Bab 10: Pesta

Tungkai mungil Hening berlari kecil mengikuti langkah besar Raga, pria itu berjalan tegas melewati parkiran menuju sebuah butik yang terlihat mewah dengan dekorasi ukiran kayu yang menonjol dan lampu terang yang menyorot gaun-gaun mahal berwarna pastel di balik kaca. Masih terlalu pagi untuk jam buka sebuah toko, tapi kedatangan mereka seakan telah dinanti, seorang pegawai menyambut kami dengan membukakan pintu, sangat ramah tersenyum mempersilakan mereka untuk masuk.

Ketika masuk ke dalam butik, Hening terperangah dengan keindahan gaun yang ditata rapi sesuai panjang dan warnanya, mulai dari terang ke gelap.

"Selamat pagi, Pak Raga dan Ibu Hening. Saya Grace, silakan lewat sini." Pegawai yang disanggul rapi itu dengan sopan mengantarkan mereka masuk ke dalam sebuah ruangan pribadi. Sudah ada beberapa dress yang disiapkan untuk Hening pakai.

"Kamu coba dress-nya, jangan lama-lama, pilih yang kamu suka," titah Raga sambil duduk di sofa empuk yang mengarah langsung pada tempat fitting yang hanya di sekat dengan tirai merah tebal.

Hening mengangguk pelan dan dengan ragu mengikuti arahan dari pegawai, ia masuk ke dalam, memilih acak gaun yang sekiranya panjang dan tertutup berwarna hitam, sederhana namun terlihat elegan. Gadis itu ke luar dan memperlihatkannya pada Raga.

"Saya suka yang ini Pak"

"Kamu mau ke acara pemakaman? Terlalu kebesaran di badanmu, ganti," potong Raga seenaknya.

Hari ini mereka akan datang ke acara ulang tahun Prayan, kakeknya Raga. Pagi tadi Hening harus dikejutkan dengan kedatangan mendadak dari pria itu dan tanpa rasa bersalah menyeretnya langsung ke butik.

Kini dress berwarna putih, berlengan panjang membalut tubuh Hening, rumbai berwarna perak menghiasi bagian dada memberikan kesan anggun.

"Terlalu panjang," komentar Raga singkat.

Kira-kira totalnya Hening sudah mencoba 6 dress yang berbeda, namun pria itu selalu menggeleng dan memberikan tatapan tidak suka; yang warnanya kurang pas lah, nanggung panjangnya lah, kurang cocok lah. Gadis itu mencoba bersabar dengan mengambil napas dalam-dalam, dia merasa sedang dikerjai Raga. Karena kesal, dia menyahut dress ketat sepaha yang cukup minim bahan berwarna abu-abu, hingga lekukan tubuhnya membentuk jelas. Bagian atas hanya tertutup sebatas dada, bahu dan punggungnya tampak terekspos.

Raga yang sempat terkekeh karena berhasil melancarkan kejahilannya pun harus terkesima karena perbuatannya sendiri kala melihat Hening yang keluar sembari menyilangkan kedua lengannya dengan wajah kesal. Dia berjalan mendekat membuang rasa malu.

"Gimana, Pak? Waktu kita nggak banyak lho, padahal tadi bilang sendiri suruh cepat-cepat," celetuk Hening.

Raga berdeham sembari perlahan berdiri, dia pun melangkah mendekat membalas tatapan Hening. Gadis itu sedikit mundur, nyalinya jadi menciut karena Raga terlihat tidak terganggu dan berekspresi biasa.

"Pas di badanmu," komentar Raga sambil menatap ke arah pundak dan menerka punggung Hening yang juga terekspos, "tapi saya tidak yakin kamu bakal nyaman pakai itu, tidur saja masih pakai baju dan celana panjang. Ganti dress awal, saya tunggu di luar."

Setelah berbicara seperti itu, Raga melenggang ke luar ruangan. Hening hanya bisa bergeming diikuti dengusan setelahnya, dia sangat kesal bercampur malu, padahal ruangan di sana ada pendinginnya, tapi terasa sangat gerah. Tidak tahu saja di luar sana Raga hampir jantungan sambil memegang dadanya yang berdetak kencang, seperti remaja kasmaran padahal sudah kepala tiga. Pria itu telah masuk ke dalam perangkapnya sendiri, tingkah Hening memang suka di luar prediksi.

Satu hari menjadi seorang putri, setelah dari butik, Hening harus memilih sepatu hak tinggi dan melakukan serangkaian kegiatan di salon ternama. Raga mempoles gadis itu habis-habisan, Hening hanya bisa pasrah dan menurut meski sangat tidak terbiasa dengan semua hal itu. Hingga masalah parfum pun menjadi sorotan Raga.

