36
Halooo! Balik balik wkwkwk.
###
Lagi-lagi kebekuan terasa nyata dalam kamar Ammar. Ilmira jelas sekali menjauhi dirinya. Wanita itu tetap menyiapkan kebutuhan Ammar dalam diam. Ia tidak suka itu, Walaupun sebelum-sebelumnya tidak banyak bicara setidaknya ia bisa mendengar suara mengaji Ilmira. Tapi sekarang tidak terdengar lagi alunan ayat suci tersebut, benar-benar sunyi.
Jika berdua di kamar, dia akan memilih ke teras belakang atau tidur lebih cepat dengan alasan capek. Ya Ammar tak bisa berbuat apa-apa jika sudah berkata demikian. Entah capek sungguhan atau hanya alasan, ia tak bisa mendesaknya.
Ammar menghela napasnya sebelum bangun dari tidurnya. Ia tak bisa tidur, pikiran terus menerus tertuju pada Ilmira. Berpikir bagaimana caranya mengurai keruwetan hubungan mereka. Mungkin bagi orang lain mudah saja mengatakan aku cinta kamu, tapi begitu sukar bagi Ammar yang kaku. Lidahnya terasa geli untuk mengatakan hal itu. Memikirkannya saja mampu membuat bulu kuduknya berdiri.
Ia memutuskan ke dapur, menyalakan rokok sembari merenung. Bagaimana caranya? Masa iya tiba-tiba mengatakannya. Ya ampun lima huruf tapi membuatnya pusing tujuh keliling.
"Belum tidur, Bang." Omar menyalakan kompor untuk menjerang air. "Kopi, Bang?"
"Boleh."
"Suntuk banget. Kenapa lagi?" Omar menaruh cangkir panas di depan Ammar. Ia sendiri duduk di sebelah abangnya. "Mira?" Sepertinya tebakannya benar.
"Hm."
"Kenapa?"
"Kamu tahu kan Abang nggak pernah itu romantis-romantisan ... pusing lah." Ia meneguk kopi yang sudah ia tuang ke tatakan gelas.
Otak Omar tak mampu mencerna kalimat abangnya. "Apa sih, Bang. Nggak jelas. Cerita itu yang jelas, siapa tahu aku bisa bantu."
Ya Tuhan. Apa ia harus bercerita pada Omar soal pribadi? "Gimana caranya bilang suka sama dia?"
Astaga. Omar menggeleng tak percaya. Abangnya ternyata dibingungkan oleh hal yang sepele tapi mengenal sifat Ammar, pasti itu masalah besar buatnya. "Kalo nggak bisa bilang langsung, Abang bisa bikin surat atau kirim pesan lewat wa."
Kenapa sarannya sama dengan Sova? Apa itu yang paling mudah? "Apa nggak ada cara lain?" Ia menatap Omar yang menggeleng lalu menepuk dahinya.
"Itu yang paling gampang, Bang. Nggak perlu hadapan langsung sama dia kalo Abang malu."
"Mbuh lah."
Omar tertawa melihat abangnya tak berkutik melawan Ilmira. "Semangat." Ia menepuk pundak Ammar dan berlalu dari sisi abangnya. "Tolong cuciin gelas aku, Bang."
Sampai menjelang tengah malam Ammar belum juga kembali ke kamar padahal Ilmira gelisah. Ia ingin tidur tapi baju kotor Ammar tak bisa membuatnya terlelap. Ia menyeka air matanya karena kesal. Semakin hari semakin aneh saja yang ia rasakan. Dan menurutnya itu menyulitkan dirinya sebab ia tidak ingin dibilang berlebihan atau manja.
###
"Sudah, Mas, njenengan berangkat saja." Ilmira menolak dibantu Ammar meski badannya tak bertenaga.
Kali ini ia tidak hanya mual muntah saja, kepalanya juga pusing akibat dari tidurnya yang tidak nyenyak. Kepalanya seperti pecah oleh hantaman nyeri yang terus menerus. Bahkan ia sampai menangis saking sakitnya.
"Kenapa nangis? Ada yang sakit?" Ammar menyentuh dahi Ilmira. Tidak panas tapi mengapa dia menangis? Apa karena dirinya? "Kenapa? Kalo kamu nggak ngomong aku nggak tahu, Mir. Please jangan keras kepala. Kamu nggak lagi di posisi bisa berdebat sama aku."
"Pusing," keluhnya. Ia masih terisak sebab kepalanya benar-benar sakit.
Me:
Maaf, Dok, mengganggu waktunya. Istri saya pusing. Obat apa yang boleh dikonsumsi?
