8


Halooo bund. Sehat kan? Juwelas dong ya. Btw,di KK udah sampai part 13 yes. Happy reading sista 😚

###

"Mbak Mira, ini pisangnya ditaruh mana?" Aryani masuk membawa beberapa sisir pisang ambon dari Pak Kodir penjual pisang langganan mertuanya.

"Taruh di meja belakang itu, Mbak. Sekalian dibersihkan sama bungkus plastik ya," pintanya seraya menghitung tumpukan kardus nasi kotak. Pas jumlahnya. Ia pun ke depan menemui Pak Kodir untuk membayar pisang pesanannya. "Pinten (berapa), Pak." Ia mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu kemudian diberikan pada penjual tersebut. "Maturnuwun ngeh. Besok lima sisir lagi ngeh, Pak. Yang bagus pokoknya biar puas."

"Siap, Mbak Mir. Saya pamit dulu," ujarnya seraya berlalu. Beliau membawa keranjang bambu besar penuh dengan pisang. Memang jika subuh begini beliau berjualan di pasar.

Ilmira bergegas masuk, membantu menata pesanan untuk sebuah acara di gedung Kartini yang harus  sudah dikirim sebelum pukul tujuh pagi. "Buk Sun, ayam gorengnya masih kurang banyak?" tanyanya tapi tak menoleh pada karyawan tersebut. Tangannya terus bergerak meletakkan ayam goreng di antara nasi dan sayuran. "Mas Dino sudah datang, Mbak Irna?" Ilmira berjalan cepat mengangkat baskom besar isi jeruk dan satu plastik berisi tusuk gigi, sendok, dan tisu.

"Sudah, Mbak, lagi manasin mobil. Ini pas jumlahnya. Langsung diangkut ke mobil?" Irna menunjukkan kantong plastik besar berderet rapi di meja panjang.

Ilmira melihat Irna. "Punya Bu Anita?" Irna mengangguk. "Iya. Tolong dibawa ke mobil ya."

Pagi itu sedikit kacau sebab pesanan nasi kotak yang masuk lebih dari dua customer. Alhasil rumah masak itu pun ramai sebab karyawan shift siang ikut masuk pagi tak terkecuali Ilmira. Setiap harinya ia membantu meskipun sudah ada pekerjanya sendiri. Ia tak suka hanya mengawasi saja karena Ilmira juga ingin belajar tentang usaha katering milik mertuanya.

Pukul enam pagi Ilmira pamit ke rumah besar. Ia perlu membantu Mbok Yem menyiapkan makanan, menyiapkan pakaian Ammar. Namun, ia heran melihat pria itu masih tidur. Tidak biasanya. Ia pun mendekat, membangunkan Ammar pelan. Namun, sampai beberapa kali hanya erangan yang ia terima. Ilmira pun berinisiatif menempel tangan di dahi suaminya. Panas.

Ia segera ke dapur mengambil baskom untuk diisi air hangat tak lupa handuk kecil yang akan digunakan untuk mengompres laki-laki itu. Pelan-pelan Ilmira letakkan di dahi Ammar, setelahnya ia menelepon mertuanya yang berada di Surabaya untuk bertanya obat apa yang biasa diminum suaminya saat sakit.

"Assalamualaikum, Buk. Ngapunten pagi-pagi sudah nelpon. Ini Mas Ammar demam, biasanya minum obat apa ngeh, Buk?"

"Waallaikumusalam. Kasih Paracetamol saja, Nduk. Ndak usah bikin bubur. Ammar ndak suka. Nasinya agak lunak saja pakein kuah. Kalo sampek besok belum turun panas e bawa ke dokter langganan Ibuk saja."

"Ngeh, Buk. Ibuk di Surabaya sampai kapan?"

"Sampai Kamis kayak e, kenapa?"

"Mboten. Cuma tanya saja. Ngeh pun Buk telponnya saya tutup ngeh."

"Iyo. Ibuk nitip Ammar ya, Nduk."

Ilmira mengangguk padahal Cindy tak melihatnya. Sambungan telepon berakhir, ia kemudian ke dapur membantu Mbok Yem. "Mbok, masak nopo (apa)?" Ilmira mengisi botol minum yang biasa ia sediakan di kamar untuk Ammar.

"Bikin yang cepet aja ya, Mbak. Itu ada bahan sayur sop."

"Inggih. Saya taruh botol dulu." Ilmira kembali ke kamar, meletakkan botol minum di nakas. Ia juga menyentuh kain basah di dahi suami, sudah dingin lalu ia hangatkan lagi dan menempelkannya lagi. Usai memastikan pria itu nyaman, Ilmira kembali ke dapur membantu Mbok Yem.

