5
###
Hari dan tanggal pernikahan sudah ditentukan. Ilmira menguatkan hati menjalani pernikahan pilihannya ini. Acaranya sendiri akan dilaksanakan di rumah kakeknya. Beliau bersikeras bahkan sempat berdebat dengan ayahnya. Berkas-berkas pernikahan pun rampung dengan cepat. Namun, Bu Cindy sempat bertanya kenapa dirinya tercatat di kartu keluarga Mbah Kung dan bukannya di keluarga ayahnya. Ilmira pun beralasan pindah agar mudah mencari sekolah dulunya. Untungnya Bu Cindy percaya saja sebab beliau sudah jatuh hati pada Ilmira sejak bertemu.
"Mir, sini sebentar," panggil Mbah Putri di sebelum dirinya dirias untuk malam midodareni.
Ilmira menghampiri neneknya. Beliau mengajaknya ke kamarnya. "Ada apa, Uti?" Dia duduk di ranjang yang terbuat dari kayu jati.
Wanita tua tersebut—masih kuat beraktivitas—membuka lemari kayu, mengeluarkan kotak kayu berukuran sedang. Ia membukanya sebelum menyerahkan pada Ilmira. Cucunya terlihat bingung sewaktu menerimanya. "Itu perhiasan ibumu. Katanya turun temurun dari keluarganya. Sebelum kecelakaan itu sama ibumu dititipkan Uti. Pesannya, kasihno kamu pas nikah."
Ilmira menarik napas dalam-dalam mendengar penuturan Mbah Putri. Matanya bergerak liar sebelum akhirnya air matanya menetes. Ilmira menangis dalam dekapan neneknya. Ia selalu merindukan ibunya terlebih saat ini, ketika ia membutuh dukungan. Ilmira tak sedetikpun melupakan sosok wanita yang lembut dan sabar. Untai doa pun selalu ia sematkan di setiap sujudnya dengan harapan Tuhan menempatkan ibunya di tempat terbaik.
"Sudah jangan nangis. Ada Uti sama Kung."
"Mira kangen sama Ibuk, Ti," ujarnya dengan sesenggukan.
"Ho'oh. Uti ya kangen. Nanti kalo acara nikahan selesai sebelum ke rumah mertuamu nyekar dulu. Ben tenang nanti ndek sana."
Wanita itu mengangguk. "Nggeh."
Prosesi malam Midodareni berlangsung. Ammar datang beserta keluarga besar untuk mengakrabkan diri sekaligus menyerahkan seserahan. Beberapa pertanyaan ia dapatkan untuk mengetahui kesiapan dirinya dalam mempersunting Ilmira. Setelah mendapat jawaban dari mempelai wanita —Ilmira diam di kamar—Ammar mendapat wejangan dari orang tua Ilmira yang diwakili oleh kakeknya.
Pukul sebelas malam rombongan Ammar pulang. Meskipun pria itu telah meyakinkan orang-orang bahwa ia siap menerima Ilmira sesungguhnya hati Ammar masih terikat dengan Sova. Menikahi Ilmira hanya untuk menyenangkan ibunya saja. Ia tidak ingin membuat beliau bersedih karena kedua putranya masih sendiri.
Esok pagi pukul delapan tepat Ammar mengucapkan janji di hadapan penghulu, Pak Rusdi, dan yang paling utama Tuhan. Acara terus berlanjut dengan resepsi yang berakhir pukul sepuluh malam. Untuk malam ini dirinya menginap di rumah nenek kakek Ilmira sebelum lusa diiring pulang oleh keluarga besar wanita itu untuk acara ngunduh mantu.
Ammar masuk tepat Ilmira melepas hijabnya. Wanita itu tampak salah tingkah dan segera mengenakan kerudungnya lagi. Ammar melewati Ilmira, mengambil tas ransel berisi baju gantinya. Ia sudah melepas beskap tapi dalamannya belum.
"Saya tunjukkan kamar mandinya, Mas." Ilmira paham bila Ammar ingin mengganti bajunya tapi ia risih karena keberadaannya. Tanpa banyak kata pria itu mengikuti dirinya ke dapur melewati ruang tengah. "Silakan." Ilmira membuka pintu kamar mandi yang harus digeser. Ia menunggui Ammar sampai suaminya keluar. "Saya buatkan kopi sama ambilkan makanan ya? Saya lihat tadi njenengan (kamu) belum makan. Mas bisa ke kamar duluan nanti saya antar kalo kopinya jadi."
"Terima kasih." Ammar kembali ke kamar tidur Ilmira. Ia mengedarkan pandangan ke ruangan yang biasa di tempati Ilmira. Tidak banyak barang di ruangan ini, dipan jati berukuran sedang, lemari, serta meja dan kursi rias. Begitu sederhana dan sedikit berbeda dengan kehidupan keluarganya—walau ia hanya tahu bukan berarti ia tak tahu apa-apa perilaku mereka—tapi tetap saja ia tak suka dengan dasar dari perjodohan ini.
Ilmira masuk setelah mendorong pintu kamar dengan bahunya. Ia meletakkan nampan di meja rias. "Makan dulu, Mas. Saya ke depan dulu mau lihat Uti sama Mbah Kung."