Ammar mendekat, membuat kedua begitu dekat. Ia lalu menekan lembut titik di tengah-tengah kedua alisnya secara berulang-ulang. Ammar juga menekan di pangkal hidung dan ujung alis Ilmira agar pusing yang dirasakan wanita itu berkurang.
Notifikasi ponsel Ammar berbunyi. Ia mengambilnya di nakas.
Dokter Aster:
Tolong diberi paracetamol 500mg. Setiap 6 jam sekali. Kalau sampai besok belum mereda bisa dibawa ke klinik. (Sumber google)
Me:
Baik, Dok. Terima kasih.
Dokter Aster:
Sama-sama, Pak. Semoga lekas sembuh.
Ibu sepertinya menyimpan obat itu. Ia pun ke ruang tengah membuka laci di bufet televisi. Ia mencari dan menemukan paracetamol. Pria itu mengulurkan tablet putih tersebut pada Ilmira, disusul air putih.
"Saya ndak bisa kalo pake air."
Ammar kembali ke dapur, mengiris pisang dalam ukuran kecil, menyerahkan pada Ilmira. Ia terus memandangi wanita itu sampai tablet putih itu tertelan dengan sempurna. "Tidur. Nggak usah banyak mikir. Makin pusing nanti." Ia menata bantal agar Ilmira nyaman.
"Sudah tidur, Mar?" Cindy masuk setelah membersihkan diri dari sebelah. Sesekali ia tetap meninjau kinerja karyawan, memeriksa jadwal pelanggan, atau stok bahan mentah.
"Sampun, Bu, barusan." Ia menyingkir memberi tempat untuk ibunya duduk. "Kepalanya pusing sampai nangis."
"Lho? Sudah minum obat?" Cindy terlihat khawatir pada Ilmira. Wanita hamil terkadang ada saja yang dialami, karena itu sebisa mungkin ia memberi kenyamanan pada mantunya. Biar saja dibilang terlalu memanjakan Ilmira, karena setiap ibu hamil kondisinya tidak sama, jadi tidak bisa dipukul rata hanya karena berbeda.
"Sudah. Tadi sempat tanya Dokter Aster."
"Ya wes. Aman kalo gitu." Ia menengok ke belakang. "Kamu ndak kerja, Le? Mira biar Ibuk yang jaga. Kamu kerja saja. Nanti kalo ada apa-apa Ibuk kabari."
Pria itu mengganti bajunya, meraih tas ransel dan pamitan pada ibunya. Sudah terlalu sering ia tidak datang ke tempat kerjanya membuat sungkan pada karyawannya ya walaupun mereka tidak akan protes, tetap saja rasanya tak pantas seenaknya sendiri.
"Nitip Mira, Bu." Ia pamitan usai mencium tangan ibunya.
"Hati-hati, Le. Nggak usah ngebut. Inget anak sama istrimu nungguin kamu."
"Nggeh."
Me:
Mau dibawakan pulang apa? Balas pesanku kalo sudah bangun.
Sepanjang siang Ammar menunggu balasan dari Ilmira. Berkali-kali ia cek ponselnya tapi tak ada notifikasi dari wanita itu. Apa kepalanya masih sakit? Ia pun menelepon ibunya untuk mengetahui kabar Ilmira.
"Assalamualaikum, Bu. Mira sudah baikan belum?"
"Sudah. Tadi Ibuk tinggal habis bantuin ke kamar mandi."
"Nggeh, Bu. Paling bentar lagi aku pulang."
"Lho. Ini sek siang kok wes pulang."
"Nggeh. Sudah selesai semua."
"Ya wes hati-hati."
Ammar membereskan mejanya. Mengantungi ponselnya. "Ran, aku pulang dulu."
"Ada masalah?"
"Mira lagi nggak sehat. Ngeluh pusing mulai tadi."
"Ok. Ok. Mar ...." Temannya itu melihatnya. "Kalian gimana? Mira masih marah? Sorry yang kemarin. Aku gemes banget sama kamu."
Pria itu mengangguk. Ia paham teman-teman peduli jadi reaksi mereka sudah ia prediksi. "Nggak apa-apa. Aku maklum kalo kalian marah. Salahku juga bikin kacau usaha kalian. Aku pulang dulu. Nitip toko ya." Ia memukul pundak Imran dan meninggalkan pria itu sendiri.
"Nggak usah ngebut!" teriak Imran yang entah didengar atau tidak oleh Ammar
Tbc.
Kurang 1 part lagi tamat yes. Cerita ini bakalan aku cetak ya. Selain udah lama g cetak, sekalian buat koleksi juga. Nanti yang mau ikutan monggo.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top