20
Ketik ketik up dah.
♥️♥️♥️
Wanita berkerudung itu tidak tahu apa yang tengah terjadi pada Ammar tapi sepulang dari undangan pernikahan kemarin dia bersikap lebih dingin. Tatapannya menusuk sampai ia tak berani mendekat. Jika biasanya dia seperti beruang kutub kali ini bertransformasi menjadi beruang hutan yang kesakitan yang siap menerkam siapa saja. Benar-benar garang dan membuatnya takut. Seperti kali ini, ia akan meminta izin pergi ke rumah Sheila tapi melihat suasana hati Ammar rasa-rasanya izinnya tidak akan ia dapatkan.
"Ada apa?" Ammar sedikit menyentak Ilmira yang tengah lalu lalang di depan kamar. Tadinya ia ingin tidur untuk meredam emosi yang terus bertahan di hatinya tapi sial, otak dan matanya tak sejalan. Ia pun memilih keluar untuk mencari udara di kebun belakang. Tapi langsung di hadapkan oleh Ilmira.
"Itu ...." Sebetul ia tak perlu minta izin pada Ammar toh pria itu tidak peduli tapi mengingat di mana mereka berada jadi mau tak mau Ilmira perlu izin Ammar. Dan juga ajaran agamanya pun mengharuskan seorang istri meminta izin kepada suami sebelum pergi jadi setidaknya ia memenuhi kewajibannya. "Saya mau ke rumah Umik. Ndak lama kok. Paling sebelum dhuhur sudah pulang." Ia tak berani menatap Ammar. Pandangan pria itu seolah membunuhnya dalam hitungan detik.
"Hm."
Ilmira pun mengangguk kemudian berlalu dari hadapan Ammar. Ia bergerak mengambil kunci motor—ia tinggalkan di rumah ini—lalu ke depan menghampiri motor biru putih yang sudah ia keluarkan sebelumnya. Ia mulai menghidupkan mesinnya untuk dipanaskan. Setelah beberapa menit ia pun menaiki motor tersebut dan bersiap melaju tapi dihentikan oleh Ammar.
"Aku antar."
Ilmira tidak salah dengar kan? Ammar bersedia mengantarnya? Ia pun menatap dengan lipatan dalam di dahi. Sukar dipercaya. Apa pria itu terantuk sesuatu kepalanya? "Nggak usah, Mas. Saya bisa sendiri. Ndak jauh kok cuma ...." Ilmira menelan ucapannya saat ekor matanya mendapati Mbah Kung memperhatikan mereka dari dalam. "Iya, Mas." Ia menyingkir dari stang motor memberi ruang untuk Ammar mengambil alih.
Hampir saja mereka ketahuan Mbah Kung. Dengan senyum sumbing Ilmira naik di belakang Ammar. Pria itu bertanya ke arah mana. Ia pun memberi arahan sampai rumah Umik Salama yang bisa dibilang rumah paling besar dan bagus. "Njenengan kalo mau pulang monggo. Jalannya ndak lupa to?"
"Nggak."
"Maturnuwun, Mas." Ia berbalik menyapa beberapa pekerja yang bekerja di sana. "Mas Satrio," panggilnya saat melihat anak mbarep (pertama) Umik yang bekerja di luar kota di rumah. "Njenengan kapan datangnya?"
"Kemarin malem. Kamu apa kabar? Wes jadi istri orang rek. Kalah Mas." Ia mengelus kepala Ilmira yang berbalut hijab.
"Alhamdulillah baik. La Mas Trio ndak cepet-cepet cari istri ya tak duluin ta."
Pria itu tertawa renyah mendengar balasan Ilmira. "Bukan ndak mau cari tapi keduluan orang."
"Astaghfirullah. Njenengan ndak apa-apa ta, Mas? Haruse diikat dulu biarpun ndak langsung nikah." Ilmira iba jadinya. Ia tahu betul bagaimana rasanya pasti sangat sedih sekali. "Ceweknya tahu Mas Trio suka?"
"Ndak. Soalnya yang suka Mas bukan dia."
Spontan Ilmira mengusap lembut lengan Satrio yang tertutup lengan. "Aku ndak tahu harus ngomong apa. Mau ngibur kok rasanya nggak pas. Tapi yang paling pasti Allah nanti dikasih jodoh yang lebih lebih baik lagi buat Mas," ujarnya memberi kata penghiburan untuk pria yang sudah ia anggap kakak sendiri. Laki-laki di depannya ini begitu mengayomi dirinya meskipun bukan adiknya sendiri.
"Aamiin." Satrio mengangguk kecil. "Itu suamimu ta?" tunjuknya dengan dagu ke pintu gerbang rumahnya.
Ilmira mengikuti arah dagu Satrio. Lho ... "Ngeh. Tak kira tadi wes pulang. Kok masih di situ. Lupa jalannya kayaknya, Mas. Saya ke sana dulu ngeh."
"Suruh masuk sini sekalian kenalan."
"Ngeh." Ilmira menghampiri Ammar yang setia duduk di motor miliknya. "Saya kira Njenengan sampun pulang, Mas. Lupa jalannya ta? Gimana kalo masuk dulu sekalian kenalan sama keluarga Umik?" saran Ilmira yang diangguki Ammar.
Pria itu menstarter Honda Beat milik Ilmira, membawanya sampai di garasi. Usai mencabut kunci motor ia berkenalan dengan Satrio dan keluarganya yang kebetulan berkumpul. Mereka saling bercerita hingga menjelang dhuhur. Ilmira menyudahi obrolan mereka dan pamit pulang tapi dilarang oleh Abah. Beliau mengajak makan sekalian setelah sholat dhuhur berjamaah.