Ammar mengangguk kecil. Dia menghampiri makanan yang Ilmira sediakan. Ia mulai memakannya dengan tenang dan berlama-lama menikmati kopi buatan wanita itu ... ia menyukai kopi racikan Ilmira.
###
Pagi pertama Ilmira berada di rumah keluarga Rasyid tak jauh berbeda dengan pagi hari di rumah neneknya. Usai sholat subuh ia ke dapur untuk membantu Mbok masak untuk seluruh keluarga. Karena baru ia pun menunggu perintah Mbok Yem sembari mengingat letak peralatan masak.
"Lho kok sudah di sini, Nduk?" Cindy kaget melihat mantunya sudah membantu Mbok Yem. "Istirahat aja ndak apa-apa. Pasti capek to? Nggak usah sungkan-sungkan ya. Kalo capek ya istirahat nggak usah bantu. Kalo mau tidur cepet ya tidur aja. Anggep rumah sendiri." Cindy memberi petuah sebab ia ingin Ilmira betah di rumah ini. Ia tak ingin mantunya itu merasa tertekan karena harus bangun pagi, masak, atau apa pun karena berada di rumah mertua. Cindy ingin wanita itu benar-benar bebas tanpa merasa sungkan.
"Mboten, Bu. Sudah biasa bangun pagi bantuin Uti masak. Kadang kalo Uti gerah (sakit) saya yang masak."
Cindy mengangguk, merangkul mantunya itu. "Ya wes terserah kamu saja. Pokoknya nggak usah sungkan. Mau apa juga bilang saja."
Kegiatan masak pagi itu didominasi Cindy yang menceritakan kebiasaan Ammar. Ilmira mengingatnya. Meskipun hatinya masih terpaut dengan Omar dan belum memiliki perasaan apa-apa kepada Ammar, ia tidak boleh melupakan tugasnya sebagai istri Ammar.
"Mir, sudah jam enam. Coba lihat Ammar sudah bangun apa belom, kok tumben anteng. Biasae wes teriak-teriak nyari ini itu."
Ilmira mengangguk. Ia segera meletakkan wortel ia kupas dan cuci tangan. Sampai di kamar, terdengar gemericik air dari kamar mandi. Ia pun berinisiatif menyiapkan pakaian pria tersebut. Tepat ia menutup pintu lemari, Ammar keluar. Dia terlihat segar. Rambut yang basah, wajah bersih, dan aroma sabun yang menguat membuat Ilmira tertegun. Pria itu ... ah bukan saat yang tepat untuk terperangah. Ia pun segera keluar kamar.
Meskipun sedikit kaget tapi Ammar tetap memakai pakaian yang disiapkan oleh Ilmira. Mungkin diminta ibunya, pikirnya. Ia mematut diri di cermin sebelum menyemprotkan parfum dan meraih jam tangan di laci bufet kaca bawah televisi. Saat Ammar tiba di ruang makan, anggota keluarganya sudah lengkap.
"Wah. Wah. Manten baru kui auranya memang beda ya, Bu. Cerah ngono lho," celetuk Rasyid tepat Ammar duduk di sisinya. "Enak to kalo ada istri itu. Nggak capek sendiri ada yang bantuin."
"Sama saja, Yah," sahut Ammar sebelum tersenyum pada Ilmira yang melayani dirinya.
Rasyid mencibir jawaban Ammar. Apa ia tidak sadar bahwa pertama kali ini dirinya melihat putranya tersenyum lebar pada lawan jenisnya. "Lho iya ta? Tapi kayak beda gitu lho Mar kamu. Lebih gimana gitu. Ya ndak, Bu?" Ia menoleh pada istrinya.
"Iyo." Cindy lalu melihat Omar yang tampak aneh belakangan ini. "Om, kamu katanya mau ngenalin Ibuk sama gebetanmu? Mana? Mau dilamar langsung saja ta?" tawar Cindy.
Pria yang terpaut usianya terpaut dengan Ammar tersebut menggeleng. Ia juga tersenyum menyembunyikan patah hatinya. "Nggak jadi, Bu. Keduluan sama cowok lain."
Wanita berhijab di seberang Omar itu tertunduk dalam mendengar ucapan Omar. Meskipun tersenyum tapi ia sempat menangkap kegetiran di balik senyumannya. Ya Allah. Rasanya ia ingin menyerah menjadi tegar di depan Omar. Rasanya ia ingin mengatakan alasan mengapa dirinya menerima pernikahan ini.
"Lho kok bisa?" Rasyid menyahuti cerita Omar.
"Ya bisa, Yah. Mau ngomong suka wes keduluan." Omar melebarkan senyumnya padahal hatinya tengah terluka terlebih melihat wanita yang ia cinta duduk di sisi Ammar. Ilmira. Wanita yang berhasil menarik hatinya padahal ia bukan pria yang mudah tertarik pada lawan jenis. Bukan pria yang mudah tersenyum atau bisa dikatakan dirinya sebelah dua belas dengan sifat abangnya, tapi karena Ilmira dia ...
Tbc.
Ntah wes ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top