4


Bu Cindy:
Assalamualaikum. Nduk, sudah punya nomor Mas-mu?

Pesan itu masuk saat Ilmira makan bersama teman lainnya jadi ia sedikit lama membalasnya. Mas-mu. Entah kenapa kata itu seperti mencekiknya hingga Ilmira kesulitan bernapas, menghimpitnya sampai begitu sesak walaupun ia memahami kemarahan Ammar, hanya saja ia tidak mengira akan mendapatinya begitu cepat dan lugas.

Me:
Waallaikumusalam. Belum, Bu.

Bu Cindy:
Ya sudah Ibuk kirimi nomornya. Disimpan biar kalo ada perlu apa-apa gampang ngomongnya.
Oh ya, Nduk. Besok minggu habis kamu kerja Ibuk jemput ya. Cari barang-barang buat seserahan sama cincin. Nanti Ibuk yang pamit sama Mbah Kung.

Me: Nggeh. 

Ilmira menghela napas besar, menyandarkan punggung ke tembok belakangnya. Memejamkan mata membayangkan ekspresi Ammar yang penuh kebencian. Pria itu ... akankah ia sesabar Umik Salama menghadapi Abah? Apakah dirinya mampu menjadi Beast yang meluluhkan hati Belle? Apa itu artinya ia berharap pria tersebut akan menyukainya atau sebaliknya? Ilmira tak bisa menjawabnya sebab terlalu awal untuk menyimpulkannya. Namun, jika perasaan itu belum hadir atau bahkan tak pernah tercipta di antara mereka, Ilmira berharap mereka bisa menjadi teman.

"Mir, Mas Omar kok belakangan ini nggak kelihatan ya?" tanya Ayu saat wanita itu membenarkan kerudungnya. "Kalian berantem?"

"Berantem gimana maksudnya?" Ilmira menatap Ayu minta penjelasan.

Temannya itu cengengesan. "Ya berantem kayak biasanya itu lho. Namanya orang pacaran kan ada berantem-berantemnya gitu."

"Lho kami nggak pacaran, Yu," sangkal Ilmira pelan. Sungguh nyata rasa denyutan nyeri di ulu hati ketika mengatakan hal tersebut.

Ayu serta merta menghadap Ilmira. Menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Yakin, Mir? Beneran kalian nggak pacaran?" Ilmira menggeleng. "Masa sih? Tapi kalian deket gitu. Mas Omar hampir tiap hari ke sini."

Ia mengangguk meyakinkan Ayu. "Ya kan dia sekalian kirim ke toko-toko daerah sini. Ya wajarlah sering mampir."

"Jadi kalo aku deketin Mas Omar boleh?"

Ia mengangguk lalu tersenyum kecil. Lagipula apa haknya melarang Ayu mendekati Omar yang jelas-jelas bukan miliknya. "Semangat ya." Ia menepuk pundak Ayu sebelum berdiri untuk kembali ke meja kasir.

###

Minggu pukul empat sore mobil SUV hitam terparkir di samping toko tempat Ilmira bekerja. Ammar dan Bu Cindy menunggu wanita itu selesai bekerja sebelum berangkat mencari barang-barang seserahan.

"Mbok ya senyum gitu lho, Mar, jangan datar kaya cicilan KPR BTN gitu," kelakar Bu Cindy dari bangku tengah. "Le," panggil beliau. Ammar menoleh, memiringkan tubuhnya menghadap ibunya. "Nanti pelan-pelan belajar mengenal Mira ya. Ibuk lihat anaknya baik. Jangan dibuat nangis ya, Gusti Allah ndak suka. Janji ya sama Ibuk," pintanya.

Mau tidak mau Ammar mengangguk. Senakal-nakalnya dirinya, ia tak ingin membuat ibunya bersedih atau menangis sebab dari beliau lah Ammar bisa sampai ditahap ini.

"Beneran lho ya."

"Iya, Buk."

Tak lama Ilmira mendekati mobil. Ia membuka pintu penumpang samping Ammar seperti perintah Bu Cindy di WhatsApp-nya. Ia memiringkan tubuhnya untuk menjabat tangan calon mertuanya lalu menciumnya. Saat itulah ia mencium wangi tak biasa dari raga Ammar. Harum yang sensual, menggetarkan, dan seolah mengingatkan pada sebuah sentuhan. Menggoda.