###
Sore itu usai magrib seperti biasa Ilmira ke langgar membantu Umik mengajar ngaji. Hal yang paling ia sukai meskipun tidak mendapatkan apa-apa. Setidaknya hafalan yang ia bisa bermanfaat untuk anak didiknya. Sedangkan Ammar bercengkerama dengan nenek kakeknya.
"Uti ndak kerepotan kalian nginep wong memang wes rumah e kok," jawab Mbah Putri kala Ammar meminta maaf kalau ia dan Ilmira merepotkan mereka. "Ini rumah kalian juga. Iya to, Kung?" Ia bertanya guna mencari dukungan suaminya.
"Iyo. Tapi ya kalo ndek sini ya wes gini ini seadanya," sahut Mbah Kung kemudian.
"Ndak apa-apa, Kung. Ndek sini enak suasananya. Saya suka. Apalagi kalo dengan ikamah gitu. Hati rasanya tenang." Ya Ammar tidak berbohong soal itu. Ia benar-benar menyukai kondisi di desa ini.
"Alhamdulillah kalo suka. Apalagi lek subuh, Le. Biarpun dingin tapi nek (kalo) lihat mataharinya naik apik tenan," timpal Mbah Putri sambil meletakkan ketela goreng dan kopi untuk kedua pria tersebut. "Ayo dimakan mumpung sek anget. Ini yang bikin Mira. Dia suka bikin-bikin cemilan gini, jadi jarang beli kalo ndak pengin banget," tuturnya.
Ammar mengambil satu buah ketela goreng tersebut. Mematahkannya sedikit sebelum ia tiup dan kunyah. "Uti, kalo di sini apa semua anak perempuan kudu bisa urusan rumah? Kan setahu saya kalo nikah pekerjaan rumah bukan kewajiban perempuan."
"Iya harus. Memang kerjaan rumah bukan kewajiban perempuan paling ndak ya buat mereka sendiri," jawab Mbah Putri. "Mulai kecil diajari nyapu rumah, nanti ngepel, nanti kalo udah remaja belajar masak dan sebagainya. Jadi kalo harus hidup sendiri ya ndak kaget. Sudah tahu apa yang mau dikerjakan. Bisa juga buat cari kerjaan di kota to?"
Ah ya benar. Terlebih di zaman seperti ini banyak pasangan suami istri sama-sama bekerja dan memilih menyerahkan urusan rumah tangga kepada orang lain. "Ngapunten, Uti. Mira di sini memang sejak kecil? Kenapa ndak tinggal sama Ayah?" tanyanya. Saat ini merupakan kesempatan yang pas sebab wanita itu sedang ke langgar mengajar mengaji.
"Ya mulai kecilnya. Terus pas SD apa SMP gitu ikut ayahnya tapi nggak lama balik lagi ke sini. Ndak betah di sana. Jadi ya di sini sampai sekarang," jelas Mbah Putri. Beliau menyeruput teh hangatnya pelan-pelan kemudian meletakkan mug kuno yang terbuat dari seng di meja. "Uti ke dapur dulu ya. Mau goreng ikan buat makan."
"Ya ndak betah wong di sana orange gitu semua," gerutu Mbah Kung sepeninggal istrinya.
Celetuk Mbah Kung menciptakan lipatan dalam di kening Ammar. Ia semakin penasaran. "Gitu gimana, Kung?"
"Ya gitu orange pada judes. Ndak ada yang suka sama Mira di sana. Apalagi mamanya. Kui Mira lak bukan anaknya mamae. Mira kui anaknya istri sirinya Rusdi. Jadi Rusdi kui ...." Mbah Kung tidak meneruskan ceritanya. Beliau menghela napas guna mengusir kekecewaannya pada dirinya sendiri yang gagal mendidik putranya.
Ammar menunggu Mbah Kung meneruskan ceritanya. Beliau menutup bibirnya, pandangan matanya jauh seolah menembus dimensi lain dan seakan-akan melihat kilas balik di masa lampau kejadian hidupnya. Namun, yang pasti salah satu misteri sudah terkuat dan ia yakin ada kejadian yang membuat Ilmira mendapat bekas luka di punggungnya. Ammar harus segera mencari tahu hal itu.
"Ya ini salah Mbah Kung yang terlalu memanjakan Rusdi karena dia anak satu-satunya setelah sekian tahun menunggunya. Kelakuannya jadi tak terkendali. Terakhir ya nikah siri sama ibunya Mira. Itu saja kami nggak tahu dan kaget ada wanita nyariin Rusdi dalam keadaan hamil empat bulan."
Lagi-lagi Mbah Kung menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan. Keriputan di wajahnya tak mampu menyembunyikan gurat kekecewaannya dan kesedihannya.
"Awalnya kami ndak percaya tapi foto dan orang yang mengantarnya menguatkan pengakuan itu. Jadi ya sudah mau tidak mau kami menerimanya. Bagaimanapun wanita itu juga ndak tahu wong Rusdi ngaku anak rantau dan single. Pas ibunya Mira hamil dia pamit ke Surabaya diajak kerja temennya. Awalnya seminggu sekali pulang sampai akhirnya nggak ada kabar itu. Mbah Kung juga ndak tahu dari siapa dapet alamat rumah sini."
Ah dari sini Ammar bisa melihat jika sahabat ayahnya itu memang berengsek. Dari sini pula ia mulai bisa membaca bagaimana hubungan Ilmira dan keluarga Rusdi. Pantas saja dia tenang dan senang tinggal di rumahnya, mungkin Ilmira menemukan kasih sayang dari keluarganya.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top