3
Nongol lagi 😁
###
0821xxxx:
Assalamualaikum.
Nduk, ini Ibuk. Nomornya disimpan ya.
Ibu? Ilmira menekan foto profil nomor tak ia kenal itu. Ternyata ibunya Mas Omar.
Me:
Waallaikumusalam
Iya, Bu.
Ilmira pun menyimpan nomor tersebut.
Bu Cindy:
Sesuk sore Ibuk mau sowan (berkunjung) ke rumah Mbah Uti, boleh?
Me:
Nggih angsal (iya boleh)
Bu Cindy:
Cuma pengin silaturahmi saja. Ngobrol-ngobrol saja. Ndak usah bilang ayahmu.
Me:
Nggih. Nanti saya bilang ke Uti kalo njenengan (Anda) mau ke rumah.
Bu Cindy:
Ya wes kalo gitu. Paling habis Isya' biar tenang kalo ngobrol ndak bingung sholat. Ora usah cepak opo-opo lho ya. Ra usah repot-repot. Ibu cuma berdua saja Bapak.
Me:
Nggih
Air mata Ilmira menumpuk dan siap tumpah jika saja sendirian. Dadanya terasa penuh dengan lara dan putus asa.
"Mbak Mira dipanggil Abah!" teriak temannya.
Ia segera mengusap mata sebelum menemui Abah Suli di ruangannya. "Wonten nopo (ada apa), Bah?" tanyanya setelah duduk di kursi seberang pemilik toko bahan kue tersebut.
"Nggak ada apa-apa, Mir. Abah kapan hari ketemu ayahmu katanya kamu mau nikah. Bener?" tanyanya. Memang dirinya dan ayah Ilmira merupakan teman bermain karena satu kampung. "Sama cowok yang biasa ke sini itu ta?"
Wanita berhijab merah hati itu menggeleng. Ekspresinya berubah muram. "Sanes (bukan), Bah."
"Lho la sopo? Abah kira sama dia. Wong hampir tiap hari ke sini nungguin kamu pulang."
"Mboten, Bah. Saya sama Mas Omar cuma teman."
"Iya temen tapi mesra to? Cah enom saiki kui ya. Terus sama siapa jadinya? Kapan rencananya mau nikah?" Abah Suli menyodorkan air mineral kemasan ke hadapan Ilmira.
Ilmira tersekat, seperti ada batu besar menyumbat di tenggorokannya. "Saestu (sumpah) Bah cuma teman, wong Mas Omar mboten remen kale kulo (nggak suka sama saya)."
Jebol sudah pertahanan Ilmira. Ia menangis di depan Abah Suli yang sudah ia anggap orang tua sendiri. Isak tangisnya memenuhi ruangan tersebut. Tubuhnya bergetar, terguncang saking sedihnya seperti ketika kehilangan ibunya. Ilmira berkali-kali menghapus air matanya tapi bukannya berhenti malah turun dengan derasnya.
"Ngapunten, Bah. Kulo (saya) ...."
"Ndak opo-opo. Tak lihat beberapa hari ini kamu kayak nggak konsentrasi. Ngelamun. Makanya Abah heran ada apa. Kamu ndak cinta to sama calon suamimu?"
"Mboten wong baru kenal Sabtu kolo wingi (kemarin)."
Pria itu tersenyum kecil memaklumi gejolak jiwa muda. Dirinya pun dulu begitu persis Ilmira yang grusah-grusuh dalam menghadapi ujian hidup. "Nduk, tak bilangin ya." Ilmira masih sesenggukan kala menatap dirinya. "Dulu Abah nikah sama Umik ya ndak cinta. Abah dulu malah suka sama perempuan lain. Tapi Gusti Allah kui ndak pernah salah nuliske jodoh umate. Ndak pernah salah nitipno perempuan yang dimuliakan pada seorang pria. Mungkin sekarang kamu ndak suka, dia ya ndak suka tapi jika Allah sudah menjodohkan, apa pun yang terjadi ya tetep jadi. Mau dipisah seperti apa pun ya tetap bersama."
Ilmira menghapus air matanya. Mengambil ai mineral gelas untuk membasahi tisu yang ia bawa. "Ngeh ta, Bah?"
"Lho iya. Buat apa Abah ngarang. Nanti kalo main ke rumah coba tanyao Umik gimana dulu. Umik sering Abah buat nangis, karena sudah jodohnya ya lama-lama Abah luluh juga. Umik kui sabar pol. Gusti Allah ndak rela Umik tak sakiti makanya dibikin bucin kayak kata anak sekarang kui. Abah sekarang bingung kalo Umik nggak ada. Pokok apa-apa Umik."
"Gitu ya, Bah."
"Semua butuh proses, kerja sama, dan doa. Sabar kui abot. Ikhlas ya abot tapi ganjarannya besar kalo berhasil melaluinya."
Ah ternyata dirinya tak ada apa-apanya dibanding keikhlasan Umik Salamah. "Tapi kalo yang cerai gitu gimana, Bah? Masa iya Allah salah nitipno."
"Yo ndak. Tiap orang punya proses sendiri-sendiri. Ada yang di awal ada yang di akhir. Kalo misalnya sampai pisah, Gusti Allah pengin kita belajar dari kegagalan itu. Apa yang kita pelajari dari perpisahan itu. Jadi yang tenang. Dijalani dulu, kalo dibayangkan dulu ya berat wong yang tahu cerita gimana-gimananya nanti Gusti Allah bukan kita. Kui sudah di luar kemampuan kita.
