkejut menerima kabar kematian orangtuanya yang mendadak.

Raga pun menoleh, menatap wajah Hening yang mulai berkaca-kaca, bibirnya mengkerucut menahan sesuatu dari dalam dadanya yang hendak menyeruak.

"Wajahmu kayak bebek," ucap Raga mencoba mencairkan suasana.

Hening tahu betul apa yang dirasakan Raga, sebab ia juga mengalaminya. Ingus yang hampir keluar, harus kembali masuk kala Hening menarik napas dalam-dalam, sembari membuang wajahnya ke samping.

Pria itu mendekatkan wajahnya dan meniup telinga Hening dengan maksud iseng, gadis itu sontak menoleh sambil menutupi sebelah telinganya.

"Bapak tuh kelakuannya kayak anak kecil deh," protes Hening sambil menggeleng tidak habis pikir, ingin kesal tapi juga lucu.

Tawa Raga terdengar lepas lalu berdiri sambil mengulurkan lengannya kepada Hening. "Ayo pulang," ajak pria itu sambil mengecek jam pada gawai.

Hening menerima uluran tangan Raga dengan ragu, gadis itu sedikit khawatir atas perlakuan Raga terhadapnya, tiba-tiba pikiran itu muncul begitu saja.

"Bapak suka nggak sadar ya?" celetuk Hening kemudian.

Raga merasa seperti pernah mendengar pertanyaan itu sebelumnya. "Maksudmu?" Ia mengkerutkan kening, memperhatikan Hening yang berjalan mendahului tanpa merespon lebih.

Hening hanya was-was. Jangan sampai rasa itu nanti tumbuh semakin besar dan mengakar, jika suatu saat harus dicabut paksa, bukankah akan sakit luar biasa?

***

"Mami, kita nggak bisa tinggal diam. Harus segera melakukan sesuatu." Danar dengan baju tidur yang bermotif beruang cokelat pilihan Enzi tampak berjalan ke sana kemari di dekat jendela besar kamar tidurnya, pria itu terlihat gelisah sambil sesekali mengusap wajah gusar.

Nila yang sedang menepuk-nepuk pelan pundak Enzi tidak langsung merespon, dia tampak diam menyangga kepalanya dengan satu tangan, tubuhnya menghadap ke arah sang anak, sambil memikirkan suatu rencana untuk menggagalkan niat Prayan.

"Coba papi tenang dulu, terus pikirin jalan keluarnya pelan-pelan," Nila mencoba menenangkan suaminya.

"Nggak bisa Mi, anak hasil perselingkuhan kayak Raga bisa dapat uang 9 Triliun, hah! Enak banget hidupnya. Terlalu nggak adil buat papi!" Menggebu Danar utarakan protesnya, sebab sudah beberapa kali dia menghasut Prayan untuk menarik janjinya terhadap Raga, namun tidak menghasilkan titik terang seperti yang ia inginkan. Iri? Sangat! Dengki? Tentu saja. Sudah sejak dulu antara Danar maupun Raga, mereka tidak bisa akur selayaknya saudara sepupu pada umumnya.

Danar selalu merecoki Raga sejak kecil, merasa ia yang paling berkuasa. Selalu menyalahkan Prayan jika kakeknya mulai memberi sedikit perhatian yang tidak seberapa terhadap Raga.

"Papi, sini deh," Nila dengan lembut memanggil Danar.

"Kenapa Mi? Sudah dapat ide?" Danar berjalan mendekat dengan ekspresi penasaran, lalu duduk di pinggir ranjang.

Tanpa diduga Nila memukul kencang pundak Danar hingga bersuara, suaminya itu memekik kesakitan sambil mengelus bekas pukulan yang terasa panas.

"Nggak usah teriak-teriak juga, anakmu baru saja bisa tidur," Nila menjaga volume suaranya agar tetap rendah. Terlihat Enzi merengut dan bergerak tidak nyaman dengan matanya yang terpejam akibat suara Danar.

"Maaf, Mi," cicit Danar.

"Mami punya ide, untuk menggagalkan niat kakek, kita harus melakukan sesuatu terhadap Raga dan Hening. Mami rasa, hubungan keduanya ada yang janggal," Nila menduga demikian.

"Jadi, Papi harus gimana, Mi?"

Nila menatap Danar, lalu tersenyum miring penuh arti.

***

Waduch, Danar dan Nila mulai beraksi nih guise, siap-siap kipas ya biar nggak gerah sama kelakuan dua pasutri ini ke depannya 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top