"Maaf lama, Bu. Tadi mandi dan ganti baju dulu," ujar Ilmira menerangkan soal lamanya dirinya di toko padahal sudah tutup pukul empat tadi.

"Iya ndak apa-apa. Tadi jadi naik ojeknya?" Bu Cindy mengeluarkan roti gulung yang ia bawa dari rumah. "Nduk ini ambilen. Mas-mu tadi tak tawarin ndak mau." Ia menyerahkan sekotak kecil irisan roti gulung pandan.

"Jadi, Bu." Ilmira menerima kotak tersebut, mengambil satu iris lalu menutupnya dan meletakkan di pangkuannya. Ia melirik pada sosok di sebelahnya, tampan tapi tak tersentuh sangat berbeda dengan Omar. Pria itu ramah, ceria, dan supel.

Selama dalam perjalanan Ilmira banyak mengobrol dengan Bu Cindy. Beliau orangnya menyenangkan, luwes, dan sangat perhatian bahkan pada dirinya yang baru dikenalnya. Sampai di mal kawasan Jalan Kawi mereka menuju gerai perhiasan. Memilih dan mengukur cincin nikah. Setelah itu bergeser ke gerai tas, sepatu, make up, dan lainnya.

"Ammar lebih suka ikan timbang ayam ato bebek, Mir," ucap Bu Cindy yang menangkap kebingungan Ilmira saat harus menuliskan pesanan Ammar—usai berbelanja mereka pulang dan mampir ke warung lalapan langganan keluarga Bu Cindy. Bukan ia tidak tahu jika Ilmira ragu untuk bertanya langsung kepada Ammar. "Dia sukanya kopi hitam. Ndak suka daun kemangi."

Ilmira mengangguk tapi tetap saja bingung mau ikan lele, mujair, atau gurame? Ia menatap Bu Cindy tapi beliau sedang memilih menu jadi mau tidak mau harus bertanya pada Ammar. "Mas, ini mau lele, mujaer, apa gurame?"

"Mujaer."

"Yang kalem kalo jawab. Kalo ketus gitu Mira ya takut to, Le."

Perempuan berhijab itu membenarkan ucapan beliau tapi tak menyahuti kata-katanya. Ia tak ingin Ammar berpikir yang bukan-bukan padanya. "Ibuk mau pesan apa?" Ilmira berdiri setelah menuliskan pesanan mereka, membawa ke bagian order lalu kembali ke mejanya.

"Mir, nanti habis nikah rencananya mau kerja ato gimana?" Walaupun baru mengenal calon mantunya itu, Cindy yakin jika dia wanita yang tidak suka diam di rumah. Jika sudah terbiasa bekerja akan aneh rasanya diam tanpa melakukan apa pun.

"Kalo Mas Ammar izinkan saya mau tetap kerja, Bu. Sudah biasa kerja kalo diam di rumah bingung mau ngapain."

Cindy melihat putranya. Ammar yang sejak tadi cuek meletakkan ponselnya kala ia menatapnya. "Gimana, Mar?"

"Terserah mau dia gimana," jawab Ammar sekenanya saja.

"Ya ndak bisa gitu. Dia itu perlu izinmu, kalo kamu nggak ngizinin ya mana berani Mira. Kamu itu, ditanya jawabnya terserah. Nggak ada pilihan terserah," gerutu Bu Cindy sebelum kembali melihat Ilmira. "Kalo misalnya nemenin plus bantu-bantu Ibuk di rumah mau ndak, Mir?" tawarnya. "Ibu sering dapet pesanan catering. Biasanya Mbak Diah yang bantuin tapi ini kan dia lagi hamil besar ya, mau melahirkan juga, kamu bisa gantiin dia sama belajar gitu. Mau ndak?"

"Nanti Mira pikirkan dulu boleh kan, Bu?" Ilmira belum berani memutuskan langsung, ia perlu mempertimbangkan baik dan buruknya untuk ke depannya.

"Iya. Nanti pelan-pelan kamu yang pegang. Ibuk mau istirahat, wes capek. Omar sama Ammar nggak ada yang mau nerusin. Kan sayang."

"Ngeh."

Tbc.
Gemes sama Ammar nggak bisa gitu ta pura-pura gitu baik sama Mira.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top