"Nangis boleh wong namanya kecewa nggak bisa nikah sama yang kita suka tapi jangan berlarut-larut. Siapa tahu calon suamimu ini yang bakal ngayomi kamu sepenuhnya. Siapa tahu juga kalo kamu nolak dan milih yang sekarang bukan yang terbaik buatmu. Allah itu ngasih yang umate butuhkan, yang bawa kebaikan bukan yang umate inginkan."
Ilmira mengangguk paham. Ia seakan lupa bahwa semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Sebenarnya bisa saja menolak tapi nyata ia menerima, bukankah itu semua atas izin-Nya? Jadi ke depannya Ilmira akan berusaha mengikis perasaan untuk Omar dan menggantinya dengan Ammar.
Ammar Barack. Harus Ilmira akui dia pria yang masyaallah sekali. Rambut gondrong yang hitam dan ikal, hidung bangir. Bahkan hidungnya kalah mancung, matanya yang tajam, dan bibirnya yang penuh membuat perempuan mudah jatuh hati. Di balik ekspresi datarnya seperti tersembunyi misteri yang layak untuk dikuak.
"Ya wes kalo sudah tenang kembali ke depan sana. Nanti pulangnya mampiro ke rumah, tadi Umik bikin jajanan apa gitu dan pesen kamu disuruh ke sana."
Ilmira mengangguk, ia berdiri setelah dirinya tenang. "Saya pamit ke depan ngeh, Bah."
###
Pukul 19.30 sebuah mobil SUV putih masuk ke halaman rumah Mbah Kung Ilmira. Rumah milik Mbah Kung termasuk rumah model lama di mana letak bangunan persis di tengah-tengah, halaman sisi kanan-kiri dan depan belakang luas. Jadi untuk parkir dua sampai empat mobil cukup.
Ilmira bersama kakek neneknya berdiri di depan pintu menanti kedatangan tamu mereka. Ternyata tidak hanya Bu Cindy dan Pak Rasyid saja tapi lengkap dengan Ammar dan Omar. Sungguh hati Ilmira terasa nyeri, denyutan itu terlalu nyata hingga membuatnya ingin menangis.
Tatapan mereka bertemu sebelum ia menunduk menghalau air matanya di pelupuk mata. Ilmira tidak boleh menangis apalagi di hadapan kedua orang yang ia sayangi. Dirinya tak mau membuat mereka cemas. Lagipula ini sudah keputusannya jadi apa pun yang terjadi ia tak boleh menyerah. Sabar dan ikhlas kata Abah Suli. Dengan memaksa diri, ia memberikan senyum saat tamunya tiba. Ia menjabat tangan Bu Cindy dan Pak Rasyid untuk salim (cium tangan).
"Masyaallah ayu tenan," puji Bu Cindy. Ia mengelus kepala Ilmira yang tertutup kerudung sebelum bersalaman dengan Mbah Kung dan Mbah Putri.
"Monggo pinarakan (silakan masuk)." Mbah Putri mempersilakan tamunya ke dalam. Mereka duduk di kursi kayu jati model kuno. Rendah dan pegangan tangan melengkung. Sandaran dan dudukannya terbuat dari anyaman rotan. Walaupun model lama tapi masih terlihat apik sebab baru saja diplitur sama Mbah Kung.
Ilmira bersama Mbah Putri menyuguhkan kopi dan teh hangat karena cuacanya sedikit dingin. Ia juga menghidangkan kue yang didapat dari Umik Salama sore tadi.
"Maaf, Mbah Putri," ujar Bu Cindy setelah lama mengobrol. "Apa boleh setelah nikah nanti Mira saya boyong ke rumah?" Sebenarnya tanpa perlu bertanya memang sudah seharusnya. Namun, bagaimanapun ia memerlukan izin mengingat usia orang tua Rusdi. "Kerjaannya Ammar di Batu, mangke kalo dari sini lumayan jauh."
Wanita tua itu mengangguk. Ia paham. Bagaimanapun usai menikah Ilmira sepenuhnya milik suaminya. "Ya ndak apa-apa to. Namanya istri ya harusnya didekat suaminya. Ngabdi sama suaminya."
Terdengar ucapan alhamdulilah dari Bu Cindy. Beliau terlihat gembira sekali. "Biar nanti kalo hari libur nginep di sini. Gitu ya, Mar?" Cindy menoleh pada Ammar yang sedari tadi diam saja.
"Ngeh, Bu." Ammar menyimpan ponselnya. Ia kemudian pamit keluar.
"Sana Nduk temani Mas-mu," perintah Mbah Kung. Ilmira pun beranjak dari tempatnya menghampiri Ammar di teras.
Ilmira melangkah pelan menghampiri Ammar. Pria itu berdiri menghadap jalan kampung. Tangannya dimasukkan ke saku celana mungkin karena dingin. Ragu-ragu Ilmira berdiri di samping Ammar. Lama keduanya diam hingga ucapan Ammar menampar wanita itu. Pria itu menghadap Ilmira, menatapnya tajam, andai tatapannya sebilah pedang mungkin jantungnya tertikam dalam hitungan detik.
"Kamu senang jadi penjamin utang ayahmu? Senang dijual pada keluargaku? Sekian lama tapi nggak ada niat membayar. Sekarang bukannya bayar malah bikin perjodohan sialan ini. Bangsat."
Ammar berlalu dari hadapan Ilmira yang kini terdiam bagai patung. Parasnya memucat dengan perasaan berkecamuk. Ia menarik napas dalam sebelum memejamkan mata. Air matanya luruh. Ia idak dengan rela hati menjadi penjamin utang ayahnya. Ilmira juga tahu bahwa ini hanyalah pernikahan politik. Namun, dengan cara inilah ia mampu membayar balas budinya, dan satu-satunya cara lepas dari mereka, keluarga yang tak pernah ia rindukan.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top