2


Balek lagi wkwkwk. Happy reading sista. Lope-lope deh.

###

Sabtu sore selepas magrib, Ilmira dijemput ayahnya untuk dibawa ke rumahnya di daerah Soekarno Hatta. Selama perjalanan tidak sepatah kata pun keluar dari Rusdi, menjelaskan alasan perjodohan ini pun tidak. Setibanya di rumah dua lantai kediaman ayahnya, Ilmira turun dengan perasaan gelisah. Tidak nyaman. Kalau tidak terpaksa mungkin dirinya tidak akan mau datang kemari.

"Assalamualaikum." Ilmira berjalan pelan di belakang ayahnya yang langsung menuju ruang tengah.

"Waallaikumusalam. Loalah Mbak Mira to. Duh Ibuk kangen e." Bu Endang memeluk putri majikan itu sejenak lalu.menghela Ilmira ke kamar yang selalu di tempatinya jika berkunjung ke sini. "Lama lho ndak ke sini. Ke mana aja?" Beliau membuka jendela kamar agar udara di dalam berganti.

"Sampun (sudah) kerja, Buk, jadi ya ndak bisa sering-sering ke sini. Njenengan pripun (Anda bagaimana) kabarnya?" Ia mengeluarkan mukena dari lemari yang isinya tak sampai beberapa helai baju. "Yang lain pada ke mana kok sepi, Bu?" tanya sebelum  masuk kamar mandi.

"Lagi pada sepi. Mbak Nesa di Surabaya. Mbak Risa lagi ada kerjaan di Banyuwangi. Ibu belum pulang," tutur Bu Endang ketika Ilmira keluar kamar mandi.

Mendengar jawaban Bu Endang, Ilmira menarik kesimpulan bahwa besok acara silaturahim keluarga dari sahabat ayahnya hanya dihadiri oleh mereka bertiga. "Rencananya besok mau masak apa? Biar Mira bantu." Ia mengambil kerudung instan hitam sebelum keluar bersama Bu Endang.

Ternyata untuk hidangan besok pun belum ada arahan dari ibunya hingga membuatnya kecewa. Ilmira tahu jika beliau tidak pernah suka akan kehadirannya tapi apakah seabai ini bila perjodohan tersebut adalah rencana mereka. Lalu mengapa harus dirinya jika Bu Sasi tidak suka padanya?

"Ya wes dipikir besok aja. Sekarang Mira bantu masak buat makan malam ngeh."

Di sisi lain Ammar tengah menatap potret perempuan cantik tersenyum di layar ponselnya. Wanita yang telah menggenggam hatinya tapi sulit ia miliki. Sova. Perempuan berdarah campuran tersebut menikah dengan pria yang meminangnya di hadapan orang tuanya. Dan hal itu yang membuat penyesalan terbesar dalam hidup Ammar. Ketidakpastian darinya membuat Sova menerima lamaran itu meskipun mereka baru kenal.

###

Minggu malam setelah Magrib, rombongan keluarga Rasyid tiba di kediaman Rusdy. Mereka disambut dengan hangat. Para orang tua terlibat obrolan seru hingga kedatangan Ilmira menyajikan kopi menjeda keseruan tersebut.

Omar terbelalak tak percaya pada mata. Pasti ia sangat terbayang Ilmira sampai-sampai calon istri abangnya terlihat seperti wanita itu. Omar menutup matanya dengan perasaan tak karuan. Kecewa dan marah pada goresan takdir Tuhan. Sebenarnya skenario seperti apa yang Dia siapkan hingga bersama Ilmira dengan status berbeda? Ya Allah.

Wanita itu menarik perhatian Rasyid yang mengetahui jelas siapa anggota keluarga temannya ini. "Dia siapa, Rus?" tanya Rasyid sesaat setelah Ilmira ke dalam.

"Ilmira. Anak ragilku."

Rasyid mengerutkan keningnya. "Aku kok baru tahu kalo kamu punya anak selain Nesa sama Risa, Rus."

"Dia tinggal sama Ibuk di Pakis sejak SMA. Katanya kasihan Mbah nggak ada yang nemenin. Kalo di sini juga sukanya di kamar terus," terang Rusdi berbohong.

Pria berusia 65 tahun itu mengangguk kecil. "Pantes aku nggak pernah lihat."

"Jadi Mira ini yang akan dijodohkan sama Ammar?" Cindy menyela obrolan kedua pria tersebut.

"Iya, Mbk," sahut Sasi cepat menampilkan senyum palsu. "Soalnya Nesa sama Risa masih terikat kontrak, jadi ndak berani."