***

Mereka tiba di rumah keluarga besar Raga, malam itu sudah banyak tamu undangan yang datang. Acara berlangsung di halaman belakang dengan dekorasi sederhana dan lampu-lampu terang yang aesthetic, alunan piano dan biola terdengar merdu membuat suana hati tenang. Rumah megah yang terpampang menjadi latar pun memancarkan pesonanya.

Raga melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Hening, gadis itu berusaha berjalan dengan tenang, mencincing gaun hitamnya yang menjutai indah memperlihatkan high heels hitam yang berkelip saat terkena cahaya. Rambutnya diikat rendah dan menyisakan beberapa helai surai yang disengaja, dandanannya tipis tapi terlihat menyegarkan untuk dipandang. Sedangkan Raga memakai setelan jas hitam dengan rambut yang disisir rapi, sederhana namun keduanya tampak memukau.

"Tidak perlu gugup, santai saja," bisik Raga sambil melempar senyum ke beberapa tamu yang lewat, "kamu cantik, Ning."

Hening menyenggol pinggang Raga sambil terus mengulas senyum ramah. Pria itu terlalu berlebihan, Hening merasa semakin gugup karena menjadi pusat perhatian saat memasuki area acara.

Langkah mereka berhenti di hadapan Prayan di dekat kolam renang yang sedang berbincang dengan kawannya, kini ia genap berusia 70 tahun. Pria itu memiliki kenampakan garang dengan alis putih tebal yang menukik, rahangnya tegas dihiasi janggut putih yang menghiasi bagian bawah wajah. Surainya sudah memutih sempurna namun masih terlihat berwibawa dengan setelas jas abu-abu ditambah tinggi yang sedikit melebihi Raga.

"Selamat malam, Kakek. Raga ngaturaken sugeng ambal warsa[1]. Ini Hening, kekasih Raga," ucap Raga dengan senyum tipis, diikuti Hening yang memberanikan diri menyapa dengan senyuman sopan.

[1] Mengucapkan selamat ulang tahun.

Prayan hanya bergeming, tidak ada senyuman ramah, tatapan tajam pun dilayangkan ke arah Hening juga ekspresi penuh tanya di lempar pada Raga. Lalu rekan-rekannya memilih untuk berlalu sejenak meninggalkan ketiganya.

"Sepertinya kamu berhasil mendapatkan wanita yang kakek maksud?" Prayan terang-terangan menanyakan soal hal itu.

Raga mengangguk, perlahan membawa punggung tangan Hening untuk dikecup, membuat gadis itu harus menahan keterkejutannya.

"Seperti yang kakek lihat, hadiah dari Raga adalah hubungan kami berdua." Raga menoleh ke arah Hening dengan senyum mengembang, lalu di balas oleh Hening dengan kikuk.

Prayan tersenyum kecil, sedikit melunak sambil menepuk pelan pundak Raga. "Syukurlah, kakek akan tetapi janji." Ia sejenak menatap Hening, raut wajahnya mengisyaratkan sesuatu yang sulit diartikan. Hening tampak mengangguk canggung, berusaha tersenyum senormal mungkin.

"Kalau begitu kami permisi dulu," ujar Raga saat ada kolega Prayan yang hendak mengobrol.

"Ya, ya, nikmati acaranya," tanggap Prayan kaku lalu beralih menyambut koleganya dengan kekehan pelan.

***

Hening sedikit dibuat kesal karena Raga meninggalkannya sendirian di tengah acara, baginya suasana di sana masih terasa asing, banyak orang berlalu-lalang dengan senyum bahagia memuji kemeriahan acara yang digelar. Sebelumnya Raga memang sudah izin sebentar untuk berbincang dengan klien yang kebetulan juga diundang oleh Prayan. Jadilah Hening terpaksa mengiyakan.

Segelas jus semangka miliknya tinggal tersisa setengah, Hening juga sudah mencicipi beberapa makanan yang dihidangkan, mulai dari roti bakar sampai zuppa soup. Kakinya pun mulai terasa pegal, tempat duduk tidak ada yang kosong, jadi dari tadi dia terus berdiri.

"Pak Raga lama banget," keluh Hening sambil mengedarkan pandangan mencari keberadaan Raga.

"Hening? Wah, betulan kamu ternyata, ngapain di sini?"

Sebuah suara mengagetkan Hening yang kini dibuat mengerjap untuk meyakinkan sesuatu. Tidak disangka ia akan bertemu lagi dengan pemilik senyum mengerikan dan ekspresi menyebalkan itu.

***

Kira-kira siapa ya yang ketemu sama Hening di sini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top