25
Weekend waktunya pangeran alias pengangguran banyak rebahan 🤣🤣 cus bacaaa😘
###
Minggu-minggu yang sibuk dan melelahkan telah berlalu. Semua tenaga dan pikiran Ilmira beserta karyawan katering kerahkan untuk memenuhi pesanan customer, mulai dari pelanggan lama maupun baru, sebisa mungkin mereka melayani dengan sepenuh hati. Namun, dibalik semua kerja keras itu sebanding dengan pendapatan yang mereka dapatkan, itu artinya Ibu akan memberi mereka bonus.
"Kok belum tidur, Mir?" Omar menghempaskan tubuhnya dengan keras di kursi makan seberang Ilmira. Ia menarik kedua tangannya ke atas untuk mengendurkan otot-ototnya yang tegang.
"Nggeh. Lagi kerjakan laporan keuangan sama nunggu Mas Ammar" jawabnya sambil menutup buku besar khusus untuk laporan keuangan. "Mau saya buatkan kopi? Sekalian buatin wedang jahe Mas Ammar." Ia sedikit kaget mendapati pesan dari Ammar yang minta dibuatkan minuman hangat tersebut. Apakah dia sakit? Tapi tadi pagi dia baik-baik saja. Andai sakit pun itu hal wajar sebab cuaca sedang tidak kondusif memasuki pergantian musim dari musim hujan ke musim kemarau.
"Boleh tapi wedang jahe saja." Omar menelungkupkan wajahnya di meja makan. Ia capek gara-gara mandor gudangnya tidak masuk, jadi ia pun ikut turun tangan membantu karyawan menghitung barang yang datang. "Ada makanan apa? Laper banget aku," keluhnya.
"Mujaer bumbu acar, Mas. Mau?" Ia meracik minuman untuk kakak beradik tersebut sambil menunggu air mendidih. Ilmira kemudian mengambil makanan yang sudah ia sisihkan di kulkas untuk ia panaskan.
"Boleh. Ibuk sama Ayah sudah tidur?" Omar menempelkan pipinya di meja menghadap punggung Ilmira. Mengamati perempuan ayu itu dengan senyum kecil. Sakit yang ia rasakan semakin berkurang. Rasa sesalnya pun mulai memudar. Ia berhasil menutup lukanya sendiri.
Kini ia yakin, lambat laun perasaannya pun akan segera menghilang dan benar-benar melepas bayangan Ilmira dari pikirannya. Apalagi melihat sikap Ammar yang menurutnya lebih baik tidak seperti awal mereka menikah dulu—kepada Ilmira. Omar bukannya tidak tahu bagaimana sikap Ammar pada Ilmira. Hatinya sakit saat melihatnya, ingin sekali berteriak di hadapan abangnya bahwa ia tak rela wanita itu menangis, tapi ia sadar dirinya tak bisa berbuat apa-apa karena bukan ranahnya.
Ilmira tertegun saat membalikkan badan dan melihat Omar menatap dirinya. Ia pun menunduk bukan karena malu tapi mencoba merasakan ritme detak jantungnya dan tidak terjadi apa-apa. Rasa itu telah benar-benar pergi.
"Ekhem."
Omar dan Ilmira sontak menoleh pada Ammar yang mendekat. Pria itu menaruh tas ranselnya di kursi kosong lalu menarik kursi untuknya. "Baru pulang, Om?" tanyanya saat melihat ponsel dan kunci mobil Omar di meja.
"Iya. Ada barang datang kebetulan ada yang nggak masuk. Ikut bantuin lah."
Dengan jantung deg-degan Ilmira menyuguhkan wedang jahe untuk keduanya. Ia gelisah melihat ekspresi kaku Ammar, takut bila pria itu salah paham melihat Omar menatap dirinya. "Njenengan ...." Ya Allah tolong tenangkan debaran hatinya yang tak karuan. Ia benar-benar takut Ammar salah paham. "Njenengan mau makan sekalian?" tawarnya di tengah gempuran kecemasan. Tangannya saja sampai bergetar saking cemasnya. Ammar menatapnya tajam sebelum mengalihkan pandangannya pada Omar.
"Boleh," jawab Ammar singkat.
Ilmira menyiapkan nasi, lauk, dan oar putih di tengah meja. Ia canggung berada di antara dua pria dewasa tersebut dengan atmosfir ketegangan. "Njenengan butuh apalagi?" tanyanya pada Ammar. Ia berusaha memecah kebisuan dan mengalihkan perhatian Ammar.
"Bawa tasku ke kamar dan tunggu di sana. Jangan keluar sebelum aku panggil," perintah Ammar. Tegas dan tak ingin dibantah.
Ilmira menutup lagi mulutnya yang akan mengeluarkan bantahan. Entah perasaannya tak tenang melihat interaksi Ammar dan Omar saat ini. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa kepada dua orang itu. Dengan langkah berat Ilmira mengambil tas ransel Ammar, membawa ke kamar dengan perasaan tak karuan.
"Ada hubungan apa kamu sama Ilmira sebelumnya?" Ammar bukan orang yang pandai basa-basi busuk di hadapan orang lain termasuk di hadapan Omar.