"Ayu ya." Cindy menjawil Ammar yang berada di sebelahnya. "Kui lho. Ayu to?" Terlihat binar bahagia dari wajah Cindy. "Piye kalo dipercepat saja? Lamaran plus pernikahan jadi satu saja biar sekalian gitu."

Sasi mengangguk penuh semangat. Setidaknya mereka mempunyai waktu untuk melunasi utang-utang tersebut selama Ilmira jadi menantu keluarga Cindy. "Itu lebih baik, Mbak. Jadi kita ...."

"Maaf, Bu, menyela. Makanannya sudah siap." Suara lembut Ilmira menginterupsi ucapan Sasi. Dengan senyuman manis ia mempersilakan keluarga Rasyid menuju meja makan. Saat itulah ia baru mengetahui keberadaan Omar. Pupil matanya membesar melihat sosoknya, tubuhnya mendadak lemas bagai tak bertulang. Ya Allah.

"Mas Omar," ujarnya lirih sampai jika tak mendekatkan telinga tidak akan terdengar. Senyumannya memudar, rupa tenang Ilmira berganti muram. Hatinya pun gundah. Seumpama ia sendirian mungkin air matanya sudah menetes. Ya Tuhan rencana seperti apa yang Kau siapkan untuk dirinya dengan menggariskan perjodohan ini?

Andai ya andai saja ia bisa menolak— tidak sengaja mendengar alasan ayah mengadakan perjodohan tersebut saat ngobrol dengan Bu Sasi tengah malam kemarin saat ia akan mengecek pintu, dan juga ia ingin membalas budi agar tidak terus menerus dicap tidak tahu terima kasih—sudah pasti ia tolak. Tapi di sisi lain, hubungannya dengan Omar membuatnya bingung. Tidak ada kejelasan di antara mereka, jadi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ilmira tak berani menyimpulkan perlakuan Omar padanya, bisa saja dirinya hanya dianggap teman bukan karena menyukainya.

Ilmira memaksakan tubuhnya yang limbung untuk bergabung dengan keluarga Rasyid. Ia duduk di samping Sasi dengan kepala menunduk. Ia tak berani membalas tatapan Omar yang terus terpaku padanya. "Maafkan aku, Mas," gumamnya begitu pelan.

Selama perkenalan berlangsung Ilmira tak bisa konsentrasi sama sekali. Ia menjadi pendengar setia dan menjawab saat ditanya, selebihnya ia berjibaku dengan perasaannya kacau dan bergemuruh itu.

"Nanti kalo sudah nikah tinggal sama Ibuk, mau ya?" tanya Cindy riang. "Ibuk suka sendirian di rumah kalo Bapak sama anak-anak kerja. Paling sama Mbok aja. Kalo ada kamu nanti tambah rame temen ngobrolnya."

"Inggih, Bu." Namun, Ilmira tahu bahwa suara bergetar karena menahan tangisnya.

###

M. Omar:
Mir.

Me:
Ngeh Mas.

M. Omar:
Kamu sudah tidur?

Me:
Dereng.

Bagaimana ia bisa tidur dengan perasaan berkecamuk hebat, hancur tapi tidak ada jalan kembali baginya. Air mata Ilmira turun tidak ada henti-hentinya. Ia ingin berteriak dan mendebat Tuhannya tapi itu bukanlah hal yang diajarkan oleh Mbah Kungnya. Beliau selalu berpesan, setiap kejadian pasti memiliki makna di baliknya. Hikmah yang akan disyukuri meskipun sakit bahkan terluka saat menerima dan menjalaninya. Ikhlas dan sabar kuncinya.

M. Omar:
Lagi apa?

Me:
Sholat, Mas.

M. Omar:
Lho kok baru sholat?

Me:
Iya. Bantu Uti beres-beres rumah habis pengajian rutin. Njenengan kok ya belum tidur.

"Ya Allah," ucapnya lirih disertai air mata. Selama ini Ilmira berusaha sabar dan ikhlas menjalani ketidakadilan yang ia dapat. Namun, kali ini sungguh berat rasanya. Terlebih harus menghapus perasaan yang ia punya untuk Omar. Ya Tuhan. Apakah Dia tidak rela jika dirinya memikirkan pria lain yang belum halal olehnya?

M. Omar:
Belum
Mir

Me:
Ngeh.

Ilmira membekap mulutnya agar suara tangisnya tak terdengar nenek kakeknya. Dadanya begitu ampek sampai-sampai ia pukuli agar lebih lega.

M.Omar:
Wes tidur ta?

Me:
Belum.

M.Omar:
Selamat ya
Wes tidur o

Tubuh Ilmira semakin bergetar hebat. Air matanya pun berderai lebih banyak. Sesak yang ia rasakan semakin menghimpit. Ya Allah.

Me:
Ngeh

Tbc.

😫😫 Piye iki piye

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top