Saat ia tiba di dapur, Omar duduk dengan mata terpejam. Pria itu menempelkan wajahnya di meja. Ilmira pikir jika masih mengantuk buat apa bangun? Toh setiap hari Omar tidak pernah telat berangkat, jadi tak ada salahnya sesekali terlambat. "Mau dibikinkan kopi, Mas?" tawarnya. Meskipun belum mendapat jawaban ia sudah menjerang air.

"Hmm."

"Mbokya tidur sana, Mas, kalo masih ngantuk," ujar Mbok Yem sebelum memasukkan ikan mujair ke penggorengan.

"Maunya gitu, Mbok. Tapi habis ini mau tinjau lokasi buat cabang baru," sahutnya dengan mata terpejam. Matanya benar-benar berat seperti digelayuti batu besar.

Ilmira menaruh kopi panas di samping kepala Omar. Pria itu langsung menjauhkan diri dari meja. Mungkin karena mencium harum seduhan kopi buatannya. Dia membuka matanya dengan setengah terpaksa.

"Makasih, Mir."

Wanita berhijab itu mengangguk. Ia kemudian melanjutkan masak sebelum Ammar bangun dan masuk waktu sarapan.

"Lho ... Bang Ammar ke mana? Tumben jam segini belum kelihatan." Omar celingak-celinguk mencari keberadaan abangnya tapi tak melihat tanda-tanda kehadirannya.

"Demam, Mas. Mungkin karena kehujanan kemarin. Tadi saya telepon Ibuk tanya obat yang biasa diminumnya," sahut Ilmira sambil menata makanan di nampan lalu membawanya ke kamar.

Dengan hati-hati ia menaruh nampan kayu itu di nakas, lalu duduk di pinggir kasur sisi suaminya. Meraih handuk dingin di kening suaminya sebelum membangunkan Ammar dengan pelan. "Mas, bangun dulu." Ilmira menyentuh lengan Ammar yang menutupi matanya. Panasnya masih. "Mas. Ayo bangun dulu, minum obat baru tidur lagi." Ilmira mengulangi perkataannya.

Wanita itu menarik diri dari sisi Ammar saat pria itu menurunkan tangan, membuka matanya dengan terpaksa. Ilmira sedikit membungkuk membantu suaminya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Ia mengambil nampan kayu lalu meletakkan di pangkuan Ammar. "Kalo bisa dihabiskan ya, Mas. Ini nasinya saya bikin lunak kayak yang dibilang Ibuk."

Ammar memijat pelipisnya yang pening. Bibirnya tanpa sadar berdesis keras. Astaga. Kepalanya seperti akan meledak karena dentumannya begitu kuat. Sungguh tidak nyaman terlebih lagi tubuhnya yang panas.

"Ini minum dulu."

Pria itu menerima gelas yang diberikan Ilmira. Wanita itu duduk di kasur dekat kakinya seraya memperhatikan dirinya. Tidak biasa, mungkin karena sakit ini jadi dia berani melihat Ammar untuk berjaga-jaga. Setelah mengembalikan gelas kepada Ilmira, ia mulai makan. Berselera atau tidak yang penting ia harus mengisi perut agar segera pulih.

"Njenengan saget ngunjuk obat ndamel tuyo mboten (kamu bisa minum obat pake air nggak)? Lek mboten saya ambilkan pisang "

"Bisa."

"Saya tinggal sebentar ngeh mau lihat rumah sebelah. Kalo lama saya belum ke sini, Njenengan panggil Mbok saja. Jangan turun dulu."

Ammar menatap kepergian Ilmira. Percakapan paling panjang di usia pernikahan mereka yang hampir memasuki bulan keempat. Dan baru ini pula ia menyadari jika Ilmira memiliki senyum manis. Binar matanya berkilau dan menenangkan. Sebahagia itulah dia?

Astaga. Bisa-bisanya ia berpikir begitu, ini pasti efek dari sakit nya jadi pikiran dan penilaiannya ngawur. Jelas saja wanita itu bahagia karena berhasil mengubah hidupnya. Dari yang karyawan toko biasa menjadi orang kepercayaan ibunya atau bisa dibilang penerus tak resmi, serta tameng untuk ayahnya. Sungguh menjengkelkan. Tidak ayah tidak anak sama saja, sama-sama licik.

"Njenengan sampun (sudah) ta makannya?"

Pertanyaan Ilmira menarik kesadaran Ammar ke dunia nyata. Ia melihat piring di nampan, tandas. Ammar mengangguk kecil.

"Saya ambil ya, Mas." Ilmira mengangkat nampan tersebut, meletakkannya di nakas dan menyerahkan obat penurun demam. "Ini obatnya." Ammar menerima obat darinya. Ia terus memperhatikan pria itu. Sungguh kacau. Wajah kuyu, rambut yang biasa rapi kini acak-acakan, dan tubuh yang lemah. Sungguh berbeda. Mata itu juga tak setajam biasanya, redup dan sayu. Tapi Ilmira suka, setidaknya mereka bisa dekat atau lebih tepatnya ia yang mendekat.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top