###
Sudah tiga hari ini Ammar uring-uringan terus dan Ilmira yang selalu kena getahnya. Salah sedikit saja pria itu akan memarahinya. Ia pun jadi bertanya-tanya apa yang terjadi malam itu antara Ammar dan Omar? Ia begitu ingin tahu tapi tak berani bertanya baik pada Ammar mau Omar.
"Ganti bajumu!" perintah Ammar saat mengancing kemeja hijau tua pilihan Ilmira.
Ilmira yang tengah mengeringkan rambutnya menatap bingung pria itu. Apalagi ini? Tadi dirinya ditahan Ammar sampai tidak membantu di dapur dan rumah sebelah, sekarang disuruh ganti baju. Lagi-lagi pria itu menempatkan dirinya di ujung kebingungan mencari alasan pada mertuanya, dan kenapa selalu saja pagi hari? Walaupun tidak ada yang mempermasalahkan tapi kan ....
"Ganti baju, Mir!" Ammar menatap tak suka pada Ilmira saat wanita bergeming.
Ilmira otomatis menunduk, meneliti baju yang ia kenakan. Tidak ada yang salah. Gamis yang ia pakai tidak menunjukkan lekuk tubuhnya ataupun tembus pandang lalu untuk apa ganti baju? "Kenapa, Mas?" ujarnya bingung.
Ammar menatap tajam Ilmira sebelum menghampiri wanita itu. Langkahnya yang lebar dengan segera memangkas mereka. Ia mengurung Ilmira antara dirinya dan tembok. "Nggak usah banyak tanya bisa?" geramnya.
Emosinya benar-benar menggelegak sampai ingin mencabik-cabik dadanya. Omar sialan. Ucapannya benar-benar membuatnya ingin meremukkannya saat itu juga bila tak mengingat hubungan mereka. Egonya tak terima mengetahui kebenaran yang ia inginkan.
Ilmira merem serta mengkerut. Ia ngeri melihat ekspresi Ammar dengan jarak yang hanya beberapa senti, itu pun karena ia meletakkan tangannya di dada pria itu, jika tidak, sudah pasti menempel erat. "Sa ... tapi kan saya ndak ke mana-mana, Mas. Bajunya juga nggak tembus pandang jadi ...."
"Ikut aku," pungkasnya cepat. Ia menjauhkan diri dari Ilmira untuk memberikan ruang bernapas.
"Hah?"
Ammar menarik napas dalam-dalam untuk meredakan emosinya. Ilmira benar-benar menguji kesabarannya padahal tinggal mengikuti perintahnya tanpa banyak bicara. "Ikut aku." Ammar menekankan ucapannya tepat di telinga Ilmira lalu menarik wajahnya dan menatapnya lekat.
Wanita itu memberanikan diri memandang Ammar meskipun dadanya berdebar-debar takut. "Ta ... tapi saya kan harus bantu Ibu, Mas. Tadi sudah absen, masa sekarang nggak bantuin lagi. Saya sungkan," paparnya, berharap Ammar mengerti alasannya.
"Aku sudah izin Ibuk pinjem kamu. Jadi nggak akan keberatan."
Tapi dia keberatan! Andai saja bantahan itu bisa ia cetuskan tapi mana berani dia, bisa-bisa tanduknya keluar.
"Aku tunggu di luar."
Astaghfirullah! Jengkel sekali rasanya pada Ammar. Pria itu seenaknya sendiri. Ah ingin sekali ia memukul kepalanya biar waras. Dengan hati dongkol dan kaki mengentak-entak di lantai, Ilmira mencari baju yang akan ia pakai. Ia mengambil satu set rok plisket abu-abu dan tunik polos warna salem. Baju itu mempunyai belahan samping. Bagian lengannya mulai siku ke bawah berbentuk balon, dan kancing sembunyi. Sangat pas di badan Ilmira.
Ia mengambil kerudung segi empat polos abu-abu. Membubuhkan sedikit bedak dan lipstik warna mauve. Ia hanya menyisir ringan alisnya tanpa menambahkan warna. Setelah yakin penampilannya rapi, Ilmira keluar. Ia menghampiri Ammar yang tengah berkumpul dengan lainnya.
"Cantik e. Mau ke mana?" Cindy menatap mantunya yang malu-malu itu.
"Mboten semerap (nggak tahu), Buk. Mas Ammar yang ajak," jawabnya pelan. "Tadi katanya sudah diizinkan Ibuk."
Izin? Apa Ammar menahan Ilmira lagi? Cindy melihat Ammar menuntut penjelasan tapi putranya itu seolah-olah tak mengerti. Dasar. Mau mengajak keluar Ilmira saja pakai alasan. "Oh iya. Ibuk yang lupa. Ya wes cepet berangkat keburu siang."
Ammar begitu luwes menarik badannya dari sofa, menyalami kedua orang tuanya yang diikuti Ilmira. Menunggu wanita itu masuk mobil sebelum ia sendiri masuk dan melajukan kendaraan tersebut.
Tbc.
Link Karyakarsa di bio. Dan udah timit di Sono yak. Makacihhh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top